Judul: Konflik dan Taktik Perang Jawa 1825-1830
Penulis: Muhammad Muhibbudin
Penerbit: Araska Publisher
Kota terbit: Yogyakarta
Tahun terbit: 2018
ISBN: 978-602-5805-29-5
Subyek: Sejarah
Edisi: Cetakan 1
Halaman: 260 hlm
Sinopsis
Perang Jawa adalah salah satu perang terbesar yang pernah dilakukan pasukan kolonial Belanda selama di Nusantara. Pada masa itu, Belanda dipimpin oleh Jenderal De Kock yang berusaha membungkam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya Perang Jawa adalah pada masa pemerintahan Hamengkubuwono IV. Pada masa itu, martabat keraton jatuh dan wibawanya runtuh sebab mereka menyerahkan diri dalam kekuasaan kaum penjajah. Dalam pandangan masyarakat Jawa, hal itu dinilai sebagai ketidakmampuan istana dalam melindungi rakyatnya dari penjajahan. Sebab penguasaan rezim kolonial tersebut menjadikan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat menjadi berlipat-lipat.
Perang ini menjadi titik awal kebangkitan masyarakat Jawa dalam melawan Belanda dan bangsa Eropa lainnya. Perang Jawa menjadi sebuah bukti nyata akan sifat nasionalisme dan patriotisme yang tertanam dalam diri Pangeran Diponegoro dan masyarakat Jawa pada saat itu. Kala itu, Pangeran Diponegoro tidak rela melihat tanah kelahirannya menjadi porak poranda karena moral Jawa yang selama ini diagungkan-agungkan justru ditinggalkan begitu saja karena pengaruh yang kuat dari bangsa Barat.
Dalam buku ini, penulis menjelaskan tentang Sejarah Perang Jawa yang berlangsung pada tahun 1825-1830. Pembaca diajak untuk mendalami jejak jihad dan pengorbanan Pangeran Diponegoro. Perang ini menjadi konflik terbesar selama masa penjajahan Belanda di Nusantara. Meskipun perang ini hanya berlangsung selama lima tahun dan berakhir dengan kekalahan di pihak Pangeran Diponegoro, namun pasukan Belanda dibuat kewalahan oleh perlawanan tersebut.
Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa, sedangkan korban dari pihak Belanda yang tewas berjumlahkan 800.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Selama ini, yang kita ketahui hanyalah sedikit kisah tentang sejarah. Tak lain hanyalah printilan kecil dari kisah sejarah yang sering kita pelajari ketika Sekolah Dasar. Namun, kali ini penulis mengajak pembaca benar-benar memahami eksistensi dari kisah sejarah Perang Jawa ini.
Pada bab awal buku ini, penulis tidak langsung membahas mengenai perang, melainkan terlebih dahulu menjelaskan latar belakang serta kondisi sosial dan politik di Jawa pada abad ke-19. Penulis juga membahas bagaimana kemapanan dan kesejahteraan keraton pada masa itu, yang kemudian terpengaruh oleh kehadiran bangsa kolonial karena beberapa faktor. Selain itu, dijelaskan pula munculnya konflik internal yang menjadi salah satu pemicu Perang Jawa. Penulis tidak lupa menggambarkan sosok Pangeran Diponegoro dan kehidupannya sebelum perang dimulai.
Seperti yang kita ketahui, Pangeran Diponegoro adalah putra dari Sultan Hamengkubuwono III, seorang pangeran Kesultanan Yogyakarta yang diharapkan menjadi raja. Namun, dengan cara halus, beliau menolak untuk menjadi raja dan memilih menjalani kehidupan yang lebih sederhana di luar keraton. Pangeran Diponegoro sering bergaul dengan rakyat biasa, serta kalangan kyai dan santri. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ketika Perang Jawa berlangsung, banyak rakyat biasa, kyai, dan santri yang turut berkontribusi dalam perang tersebut.
Pada bab kedua buku ini, penulis menjelaskan kondisi menjelang Perang Jawa. Sebelum perang terjadi, penulis banyak mengulas tentang konflik internal yang muncul setelah wafatnya Sultan Hamengkubuwono IV, termasuk perebutan kekuasaan di dalam keraton. Pada saat yang sama, pemerintahan kolonial mulai ikut campur dalam urusan keraton. Selain konflik internal, tanda-tanda alam pada masa itu juga dianggap sebagai pertanda akan terjadinya perang, karena masyarakat Jawa masih sangat percaya pada hal-hal spiritual dan ramalan. Salah satu ramalan yang beredar adalah kemunculan sosok Ratu Adil, yang diyakini sebagai Pangeran Diponegoro.
