Saat Rasulullah menyebarkan dakwah secara terang-terangan dan penduduk Makah semakin banyak yang memeluk Islam, kaum Quraisy melakukan segala macam cara untuk menghambat dakwah beliau. Ibnu Hisyam menjelaskan bahwa saat Rasulullah menyebarkan dakwah secara terang-terangan orang-orang Quraisy mulai memusuhi Rasulullah. Mereka mulai berpikir keras mencari berbagai macam cara untuk bisa melepaskan dan membebaskan diri dari apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Sampai-sampai mereka datang kepada Abu Thalib, dengan menawarkan tawaran yang begitu aneh, yakni Rasulullah ditukar dengan seseorang yang bernama Imarah bin al-Walid, orang yang paling tampan di antara mereka. Hal ini diakukan agar mereka terbebas dari dakwah Rasulullah, dianggap menyimpang dari ajaran nenek moyang mereka. Mereka berkata kepada Abu Thalib “Ambilah dia lalu serahkan Muhammad kepada kami untuk kami bunuh.” Abu Thalib menolak dengan sangat keras apa yang mereka tawarkan. Orang-Orang Qiraisy mengancam Abu Thalib apabila ia tidak memberikan Rasulullah, maka mereka akan memeranginya.
Ahmad al-Usairy dalam buku Sejarah Islam menjelaskan, kemudian Abu Thalib mengutus seseorang untuk menemui Rasulullah mengenai hal ini. Abu Thalib membujuk Rasulullah untuk berhenti berdakwah. Namun, Rasullah bersabda, “Demi Allah, andaikan mereka meletakan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, saya tidak akan berhenti melakukan dakwah ini, hingga Allah menampakan kebenaran atau aku binasa karenanya.”
Dalam kesempatan lain para kaum Quraisy juga pernah menawarkan suatu hal kepada Rasulullah sebagaimana diriwayatkan Ibnu Hisyam sejarawan terkenal meriwayatkan dalam kitabnya as-Sirah al-Nabawiyah, bahwa suatu ketika Utbah bin Rabi’ah, salah satu tokoh Quraisy yang disegani memanggil para kaum Qurais untuk berkumpul menemuinya. Setelah orang-orang Quraisy berkumpul, maka Utbah pun berkata, “Wahai orang-orang Quraisy, seandainya aku mendatangi Muhammad, lalu aku berbicara kepadanya. Dan akan kutawarkan beberapa hal kepadanya, barangkali dia mau untuk menerima tawaran tersebut. Jika ia menerima tawaran tersebut maka ia mendapat konpensasi, ia tidak boleh mengatakan tentang agama yang ia bawa.”
Mereka (orang-orang Quraisy) mejawab, “Iya, Aba al-Walid (panggilan akrab Utbah bin Rab’iah). “Datangilah Muhammad, ajak ia berbicara. Barangkali dapat menerima tawaran kita.” Setelah para orang Quraisy menyetujuinya, kemudian Utbah Bin Rabi’ah berangkat menemui Nabi Muhammad. Setelah duduk bersama beliau, Utbah membuka pembicaraan dengan berkata, “Wahai anak saudaraku. Sesungguhnya kedudukan engkau di antara kami sangat mulia dan memiliki posisi nasab yang luhur. Sesungguhnya kamu telah membawa perkara yang besar kepada kaummu, yang memecah belah persatuan mereka dan memaki-maki tokoh-tokoh mereka. Tolong dengarkan ucapanku. Aku akan menawarkan beberapa hal padamu. Dari beberapa tawararan itu barangkali kamu dapat menerima sebagian tawaran kami.”
Kemudian Rasulullah menjawab, “Katakanlah wahai Abal Walid. Aku akan mendengarkan perkataanmu”. Lalu Utbah berkata: “Wahai anak saudaraku. Sesungguhnya jika engkau menghendaki harta dengan agama baru yang kamu bawa kepada kami, kami akan mengumpulkan sebagian harta kami untuk kamu, sehingga engkau menjadi orang yang paling banyak hartanya diantara kami, dan jika kamu berdakwah karena menginginkan kemulyaan, maka kami akan menjadikanmu sebagai pemimpin kami, sehingga setiap urusan kami akan diputuskan olehmu. Jika kamu mengiginkan sebuah kerajaan maka kami akan membuatkanmu sebuah kerajaan dan kami akan mengangkatmu sebagai raja kami, dan apabila ternyata kamu menyebarkan dakwah ini karena terkena gangguan jin maka kami akan mengorbankan harta kami untuk mencarikanmu seorang dukun untuk mengobatimu dari gangguan jin.”
Setelah mendengar Utbah berkata demikan maka Rasulullah bersabda, “Apakah kamu telah selesai berbicara wahai Abal al-Walid?” Utbah menjawab, “Ya, selesai.” Lalu Rasulullah berkata, “Dengarkan ucapanku.” Lalu beliau membaca surat al-Fusilat:
Jika mereka berpaling maka katakanlah, “Aku telah memperingatkanmu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum Ad dan Tsamud”. (Fushshilat [41] : 13)
Setelah sampai ayat tersebut Utbah menahan mulut Rasulullah dan meminta untuk tidak meneruskan bacaannya. Utbah khawatir ancaman yang terkandung dalam ayat tersebut akan benar benar terjadi kepada kaum Quraisy.
