Haji Rasul: Sang Pelopor Kebangkitan Islam

Haji Rasul: Sang Pelopor Kebangkitan Islam

MAHADALYJAKARTA.COM – Haji Abdul Karim Amrullah yang dikenal dengan Haji Rasul merupakan salah seorang dari empat serangkai pembaharu Islam di Minangkabau, termasuk Haji Abdullah Ahmad, Syekh Muhammad Thalib Umar dan Syekh Muhammad Jamil Jambek (awal abad ke-20 M). Penggagas pertama gerakan pembaharu Kaum Mudo Minangkabau yang menyebarkan ide dan pemikiran pembaharuannya murni mengedepankan intelektualitas yang bertumpu pada kekuatan penalaran bukan kekuatan fisik.

Seorang yang digelari Doktor Honoris Causa atau Inyiak Dr (Doktor) oleh Al-Azhar Kairo ini berupaya untuk memperbaharui dan memurnikan dasar kepercayaan umat kepada tuntunan Al-Qur’an dan Hadits. Beliau merupakan ayahanda dari salah satu tokoh perjuangan Indonesia, yakni Buya Hamka.

Haji Rasul lahir di sungai Batang, Maninjau Sumatera Barat pada tanggal 10 Februari 1879/17 Safar 1296 H, anak dari seorang ulama besar Minangkabau bernama Syekh Muhammad Amrullah dengan gelar “Tuanku Kisai” dan ibunya bernama Tarwasa. Meninggal di Jakarta tahun 1945. Orang tua beliau mengajarkan ilmu-ilmu dasar agama Islam sejak kecil dan ia belajar kepada tokoh-tokoh ulama terkemuka, di antaranya Tuanku Pakih Samun di Tarusan, Tuanku H. Hud, dan Tuanku Muhammad Yusuf di Rotan Pariaman. Ayahnya menganjurkan agar beliau belajar agama di Mekkah pada usia 16 tahun. 

Beliau mempunyai empat orang anak Abdul Malik (Buya Hamka), Abdul Kudus, Asma dan Abdul Mu’ti. Haji Rasul juga memiliki anak yang dari istrinya yang bernama Rafi’ah binti Sutan Palembang, yakni Abdul Bari, Dariyah, Salimah, Dalimah, Upik Japang, Saerah, Gadis, Latifah, dan Fatimah.

Haji Rasul memiliki banyak murid antara lain Abdul Hamid Hakim, Zainuddin Labia El-Yunusi, Haji Abbas Datuk Tunaro, H. Yusuf Amrullah, A.R. Sutan Mansyur, Haji Jalaluddin Thalib, Haji Mukhtar Luthfi, Hashim El Husni Adam Balai-Balai, Rahmah El-Yunusiyah, Rasuna Said, Dan Hamka (putranya sendiri).

Haji Rasul memperoleh pendidikan elementer secara tradisional di berbagai tempat di Minangkabau dan pada tahun 1894 M pergi ke Mekkah untuk beribadah haji dan belajar selama 7 tahun. Beliau belajar dengan ulama besar yaitu Syekh Taher Jalaluddin, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Usman Serawak, Syekh Abdullah Jamidin, Syekh Shalih Bafadhal dan lain sebagainya. Pada tahun 1903 M, beliau kembali ke Mekkah untuk kedua kalinya dan pulang ke Minangkabau 1906 M. 

Ketika Haji Rasul pulang dari Mekkah, keluasan ilmunya itu diberi gelar ‘Fakih Kisai’. Gelar tersebut disematkan karena kemampuannya dalam menghafal Al-Qur’an. Namun selain itu, beliau seorang Syekh tarekat Naqsabandiyah, ahli tafsir, fiqh, tasawuf, dan ilmu bahasa Arab. Dengan penguasaan ilmu, beliau berkedudukan tinggi di Minangkabau, sehingga juga digelari, Syekh Nan Tuo. 

Beliau pelopor pembaharuan Islam bercorak pemikiran moderat dengan mendirikan dan memajukan pendidikan Islam di Minangkabau. Menurut filsafat hidup orang Minangkabau antara adat dan agama berjalan secara sinergis, tidak ada pertentangan antara adat dan agama. Hubungan antara adat dan agama diungkapkan dalam sebuah falsafah Minangkabau yang sangat terkenal, yaitu:

“Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, Syara’ Mangato Adat Mamakai, Cermin Nan Indak Kabua, Palito Nan Indak Padam.” 

