Ma’had Aly – Sekitar tahun 6 H, setelah kembali dari Hudaibiyah, Rasulullah saw. menulis surat yang ditunjukkan kepada beberapa raja, kepala suku, tokoh agama dan tokoh politik terkemuka, menyeru kepada mereka tentang Islam. Surat tersebut saat ini tercatat ada sekitar 185 surat baik itu surat ajakan untuk masuk Islam maupun surat perjanjian saja. Saat hendak menulis surat-surat yang ditujukan kepada beberapa raja itu, ada seseorang yang memberi tahu nabi bahwa mereka para raja itu tidak akan menerima surat-surat dari nabi tersebut jika tanpa cincin stempel. Karena usul dari seseorang tersebut, maka Nabi Muhammad kemudian membuat cincin stempel untuk surat-surat yang akan dikirimkan kepada para raja-raja.
Cincin stempel tersebut terbuat dari perak, dengan cetakan yang berbunyi “Muhammad Rasul Allah”. Cetakan tulisan ini tersusun dalam beberapa baris. Satu baris berbunyi “Muhammad” satu baris berbunyi “Rasul”, satu baris lagi berbunyi “Allah”, dengan susunan yang dimulai dari bawah.
Nabi Muhammad saw. menunjuk beberapa orang sahabat sebagai kurir, yang cukup memiliki pengetahuan. Al-Alamah Al-Manshurfuri memastikan bahwa Nabi Muhammad saw., mengutus para kurir tersebut pada bulan Muharram tahun 7 H, beberapa hari sebelum pergi ke Khaibar.
Maka saat itulah ada salah satu utusan nabi sampai kepada raja Muqawqis, atau yang bernama Juraij bin Mata, seorang raja Mesir dan Iskandaria. Surat tersebut dibawa Hathib bin Abu Balta’ah, surat yang berisi ajakan masuk ke agama Allah. Hathib ini sendiri ketika sampai di tempat raja Muqauqis pun disambut dengan hangat oleh raja, meskipun ia tidak langsung menyatakan masuk Islam namun ia membalas surat nabi dan memberikan dua gadis yang memiliki kedudukan terhormat di Qibthi, beberapa lembar kain dan juga baghal yang bernama Duldul.
Dua gadis ini bernama Mariah Al-Qibthiyah dan Sirin, dan dari sinilah kisah antara Nabi Muhammad dengan Mariah dimulai, karena Nabi mengambil Mariah sedangkan Sirin diberikan kepada Hassan bin Tsabir Al-Anshari.
Pada awal ketika Mariah dan juga Sirin berangkat menuju negeri nabi, mereka berdua tampak sedih karena harus berpisah jauh dari negerinya atau tanah kelahirannya hingga rasa sedihnya tersebut ditangkap oleh Hathib sang utusan, Hathib pun kemudian menceritakan berbagai kisah tentang negerinya dan juga kisah mengenai akhlak nabi Muhammad saw. Perjalanan jauh tersebut, selain Hathib gunakan untuk menghibur, ia gunakan juga untuk mendidik dan menanamkan keimanan di hati Mariah dan Sirrin. Berkat berbagai soal dan penjelasan Hathib yang diberikan kepada dua wanita Mesir tersebut, akhirnya dua wanita Mesir itu mulai melupakan tanah kelahiranya dan mulai timbul di hatinya harapan-harapan baik mengenai negeri yang akan didatanginya dan juga masyarakat baru yang akan mereka temui. Namun setibanya dua wanita Mesir tersebut, Rasul memilih Mariah, istri-istri Rasul merasa cemburu atas kehadirannya, sehingga nabi harus menitipkan Mariah di rumah Haritsah bin Nu’man yang berada di sebelah masjid Nabawi.
Selama berada di sekitar Rasulullah saw. Mariah Al-Qibthiyah merasakan perhatian dan kasih sayang Rsulullah sehingga ia merasa tenang dan tentram berada di negeri tersebut. Hingga ketika memasuki tahun kedua, Rasulullah tidak pernah mengalami kesukaran karenanya, karena Mariah sangat patuh kepada Rasul. Tidak ada petunjuk Rasulullah yang tidak diindahkan olehnya. Meskipun ia hanya seorang sariyyah tetapi ia ridha diminta Rasul untuk memakai hijab seperti para istri Rasulullah yang lain.
Selama itu pula ia senang sekali mendengar tentang kisah Siti Hajar. Ia tak putus-putusnya mengenang kisah tersebut hingga suatu ketika ia merasakan gejala-gejala kehamilan. Tetapi ia menganggap itu hanya sebuah khayalan untuk menjadi seorang ibu yang tak kunjung padam, dan kenangannya yang tak luput dari kisah Hajar dan Ismail.