Pada bab ketiga, penulis mulai mengisahkan terjadinya Perang Jawa, dimulai dari sebab-sebab khusus yang memicu perang dan bagaimana Pangeran Diponegoro serta masyarakat terlibat dalam konflik tersebut. Namun, dalam bab ini, penulis tidak terlalu banyak mengulas detail mengenai Perang Jawa itu sendiri. Fokus utama penulis adalah pada konflik pra-perang, dengan tujuan agar pembaca lebih memahami latar belakang perang ini dan berbagai faktor serta konflik yang menyebabkan perang tersebut terjadi.
Perlu diketahui bahwa Perang Jawa tidak sepenuhnya merupakan jihad dan perjuangan Pangeran Diponegoro semata. Perang ini juga melibatkan peran penting dari para ulama, kerabat, teman, dan masyarakat lainnya yang turut berkontribusi.
Hal ini sering kali tidak disadari oleh banyak orang, bahwa Perang Jawa melibatkan berbagai lapisan masyarakat, termasuk para petani, alim ulama, santri, serta elit keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dalam buku ini, juga dibahas dimensi jihad fi sabilillah dalam Perang Jawa. Perang ini meletus setelah Pangeran Diponegoro mendapatkan visi spiritual di Tegalrejo, di mana ia mendalami ilmu agama Islam, berbaur dengan rakyat jelata, dan sering berinteraksi dengan para ulama serta santri. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak dari kalangan masyarakat biasa, ulama, dan santri yang turut serta dalam peperangan ini.
Sebab kepribadian sosial Pangeran Diponegoro yang cukup baik dalam membaur ke seluruh masyarakat sehingga menumbuhkan rasa cinta mereka terhadap bumi Nusantara dan memunculkan rasa nasionalisme dan patriotisme mereka. Selama di Tegalrejo, Pangeran Diponegoro banyak mendalami ilmu agama Islam dan berbaur dengan masyarakat kecil, dan sering berinteraksi dengan para ulama serta santri. Aktivitas inilah yang memunculkan cita-cita revolusioner Pangeran Diponegoro untuk membebaskan diri dari masyarakat dari kungkungan rezim kolonial.
Selama peperangan, Pangeran Diponegoro selalu mengenakan simbol-simbol Islam seperti mengenakan jubah lengkap serta sorban. Selalu menyebut takbir dalam peperangan. Inilah menjadi simbolis bahwasanya selama perang terjadi, Pangeran Diponegoro tidak pernah mengesampingkan soal agama. Justru beliau selalu mengedepankan agama selama berperang. Tak hanya itu, Pangeran Diponegoro juga tidak meninggalkan identitasnya sebagai orang Jawa terbukti Pangeran Diponegoro selalu membawa keris dalam peperangan. Menunjukkan bahwasanya Pangeran Diponegoro seorang yang memiliki kepribadian baik yang tidak pernah lupa akan identitas dan agamanya.
Dengan demikian, pembaca dapat memahami dengan jelas makna sejati dari perjuangan dan jihad. Penulis berupaya membawa pembaca untuk berimajinasi dan merasakan langsung sensasi perjuangan dalam Perang Jawa pada masa itu. Buku ini menyajikan gambaran lengkap tentang Perang Jawa, mulai dari awal hingga akhir konfliknya. Penulis berharap agar generasi penerus bangsa memiliki pemahaman yang luas tentang sejarah Nusantara, karena seiring berjalannya waktu, sejarah ini semakin terkubur dan berisiko dilupakan. Oleh sebab itu, penulis mengabadikan sejarah perang besar di Jawa ini melalui tulisan, agar warisan tersebut tetap hidup dan dikenang.
Kelebihan :
Menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Sehingga pembaca tidak terlalu sulit untuk mengerti apa maksud dari penulis.
Penjelasan lengkap terkait konflik pra perang yang sesuai dengan judul buku. Sehingga para pembaca yang ingin tahu jelas konflik-konflik pemicu perang. Buku ini sangatlah tepat.
Kekurangan :
Ukuran font atau tulisan dalam buku terlalu kecil sehingga pembaca agak kesulitan dalam membaca atau kadang bagi penderita minus akan mudah merasa pusing.
Tidak ada ilustrasi pendukung dalam buku sehingga pembaca cepat merasa bosan.
Kontributor: Fina Amalia Sa’idah
Editor: Kurniawati Musoffa