Namun kenyataannya, mereka melakukan hal yang menyimpang dengan agama seperti ritual ibadah yang mengandung syirik, bid’ah, dan khurafat. Mereka pun terikat pada kejumudan dan kebekuan pemikiran dalam masalah dunia yang jauh dari pedoman Al-Qur’an dan Hadits. 

Haji Rasul menegakkan pembaharuan Islam di Minangkabau melalui jalur pendidikan dengan mendirikan Surau Jembatan Besi yang kemudian berkembang menjadi Sumatera Thawalib (nama ini diusulkan oleh Zainuddin Labay El-Yunusi karena kebanyakan para murid berasal di luar Padang Panjang) tahun 1918. 

Pada 1920 M, Haji Rasul memperbarui berbagai kitab yang dijadikan sebagai rujukan di perguruan tinggi Sumatera Thawalib. Di samping mempelajari berbagai kitab baru karangan guru-guru mereka sendiri, yaitu karangan Haji Rasul sendiri beserta teman-temannya, di antaranya, yaitu:

1. Kitab Durusul Fiqih, karangan Zainuddin Labay El-Yunusi, untuk menggantikan kitab Fathul Qorib, kitab Mabadi Arabiah, dan lainnya.

2. Kitab Mu’in Al-Mubin, Tahzibul Akhlak, Al-Bayan, As-Sullam dan kitab karangan Angku Mudo Abdul Hamid Hakim.

3. Kitab Asassul Adab, Mabadi’ Ilmu Nahwu, Lubabul Fiqih, Mabadi’ Ilmu Shara, Al-Huda, Al-Tashil dan lain-lain karangan Abdurrahim Al-Manafi.

Sepulangnya dari Mekkah, beliau menyaksikan kondisi masyarakat Padang Panjang sedang diliputi dengan paham taqlid yang diserukan para ulama sebelumnya. Melihat kondisi tersebut, beliau terdorong untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan dengan mengembangkan sistem pendidikan Islam menjadi lebih modern. Beliau dikenal sebagai tokoh ulama yang mempelopori transformasi sistem pendidikan surau menjadi ‘madrasah’.

Berdasarkan sejarah dan kronologi perkembangan Pendidikan Islam di Minangkabau sampai berdiri sebuah madrasah, dapat dibedakan menjadi 3 periode, yaitu: 

1. Sekitar tahun 1680-1900 M, yakni periode Pendidikan Islam lama: sejak berdirinya surau Burhanuddin Ulakan Pariaman; 

2. Tahun 1900-1908 M, yakni periode Pendidikan Islam dalam perubahan; 

3. Sekitar tahun 1904-1830 M, yakni periode Pendidikan Islam masa lahirnya madrasah-madrasah, dapat disebut sebagai masa pembaharuan Pendidikan Islam.

Haji Rasul berusaha memberikan ilmu serta wawasan yang luas kepada semua muridnya dengan cara memperhatikan berbagai kitab yang digunakan dalam pembelajaran dan memperlihatkan berbagai kitab yang digunakan dalam pembelajaran dan memperlihatkan usaha beliau dalam menyebarluaskan berbagai bidang baru dalam dunia Pendidikan Islam. Haji Rasul berhasil menulis sebuah buku berjudul “Hanya Allah” yang terangkum tiga nilai inti di dalamnya, yaitu:

1. Menyiapkan manusia tahu murid yang bertakwa, berilmu pengetahuan, beriman; 

2. Menyiapkan manusia atau murid jadi orang yang bertanggungjawab;

3. Menyiapkan manusia atau murid jadi orang yang berbudi pekerti luhur dan berakhlak mulia. 

Beliau juga sangat aktif di sistem sekolah reformis muslim yang melahirkan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI), menjadi penasehat Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) pada tahun 1920, memberikan bantuan bagi pendirian sekolah menengah normal Islam di Padang pada 1913. Beliau dan sahabatnya itu menerbitkan majalah Al-Munir (1911) sebagai media untuk menyebarluaskan gagasan dan pemikiran pembaharuannya.