Mariah menyembunyikan perasaan tersebut hingga berbulan–bulan hingga timbullah gejala yang semakin jelas, dan kemudian ia sampaikan hal tersebut kepada Sirrin kerabatnya. Hingga akhirnya Rasulullah mendengar tentang gejala-gejala kehamilan Mariah yang ternyata gejala-gejala tersebut sama seperti yang dirasakan oleh Khadijah waktu dulu. Mengetahui hal tersebut kemudian nabi menengadahkan tangannya ke langit seraya mengucap rasa syukur ke hadirat Allah swt. dengan wajah yang berseri-seri.
Maka ketika Mariah menceritakan keragu-raguannya pada masa awal kehamilannya dulu, Rasulullah kemudian teringat akan firman Allah yang menceritakan kisah Nabi Zakariyya yang juga ragu akan kehamilan isterinya, karena pada hakikatnya isteri Nabi Zakariyya dahulu adalah seorang yang mandul dan nabi Zakariyya sendiri sudah tidak muda lagi. Mendengar kisah tersebut, Mariah kemudian tertawa sambil berkata, “Tetapi saya bukanlah wanita tua, ya Rasulallah!”
Berita tentang kehamilan Mariah pun cepat sekali menyebar di seluruh kota Madinah, bahwa Rasul tengah menunggu lahirnya anak beliau dari Mariah putri Mesir. Kabar tersebut pun menjadi sebuah kabar yang cukup memilukan bagi Ummul Mukminin, sebab mereka belum mampu memberikan keturunan kepada Rasul seperti Mariah Al-Qibthiyah. Maka untuk menghindari berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan Rasulullah kemudian memindahkan Mariah ke dataran tinggi di pinggiran kota Madinah. Ia pindah di tempat baru tersebut juga ditemani kerabatnya Sirrin hingga melahirkan.
Hingga pada bulan Dzulhijjah anak laki-laki lahir dari rahim Mariah. Selain Rasulullah sendiri, kaum Muslimin juga menyambut kelahiran putra Rasulullah tersebut dengan penuh kegembiraan, yang kemudian oleh Rasulullah putranya itu diberi nama Ibrahim. Maka sebagai rasa syukur, Rasulullah kemudian memberikan sedekah kepada fakir miskin. Banyak para istri dari kaum Anshar pula yang menyatakan kesediaan untuk menyusui Ibrahim putra kecil Nabi saw., namun Nabi Muhammad saw. menentukan sendiri siapa wanita yang akan menyusui Ibrahim. Sehingga wanita yang mendapat kepercayaan tersebut adalah Ummu Burdah binti Al-Mundzir dari Bani Adi bin Al-Najjar. Wanita tersebut adalah istri Al-Barra bin Aus ibn Khalid.
Namun ternyata kebahagiaan yang dirasakan Nabi Muhammad dan Maria tidak berlangsung lama karena kurang dari dua tahun Ibrahim kemudian sakit dan meninggal dunia. Nabi Muhammad datang kepada putranya yang meninggal tersebut dipapah oleh Abdurrahman bin Auf. Beliau menghampiri putranya yang masih berada di pangkuan ibunya, beliau ambil lalu beliau letakkan dipangkuannya sendiri. Nabi Muhammad memandangi wajah putranya tersebut dengan meneteskan air mata sembari mencium sebagai ciuman terakhir untuk putranya.
Nabi Muhammad menghadapi kesedihannya dengan memperbesar kesabaran dan bertawakkal sepenuhnya, menerima apa yang telah menjadi kehendak Allah swt. Demikian pula Mariah, ia tetap tinggal di rumahnya dengan menahan kesedihannya. Ketika kepedihannya sudah tidak tertahankan lagi, ia kemudian pergi ke perkuburan Baqi’ dan mengunjungi makam Ibrahim. Tidak begitu lama setelah meninggalnya Ibrahim pada tahun ke sepuluh, pada bulan Rabi’ul Awal tahun berikutnya yaitu tahun ke sebelas hijriyah, rasulullah wafat meninggalkan Mariah pula.
Referensi
Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, Terj. Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997.
Shubani, Ar Risalah, Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996
Badrut Tamam, Beginilah Rasulullah Menggauli Istri-Istrinya, Sidoarjo: Mashun, 2009.
Ali Yusuf Subki, Biografi Istri-Istri Nabi, Terj. Akhmad Syfiuddin, Depok: Kaira Publishing, 2010
Jam’ah Khalil Ahmad, Istri-Istri Para Nabi, Terj. Fadhil Bahri, Jakarta: Darul Falah, 2007.
Oleh : Aulal Musyafiul Aliya Dewi, Semester VI