Utbahpun kembali kepada kaumnya. Kemudian ia duduk dengan mereka, maka kaum Quarisy menanyakan tentang tawaran kepada Rasulullah, mereka berkata, “Bagaimana perbincanganmu dengan Muhammad wahai Aba al-Walid?” Ia menjawab, “Hasilnya, sesungguhnya aku telah mendengar suatu firman yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Wahai orang-orang Quraisy taatilah ucapanku. Biarkan Muhammad meneruskan dakwahnya. Demi Allah, apa yang ia dakwahkan akan membuktikan sesuatu yang besar. Apabila ia (Muhammad) berhasil dibunuh oleh orang-orang Arab selain kalian, maka apa yang kalian inginkan kepada Muhammad telah dicukupkan oleh mereka. Tapi apabila Muhammad ini menang melawan bangsa Arab, maka kerajaannya adalah kerajaan kalian. Kemuliaannya juga kemuliaan kalian.
Setelah mendengar perkatan Utbah kaum Quraisy berkata: “ Demi Allah, Muhammad telah menyihirmu dengan lidahnya wahai Aba al-Walid.” Kemudian Utbah berkata: “ Ini adalah pendapat saya mengenai Muhammad, silahkan kalian lakukan apa yang kalian inginkan.”
Quraisy menyadari bahwa apa yang mereka lakukan tidak mendapatkan hasil, maka dari sinilah orang-orang Quraisy mulai berpikir untuk menyiksa Rasulullah dan para pengikutnya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr ibn Ash ra. “Ketika Rasulullah. Shalat di Hijir Ismail, tiba-tiba datang Uqbah ibn Abi Mu’ith, kemudian langsung melilitkan sebuah kain ke leher Rasulullah, kemudian menariknya, hingga Rasulullah tercekik. Melihat Rasulullah diperlakukan tidak layak, maka Abu Bakar menariknya dan menyekapnya dan ia berkata, Apakah kamu ingin membunuhnya hanya karna dia berkata, Tuhanku Allah?”
Dalam riwayat lain Rasullah pernah ditaburi debu oleh orang Quraisy tepat dikepala Rasulullah, ketika Rasulullah lewat di dekat makah. Kemudian Rasulullah pulang ke rumah, melihat ayahnya pulang ke rumah penuh dengan debu maka salah satu putri Rasulullah membersihkan debu tersebut seraya menangis. Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai putriku janganlah menagis sesungguhnya Allah selalu menjaga ayahmu.”
Dari segala upaya-upaya yang dilakukan oleh kaum Quraisy, baik itu berupa tawaran ataupun siksaan yang dilakukan kepada Rasulullah maka akan menimbulkan pertanyaan. Mengapa seorang rasul yang diutus oleh Allah mendapatkan kesulitan atau siksaan oleh kaumnya dan kenapa Allah tidak mempermudah dakwah Rasulullah?
Menyikapi pertanyaan tersebut, Syeikh Ramadhan al-Buthi menjelaskan dalam kitab Fiqh Sirah bahwasanya setiap manusia mempunyai sifat mukallaf artinya, setiap manusia menanggung berbabagai macam beban dari Allah. Bagi orang-orang beriman menjalankan perintah Allah, berupa dakwah adalah sebuah taklif “beban”, yang harus ditegakkan. Lalu kenapa Allah memberikan sebuah taklif “beban” kepada hambanya. Hal ini bertujuan agar supaya menjadi pembeda antara orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan orang-orang yang tidak sunggu-dungguh beriman kepada Allah.
Demikian sebagian kisah dari dakwah Rasulullah. Dalam dakwah dan kisah tersebut memberikan pelajaran kepada kita tentang beberapa hal:
Pertama, hakikat dakwah yang dijalankan Rasulullah bertujuan untuk memurnikan risalah yang diberikan Allah kepadanya, dimana beliau diutus sebagai Rosul pembawa kabar gembira dan memberi peringatan, dengan menyampaikan dan menjelaskan perintah Allah yang di muat dalam kitab suci al-Quran.
Kedua, dakwah yang dijalankan oleh Rasulullah tidak memuat ambisi pribadi dan ambisi keluarga beliau misalnya, beliau melakukan dakwah semata-mata hanya ingin menjadi seorang raja atau menjadi orang yang paling kaya diantara kaumnya atau dengan hal-hal yang bersifat dunia lainnya.
Ketiga, orang yang meliliki idealisme dalam dakwah selalu dihadapkan dengan ujian dan rintanga, termasuk ujian yang berupa tawaran jabatan, kekayaan dan benda-benda materi, atau ujian tersebut berupa siksaan dari kaumnya.
Oleh : Wahid Husaini, Semester VI