Zainab Al-Ghazali: Sang Revolusioner dalam Tafsir Gender
WWW.MAHADALYJAKARTA.COM-
Identitas buku:
Judul: Perempuan dalam Jejak Sejarah Zainab Al-Ghazali: Sang Revolusioner dan Tafsirnya Tentang Ayat-Ayat Gender
Penulis: Fitriyah Syam’un
Tebal: 102 halaman
Penerbit: SL Books
Tahun: 2022
ISBN: 978 623 5365 20 6
Biografi Zainab al-Ghazali
Zainab Muhammad al- Ghazali lahir pada 02 Januari 1917 M (sumber lain mengatakan tahun kelahirannya adalah 1918 M), 08 Rabi’ul Awal 1335 H di Mayyet Yaisy yang merupakan sebuah desa di pusat Mayyet Ghumar ad-Daqiliyah di daerah Buhairah, Mesir. Nasab dari ayahnya masih bersambung dengan khalifah Umar bin Khattab ra, dan nasab dari ibunya masih bersambung dengan sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Kakek Zainab merupakan seorang saudagar kapas yang masyhur. Sedangkan ayahnya Zainab merupakan seorang ulama di Al-Azhar, Mesir. Ayahnya bernama Muhammad al-Ghazali al-Jabili.
Zainab kemudian menikah dengan Muhammad Salim yang merupakan seorang ekonom yang masih memiliki hubungan kerabat dengan keluarganya. Kehidupan rumah tangganya berjalan harmonis karena suaminya merupakan seorang laki-laki yang tulus dan berperan memikul beban perjuangan dakwah istrinya memberikan kepercayaan dukungan kepada Zainab dalam memimpin gerakan perempuan muslimah yang didirikannya.
Selain mendirikan organisasi perempuan Zainab juga berperan penting dalam organisasi Ikhwanul Muslimin sehingga ketika pada tahun peristiwa tribulasi organisasi tersebut, hal itu berdampak pada kehidupan rumah tangga Zainab. Pada saat itu suaminya sering mendapat teror dari orang-orang yang memusuhi Zainab. Bahkan pada masa penahanan Zainab ia mendapati kabar tentang kewafatan suaminya dan membuat dirinya sangat terpukul karena ketika detik-detik terakhir hidup suaminya Zainab tidak berada di sampingnya.
Zainab dikenal sebagai seorang perempuan yang tegas dan jujur beberapa kali diketahui ia selalu menolak bergabung dengan Arab Socialis Union, sebuah partai politik yang didirikan oleh Gamal Abdul Nasr, dengan alasan bahwa Zainab tidak satu pendapat mengenai sistem pemerintahan yang diterapkan, maka tidak heran Zaenab mendapat kemarahan dari rezim yang berkuasa pada saat itu. Berkali-kali Zainab juga menegaskan bahwa ia tidak akan tergiur dengan jabatan atau uang yang ditawarkan karena justru pendiriannya dalam berdakwah semakin tajam dan kuat.
Zainab al-Ghazali wafat pada tanggal 3 Agustus 2005 di usianya yang ke 88 tahun setelah kondisi kesehatan yang semakin menurun dan penglihatannya yang semakin mengabur.
Pendidikan dan Karir Zainab al-Ghazali
Zainab al-Ghazali menempuh pendidikan pertamanya di sebuah madrasah yang berada di kampung halamannya. Ia juga mendapat kesempatan untuk belajar di sekolah kerajaan dan mengikuti pengajian agama di bawah bimbingan para ulama al-Azhar. Beberapa ulama tersebut adalah Syekh Ali Mahfudz ketua bagian pengajaran dan bimbingan di al-Azhar Syekh Muhammad Sulaiman al-Najjar dan Syekh al-Majid al-Labban. Dengan ilmu yang dipelajarinya dari ulama-ulama tersebut Zainab berhasil menggabungkan antara disiplin ilmu modern dan tradisional.
