ArtikelSejarah

Syekh Panjalu, Penyebar Islam Pertama di Tatar Pasundan

MAHADALYJAKARTA.COMSyekh Panjalu memiliki nama asli Sayyid Ali bin Muhammad bin Umar, namun masyarakat menyebutnya dengan berbagai julukan, di antaranya disebut Syekh Dalem Haji Sepuh Sang Prabu Jampang Manggung ada pula yang menyebutnya dengan nama Prabu Hariang Kencana atau Borosngora, juga beberapa julukan di antaranya Syekh Haji Sholeh, Syekh Haji Mulya, Syekh Aulia Mantili, Raja Panjalu, Syekh Panjalu, juga Mbah Panjalu. Dari sekian banyaknya nama dan julukan untuknya, julukan Syekh Panjalu-lah yang paling masyhur terdengar di kalangan masyarakat awam, terutama bagi masyarakat Jawa Barat khususnya.

Disebut Syekh Panjalu karena ia merupakan seorang penyebar agama Islam di wilayah tersebut dan di makamkan di Lengkong Panjalu, Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Namun, perjuangan dan pengaruhnya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di daerah Panjalu saja. Syekh Panjalu merupakan seorang penyebar agama Islam di Tatar Pasundan, yang lebih dikenal dengan sebutan Tanah Sunda.

Ada hal menarik dari sosok Syekh Panjalu. Bagaimana tidak, lokasi makamnya yang berada di tengah-tengah danau menjadi daya tarik dan keunikan tersendiri. Hal ini memunculkan berbagai pertanyaan, mengapa jasad Syekh Panjalu di makamkan di sebuah pulau kecil yang terletak di tengah danau bernama Situ Lengkong? 

Pulau kecil di tengah danau tersebut dikenal dengan nama Pulau Nusa Gede. Pulau ini dipenuhi pepohonan tinggi nan rimbun, dihuni oleh ratusan kelelawar besar yang bergelantungan di antara dahan-dahannya, menambah suasana asri di sekitar makam Syekh Panjalu. Selain dikenal sebagai Pulau Nusa Gede, masyarakat setempat juga sering menyebutnya sebagai Pulau Nusa Larangan. Konon, menurut Babad Panjalu, air danau tersebut berasal dari mata air zam-zam di Mekkah dan berwarna kehijauan laksana zamrud. Area makam Syekh Panjalu juga dipagari untuk memudahkan para peziarah yang selalu ramai setiap harinya.

Makam Syekh Panjalu diyakini telah ada sejak lama. Pada abad ke-7 Masehi, berdirilah Kerajaan Panjalu yang diperintah oleh Prabu Cakradewa. Dari pernikahannya dengan Putri Sari Kidang Pananjung, lahirlah enam orang putra, salah satunya bernama Prabu Borosngora. Borosngora inilah yang dipersiapkan untuk menjadi raja Panjalu di masa mendatang. Sejak muda, Borosngora dikenal sangat berbakat dalam ilmu kedigdayaan hingga ia dianggap memiliki kesaktian luar biasa. Alkisah, tidak ada satu makhluk pun di Nusantara yang mampu mengalahkannya. Ayahnya merasa cemas akan kesaktian sang putra, khawatir ilmu tersebut akan disalahgunakan. Tidak ada satupun Wiku (pendeta Hindu) yang mampu melunturkan ilmu Borosngora. Maka, ia pun diperintahkan untuk berkelana mencari ‘Elmu Sajati’ ke tempat yang jauh. Singkat cerita, ia mengadu ilmu dengan seorang kakek tua di Hijaz, Mekah, Arab Saudi. Ternyata, ia kalah oleh sang kakek, yang ternyata adalah sayyidina Ali R.A. Borosngora kemudian berguru dan mempelajari ajaran Islam. Sekembalinya dari proses belajar, ia menjadi raja sekaligus menjadikan Panjalu sebagai kerajaan Islam yang kuat. Saat kembali, Borosngora dianugerahi pedang, tongkat (untuk khutbah), serta pakaian kesultanan.

Sampai saat ini pedang tersebut masih tersimpan baik di dalam museum komplek makam Syekh Panjalu. Dapat disaksikan oleh masyarakat dan para peziarah saat akhir bulan Rabi’ul Awal biasanya berbarengan dengan acara keramat yaitu upacara Nyangku. Konon menurut sejarahnya saat pulang dari Mekah Borosngora juga membawa air zam-zam dan ia tumpahkan di dataran rendah Panjalu dan seketika berubah menjadi Situ Lengkong atau sekarang disebut dengan Danau Lengkong.

Dari perjalanan sejarah ini mengandung arti penting, bahwa ke-Islaman rakyat Panjalu  bukan didapat dari saudagar Arab (Hadramaut) yang berlabuh ke Indonesia seperti daerah-daerah lain, tapi peran aktif raja Panjalu ke tanah Arab di zaman Khalifah Ali Bin Abi Thalib.