Pada tahun 1324 H/1906 M, Haji Rasul sangat berduka karena anak dan istrinya meninggal dunia. Saat itu beliau berada di Mekkah, ayahnya meminta agar Haji Rasul segera pulang ke kampung halaman. Kemudian, beliau dinikahkan dengan Syafiah yaitu adik almarhumah istriya. Pada tahun 1907 di usia 72 tahun, Syekh Amrullah wafat bertepatan pada 15 Februari, Syafiah melahirkan anak laki-laki yakni Abdul Malik Karim Amrullah yang kita kenal Buya Hamka. Pada 1917 M, Haji Rasul pergi ke Jawa menemui dan berdiskusi dengan Sendi Anam. Sultan Mansur menggagas agar sekolah Sendi Anam menjadi Madrasah Ibtidaiyah yang merupakan cabang Muhammadiyah pertama di Minangkabau. 

Dalam berdakwah Haji Rasul berpegang teguh terhadap KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan para aktivis pergerakan kemerdekaan HOS Tjokroaminoto, Abdul Muis, dan yang lainnya. Sekembalinya ke Minangkabau, Haji Rasul menyosialisasikan pengalamannya kepada teman-temannya tentang Muhammadiyah dan mendirikan Muhammadiyah pertama di Sungai Batang Maninjau dengan nama Lembaga kebenaran dan tidak segan mengkritisi pemahaman Islam para Sultan dan bangsawan, serta ulama yang menurutnya menyimpang dari akidah atau sendi-sendi dasar Islam. Haji Rasul aktif memberikan pengajian, nasihat dan fatwa kepada jamaah baik itu di Minangkabau, Jawa hingga ke Malaysia, Singapura. Ketika Haji Rasul berkhutbah Jum’at yang biasanya para khatib menggunakan bahasa Arab, beliau dengan bahasa Melayu atau bahasa penduduk setempat yang mudah dipahami dan dimengerti oleh mereka.

Akhir kalam mengutip tulisannya dari karya Buya Hamka dengan judul “Ayahku” yang menuliskan riwayat sang ayah sendiri.

Laa ilaaha illallaah, tidak ada pertuhanan yang disembah dengan sebenarnya, melainkan Allah. Dengan ini, aku tutuplah tulisanku adalah sekadar yang perlu untuk menjunjung tinggi permintaan Paduka Tuan Kolonel Horie. Sekali lagi, aku harap kiranya beliau akan memaafkan jika dalam tulisan ini kedapatan kata-kata yang janggal atau yang kurang baik menurut kesopanan tulis-menulis, terutama menurut perasaan dan pertimbangan tuan-tuan dari bangsa Nippon, yang bagiku semua itu masih bersifat baru.

Akan penutup, aku menyampaikan beribu tabik dan hormat. Mudah-mudahan disempurnakan Allah Swt petunjuk-Nya untuk kita semua, dihidupkan-Nya Islam, disentosakan-Nya Asia Raya di bawah pimpinan Dai Nippon, dan dimenangkan-Nya perangnya menghadapi musuh adanya, aamiin. 

Jakarta, April 1943 M

Hormatku,

Doktor Fid Diin 

Referensi:

Aizid, Rizem, Para Pelopor Kebangkitan Islam, Yogyakarta: DIVA Press, 2017.

Hamka, Sejarah Perkembanurnian Ajaran Islam di Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1961.

Hamka, Ayahku. Depok: Gema Insani, 2019.

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Yunus, Muhammad, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996. 

Dr Azhari Akmal Tarigan, M.Ag., Dr. Jufri Naldo, M.A. 2022. Analisis Sosiologis Perubahan Pola Pembagian Warisan Sebagai Modal Usaha Pada Masyarakat Minang di Kota Medan dan Kota Padang. UINSU Medan.

Novita Siswayanti, “Haji Abdul Karim Amrullah Ulama Pembaharu Islam di Minangkabau”, Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan, Vol. 39, No. 1, Juni 2016, hlm 34

Rudi Sutrisna, “Peranan H, Abdul Karim Amrullah dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau Awal Abad XX”, Jurnal hasil penelitian, digilib.uns.ac.id 

Uswatun Hasanah, Vina Nur Afianah, Mohamad Salik, “K.H Abdul Karim Amrullah dan Gagasannya dalam Pengembangannya Pendidikan Islam di Sumatera Barat”, Jurnal Edureligia UIN Sunan Ampel Surabaya, Vol. 05 No. 02, Juli-Desember 2021, ejournal.unuja.ac.id/index.php/edureligia 

Saputro, Ichsan Wibowo. 2016, “Konsep Tauhid Menurut Abdul Karim Amrullah dan Imnplikasinya terhadap Tujuan Pendidikan Islam”, Jurnal: UIN Sunan KAlijaga. 11 (2)

Kontributor: Siti Yayu Magtufah, Semester VI

Leave a Reply