WWW.MAHADALYJAKARTA.COM- Perang Uhud adalah salah satu perang bersejarah dalam agama Islam. Peristiwa ini terjadi pada awal periode kenabian. Pertempuran ini berlangsung pada tanggal 23 Maret 625 M di kota Uhud, dekat Madinah, Arab Saudi. Pertempuran ini merupakan kelanjutan dari Perang Badar yang terjadi pada tahun sebelumnya.
Latar belakang Perang Uhud bermula dari kekalahan suku Quraisy dalam Perang Badar. Mereka ingin membalas kekalahan tersebut dan merencanakan serangan yang lebih besar terhadap kaum Muslim. Pada Perang Uhud, pasukan Quraisy dipimpin oleh Abu Sufyan, sementara pasukan Muslim dipimpin oleh Nabi Muhammad saw.
Bulan Syawal tahun ketiga Hijriah menjadi saksi bagaimana akhir sebuah perang bisa memberikan pelajaran berharga bagi kaum Muslim. Setahun sebelumnya, pertempuran pertama antara kaum Muslim dan kaum Quraisy terjadi di lembah Badar. Perang tersebut membuat Nabi Muhammad saw tidak hanya dikenal sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai ahli strategi perang yang luar biasa.
Dalam waktu singkat, Abu Sufyan berhasil mengumpulkan 3.000 pasukan. Selain membawa pasukan bersenjata lengkap, Abu Sufyan juga mengajak pakar strategi perang, yaitu Khalid bin Walid.
Di medan perang, Hamzah dan kaum Muslim terus menyerang kaum Quraisy hingga mendekati kemenangan. Namun, pasukan berkuda Quraisy datang dari arah belakang saat kaum Muslim lengah. Meskipun kaum Muslim berhasil menyatukan kembali barisan mereka, kekuatan mereka kalah dibandingkan dengan kaum Quraisy.
Pasukan Muslim awalnya berhasil mempertahankan posisi mereka di Bukit Uhud. Namun, kesalahan strategi terjadi ketika sebagian pasukan Muslim meninggalkan posisinya untuk mengumpulkan rampasan perang. Pasukan Muslim memiliki sejumlah pemanah di bukit untuk mempertahankan posisi mereka.
Nabi Muhammad saw menempatkan beberapa pasukan pemanah di atas Gunung Uhud untuk mengantisipasi serangan pasukan berkuda Quraisy. Beliau juga berpesan kepada para prajurit Muslim agar tidak meninggalkan posisi mereka apapun yang terjadi selama perang.
Sayangnya, pesan beliau tidak diindahkan oleh pasukan Muslim. Ketika pasukan Quraisy kewalahan dan banyak korban berjatuhan, para pemanah Muslim justru berbondong-bondong turun dari bukit untuk berebut harta rampasan perang. Padahal, Rasulullah saw telah menginstruksikan mereka untuk tetap di posisi masing-masing.
Ketika pasukan Muslim meninggalkan posisi mereka, pasukan Quraisy yang dipimpin oleh Khalid bin Walid melancarkan serangan dari sisi lain yang tidak terjaga. Serangan tersebut menyebabkan kebingungan di antara pasukan Muslim. Beberapa pemanah yang ditempatkan di bukit juga turun untuk ikut bertempur, meninggalkan posisi strategis mereka.
Meskipun pasukan Muslim mengalami kekalahan dalam pertempuran ini, mereka masih mampu mempertahankan posisi di Madinah. Pasukan Quraisy tidak dapat memanfaatkan kemenangan mereka sepenuhnya dan akhirnya mundur kembali ke Mekkah. Setelah perang, Nabi Muhammad saw memerintahkan pasukan Muslim untuk tidak mengejar musuh yang mundur, karena beliau ingin menjaga kesatuan dan keselamatan umat Muslim.
Menurut beberapa sumber, dalam Perang Uhud jumlah syuhada dari pasukan Madinah mencapai 70 orang, yang sebagian besar adalah sahabat Nabi. Sementara dari pihak Quraisy hanya 20 orang yang tewas. Di antara para syuhada tersebut adalah Hamzah bin Abul Muthalib, Mush’ab bin Umair, Abdullah bin Jahsy, Abdullah bin Jubair, Anas bin An-Nadhr, dan Hanzhalah bin Amir. Mereka kemudian dimakamkan di kaki Gunung Uhud.
Pemakaman tersebut berada di dekat Masjid al-Syuhada. Seorang penjaga makam menjelaskan secara rinci keistimewaan para sahabat Nabi yang gugur di Perang Uhud. Salah satunya adalah Hanzhalah bin Amir. Kala itu, Hanzhalah menikahi Jamilah binti Abdullah bin Ubay bin Sahul sehari sebelum Perang Uhud berlangsung. Hanzhalah meminta izin kepada Rasulullah saw untuk bermalam dengan istrinya, dan Rasulullah mengizinkannya. Hanzhalah dan istrinya menghabiskan malam dengan penuh kasih sayang dan kebahagiaan.