Setelah lulus pendidikan menengah Zainab al-Ghazali melanjutkan pendidikannya di Universitas al-Azhar dan sangat aktif mengikuti kegiatan-kegiatan di kampusnya. Pada masanya Zainab bergabung dengan organisasi perempuan modern yang dipimpin oleh Huda Sya’rawi yaitu al-ittihad an-Nisa’i (persatuan perempuan). Ia bergabung karena melihat bahwa di dalamnya organisasi ini bertujuan ingin memajukan perempuan-perempuan Mesir.
Karya-Karya Zainab al-Ghazali
Dalam perjalanan hidupnya Zainab merupakan tokoh pergerakan dari kalangan perempuan yang sumbangannya dalam memperjuangkan hal-hal perempuan sudah tidak diragukan lagi ia melebarkan sayapnya melalui organisasi Sayyidah Muslimah yang didirikan pada usianya yang masih sangat muda keberaniannya itu didapat dari pendidikan masa kecil yang berhasil membentuk Zainab sebagai seorang perempuan yang kuat dan gigih.
Penafsiran Zainab Al-Ghazali terhadap Ayat-Ayat Gender dalam Al-Qur’an
Ayat-ayat gender sudah lama menjadi bagian dari objek kegiatan penafsiran oleh para mufassir baik klasik maupun kontemporer, dengan berbagai pendekatan tafsir dari para mufassir itu sendiri yang menyebabkan produk tafsirnya pun berbeda-beda.
Berhubungan dengan teks keagamaan tersebut terkadang ia dijadikan sebagai legitimasi membangun kesetaraan gender, namun saat bersamaan, doktrin yang sama juga digunakan untuk menggaungkan sikap yang anti pada kesetaraan gender. Yang akhirnya menyebabkan peran perempuan selalu mengalami pasang surut pada setiap masanya.
Hal tersebut mengakibatkan tujuan luhur Al-Qur’an tidak termanifestasikan dengan baik untuk kehidupan umat Islam pasca kenabian. Beberapa faktor penyebab munculnya paham keagamaan yang tidak ramah perempuan yaitu pertama, umat Islam lebih banyak memahami agama secara dogmatis artinya bersifat mengikuti tanpa mau menjabarkan dengan krisis ajaran agama tersebut. Maka tidak heran jika pemahaman pertama ini sangatlah ahistoris atau berlawanan dengan sejarah. Kedua, pemahaman tentang relasi gender dimasyarakat lebih banyak mengacu pada pemahaman tekstual dan mengabaikan aspek kontekstual yang mengedepankan prinsip egaliter atau sederajat dan bersifat menyesuaikan diri dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Dua faktor itulah yang kemudian melahirkan pemahaman teks keagamaan yang akhirnya menyudutkan kaum perempuan.
Beberapa penafsiran Zainab al-Ghazali terhadap ayat-ayat gender dalam Al-Qur’an
- Qur’an Surat An-Nisa ayat 1 (Hakikat Penciptaan Laki-Laki dan Perempuan)
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءًۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak dan bertakwalah kepada Allah dengan mempergunakan namanya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”
Dalam tafsirnya Zainab al-Ghazali menjelaskan sesungguhnya laki-laki dan perempuan merupakan satu kesatuan yang utuh. Maka ayat di atas sejatinya meneguhkan relasi kehidupan yang ada di antara laki-laki dan perempuan melalui hubungan seksual yang halal yaitu pernikahan keduanya mempunyai keturunan yang banyak sehingga dengan demikian pernikahan sebenarnya adalah sebagian dari syariat Allah serta aturan yang memperindah kehidupan mereka mulai dari terciptanya alam semesta hingga akhir zaman itulah hikmah serta kehendak dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Ada beberapa poin yang menjadi penafsiran Zainab al-Ghazali terkait Surat An-Nisa ayat 1 tersebut diantaranya :
- Laki-laki dan perempuan merupakan suatu kesatuan yang utuh untuk saling melengkapi satu sama lain.
- Laki-laki dan perempuan diciptakan dari jiwa yang satu.