Saat fajar tiba, panggilan perang menggema di langit Madinah. Pasukan Abu Sufyan sudah berbaris di luar kota Madinah, siap menyerang. Mendengar panggilan itu, Hanzhalah segera meninggalkan pelukan istrinya. Dengan hati dan wajah yang tenang, ia berpamitan kepada istrinya.
Hanzhalah kemudian bergabung dengan pasukan Rasulullah saw. Pada awalnya, pasukan Muslim berhasil menggagalkan serangan musuh. Namun, situasi berubah ketika para pemanah lengah dan mengabaikan pesan Rasulullah untuk tetap di tempat masing-masing.
Para pemanah turun dari bukit untuk mengumpulkan harta rampasan perang milik pasukan Abu Sufyan yang sudah gugur. Hal ini menyebabkan penjagaan dan pengawasan di beberapa tempat melemah. Akibatnya, pasukan Muslim lengah terhadap serangan musuh dari belakang. Tidak butuh waktu lama bagi pasukan Muslim untuk terpojok, dan satu per satu dari mereka mulai gugur
Kaum Muslimin yang tersisa berusaha bertahan untuk melindungi Rasulullah saw. Dalam situasi genting tersebut, Hanzhalah bin Amir mengamuk dan menebas banyak pasukan Quraisy. Di tengah berkecamuknya pertempuran, pandangan Hanzhalah bertemu dengan Abu Sufyan. Melihat kesempatan itu, Hanzhalah mendekati Abu Sufyan sambil membawa pedangnya. Abu Sufyan yang sudah lemah hanya bisa berteriak dan meminta tolong, “Wahai saudara-saudaraku kaum Quraisy, lihatlah aku, ini Abu Sufyan bin Harb, sedang dalam bahaya!” teriak Abu Sufyan.
Teriakan Abu Sufyan terdengar oleh salah satu pasukannya, dan segera pasukan tersebut menebas tengkuk Hanzhalah. Hanzhalah pun tersungkur tak berdaya ke tanah, lalu dikerumuni dan dihantam oleh pasukan Quraisy. Dalam keadaan sangat lemah, Hanzhalah masih terus dihujani anak panah dan tombak hingga akhirnya tubuhnya tak lagi bergerak.
Hanzhalah bin Amir akhirnya gugur sebagai syahid. Berita tentang syahidnya Hanzhalah membuat banyak orang bersedih. Saat kabar ini tersiar, Rasulullah saw menyampaikan sebuah peristiwa yang menakjubkan. Beliau bersabda bahwa Hanzhalah telah dimandikan oleh para malaikat, “Sesungguhnya aku melihat para malaikat memandikan Hanzhalah bin Amir di antara langit dan bumi dengan air hujan yang dialasi oleh alas terbuat dari perak.”
Para sahabat tercengang mendengar berita dari Rasulullah. Untuk membuktikan kebenaran tersebut, mereka mendekati jasad Hanzhalah. Mereka terkejut ketika melihat wajah Hanzhalah bercahaya dengan senyuman yang menghiasi wajahnya, dan dari rambutnya terlihat tetesan air yang perlahan-lahan turun.
Rasulullah saw juga mengatakan bahwa Hanzhalah dapat langsung mencium aroma surga tanpa melalui proses hisab terlebih dahulu. Rasulullah kemudian mengutus seseorang untuk menanyakan kepada istrinya, Jamilah binti Abdullah, tentang apa yang terjadi pada Hanzhalah. Jamilah menceritakan bahwa suaminya berada dalam keadaan junub dan tidak sempat mandi besar karena segera berangkat setelah mendengar seruan perang.
Hanzhalah kini dikenal sebagai Hanzhalah Ghasilul Malaikah (syahid yang jenazahnya dimandikan oleh para malaikat). Dia mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah Swt, suatu tempat yang tidak semua orang mampu mencapainya.
Rasulullah saw bersabda, “Allah Swt berfirman: ‘Tiada balasan bagi hamba-Ku yang berserah diri saat Aku mengambil sesuatu yang dikasihinya di dunia, kecuali surga.'” (HR Bukhari)
Referensi:
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyurrahman, Kitab Sirah Nabawiyah Perjalanan Hidup Rasul Yang Agung Muhammad, Jakarta: Darul Haq, 2022.
Al-Mishri, Syaikh Mahmusd, Semua Ada Saatnya, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011.
Harun, Abdussalam Muhammad, Kitab Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam, Kairo: Maktabah As-Sunnah, 1409 H/ 1989 M.
Murod, Mustofa, Dialog Malaikat Maut Dengan Para Nabi a.s, Jakarta Selatan: Noura Books (PT Mizan Publika), 2014.
Rasyid, Dais, Islam Dalam Berbagai Dimensi, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Kontributor: Kholifah, Semester III