- Laki-laki dan perempuan sering mobilisasi untuk menciptakan banyak keturunan di muka bumi.
- Laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah yang telah menciptakan manusia dari awal yang tiada.
Penafsiran Zainab Al Ghazali jelas sekali ingin menekankan bahwa kedua jenis makhluk laki-laki dan perempuan adalah sama saudara dan tidak ada yang membedakan di antara penciptaan keduanya yang sering melahirkan pemahaman bahwa perempuan tidak akan tercipta tanpa terciptanya laki-laki sehingga hal itu memicu penyurutan kaum perempuan pada setiap masanya.
2. Qur’an Surat Ali-Imran ayat 195 (Kedudukan dan Kesetaraan antara Laki-Laki dan Perempuan)
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ اَنِّيْ لَآ اُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰىۚ بَعْضُكُمْ مِّنْۢ بَعْضٍۚ فَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَاُخْرِجُوْ مِنْ دِيَارِهِمْ وَاُوْذُوْا فِيْ سَبِيْلِيْ وَقٰتَلُوْا وَقُتِلُوْا لَاُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّاٰتِهِمْ وَلَاُدْخِلَنَّهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۚ ثَوَابًا مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الثَّوَابِ
Artinya: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya dengan berfirman sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu baik laki-laki atau perempuan karena sebagian kamu adalah keturunan dari sebagian yang lain maka orang-orang yang berhijrah yang diusir dari kampung halamannya yang disakiti perjalananku yang berperang dan yang dibunuh pastilah akan kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan hasilnya aku memasukkan ke surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya dan sebagai pahala di sisi Allah dan Allah maha baik pada sisinya pahala yang baik.”
Dalam ayat ini Zainab al-Ghazali secara jelas menafsirkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara, karena Allah telah menjadikan keduanya bentuk dari kemanusiaan yang sempurna dan Allah menyerahkan pengelolaan makhluk hidup di alam ini kepada laki-laki dan perempuan yang dengannya bisa mendatangkan keridhaan Allah untuk hambanya yang paling bertakwa.
Beberapa poin yang menjadi penafsiran Zainab al-Ghazali terkait Surat Ali Imran ayat 195 tersebut diantaranya:
- Allah memberikan kemuliaan secara bersamaan terhadap laki-laki dan perempuan.
- Laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk menjalani syariat nabi shallallahu alaihi laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk menjalani syariat nabi Saw.
- Laki-laki dan perempuan diberikan amanah untuk menjaga keseimbangan serta bersama-sama menjalankan amanah dan menyampaikan risalah agama.
Kita telah melihat bagaimana penafsiran Zainab al-Ghazali terkait ayat-ayat gender pada poin-poin sebelumnya tidak ada sama sekali terlihat ada unsur memojokkan laki-laki seperti yang dilakukan para tokoh feminis liberal pada umumnya.
Inilah yang menjadi poin menarik dari pemikiran Zainab al-Ghazali ketika menafsirkan ayat-ayat gender. Beliau memperjuangkan hak-hak perempuan yang semestinya melalui pemikiran dan perjuangannya tanpa harus memaksakan kehendaknya sendiri.
Semoga dengan penafsiran Zainab al-Ghazali terkait ayat-ayat gender ini mampu merubah paradigma yang salah terkait relasi antara laki-laki dan perempuan yang selama ini seolah sudah menjadi pemahaman yang permanen karena memang didukung pemahaman pada teks keagamaan yang sangat begitu kuat pengaruhnya terhadap kehidupan sosial.
Demikianlah sekilas gambaran tentang buku Perempuan dalam Jejak Sejarah ini. Semoga dengan buku ini, kita mengetahui sumbangan perempuan dalam bidang tafsir salah satunya tafsir Zainab al-Ghazali mampu membuat kita tersadar bagaimana hak dan kedudukan perempuan yang sebenarnya. Wallahu ‘alam bi ash-Showab.
Kontributor: Wirdatul Jannah, Semester V
Editor: Yayu