Peran Syekh Panjalu tersebut memberikan pengaruh sangat besar, bila melihat luas wilayah pada masa itu, Tatar Pasundan adalah sebuah negara yang saat itu meliputi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Tak diragukan lagi pengaruh Syekh Panjalu dalam menyebarkan agama Islam. Dari hasil perjuangan dan jerih payahnya dalam menyebarkan agama Islam. Atas dedikasi dan pengorbanan beliau, maka masyarakat sekitar Danau Lengkong amat sangat menghormati dan terus menjaga keberadaan makam Syekh Panjalu, mereka menganggap Syekh Panjalu merupakan sosok yang berpengaruh dan memberikan dampak besar bagi masyarakat di daerah Panjalu juga Tatar Pasundan umumnya.

Syekh Panjalu, yang juga dikenal sebagai Prabu Hariang Kancana atau Mbah Panjalu, merupakan tokoh penting dalam sejarah Kerajaan Panjalu di Ciamis, Jawa Barat. Beliau dikenal memiliki sejumlah karomah atau kelebihan spiritual, di antaranya kemampuan meredakan hujan. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai penyebar ajaran Islam di wilayah Panjalu maupun di Tatar Pasundan. Makam beliau kini menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah.

Terdapat berbagai keistimewaan ketika hendak berziarah mengunjungi makam Syekh Panjalu. Lokasi makam yang berada di tengah-tengah Situ Lengkong, membuat para peziarah harus menaiki rakit dari bambu untuk sampai ke dalam komplek makam Syekh Panjalu. Situ atau danau yang luasnya mencapai 57,95 hektar tersebut konon terbuat dari tumpahan air zam-zam yang dibawa Syekh Panjalu dari Mekah setelah berguru kepada sayyidina Ali bin Abi Thalib R.A, sekarang Situ Lengkong menjadi sebuah daya tarik bagi para peziarah, alam yang asri menambah kekhusyukan ketika hendak berziarah dengan melantunkan tahlil  dan do’a di sekitar makam Syekh Panjalu.

Selain keberadaan makam Syekh Panjalu, di tengah-tengah Situ Lengkong, terdapat pula Bumi Alit, yaitu museum yang di dalamnya terdapat benda-benda purbakala peninggalan Syekh Panjalu, yang menunjukkan keabsahan keberadaan Syekh Panjalu di Pulau Nusa Gede tersebut. Di antara benda-benda purbakala peninggalan Syekh Panjalu ialah menhir, batu penyucian, batu penobatan serta naskah-naskah dan perkakas peninggalan milik raja-raja Panjalu pada tempo dulu, berupa pedang cis dan genta (lonceng kecil) juga tongkat (untuk berkhutbah) sebagian barang-barang tersebut merupakan peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora atau Syekh Panjalu.

Ada hal menarik dari kisah Prabu Borosngora. Diceritakan bahwa setelah menyerahkan tahta Kerajaan Panjalu kepada putranya, Borosngora mendirikan kerajaan di kawasan Situ Lengkong, tepatnya di Pulau Nusa Gede. Konon, setelah penyerahan tahta tersebut, Borosngora pergi menuju Sukabumi. Hingga kini, keberadaan makam Prabu Borosngora masih menjadi misteri karena tidak ada yang mengetahui letaknya secara pasti, dan yang tersisa hanyalah berbagai petilasan. Sementara itu, setelah wafatnya putra Borosngora, yaitu Prabu Haryang Kencana, ia di makamkan tepat di tengah Situ Lengkong, yakni di Pulau Nusa Gede yang dikenal akan keindahan alamnya. Kawasan pemakaman ini hingga kini ramai dikunjungi para peziarah, tidak hanya dari wilayah Priangan Timur seperti Ciamis, Banjar, Tasikmalaya, Pangandaran, Garut, dan Sumedang, tetapi juga dari berbagai kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jakarta, Banten, bahkan dari luar Pulau Jawa.

Awal mula dari terkenalnya kawasan makam Syekh Panjalu ini adalah ketika Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) datang berziarah ke makam Syekh Panjalu, kemudian Gus Dur memberitahukan bahwa di situ Lengkong atau biasa disebut dengan Situ Panjalu tersebut terdapat makam dari anaknya Prabu Borosngora atau Syekh Panjalu.

Syekh Panjalu dihormati oleh masyarakat karena kesalehan, keberkahan, serta kontribusinya dalam menyebarkan ajaran Islam di wilayah Panjalu dan Tatar Pasundan. Beliau dianggap sebagai sosok yang memiliki kesaktian dan keberkahan, sehingga makamnya menjadi salah satu tempat ziarah yang populer. Selain sebagai tempat ziarah, kawasan tersebut juga telah menjadi tujuan wisata religi yang lazim dikunjungi para peziarah. Mereka datang untuk ngalap berkah dari tokoh yang diyakini memiliki pengaruh besar di daerah Tatar Pasundan.

Nusa Gede, pulau kecil di tengah Situ Lengkong Panjalu, merupakan destinasi wisata yang memikat dengan keindahan dan keasriannya. Waktu terbaik untuk berkunjung adalah pada bulan Rabiul Akhir, khususnya pada hari ganjil, Senin atau Kamis. Pada saat itu biasanya diselenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. yang bertepatan dengan tradisi upacara adat Nyangku. Tradisi ini merupakan prosesi pencucian benda-benda pusaka peninggalan Prabu Borosngora atau Syekh Panjalu.

Prosesi Nyangku diawali dengan pengeluaran sejumlah benda pusaka peninggalan Raja Panjalu dari Bumi Alit. Pusaka-pusaka tersebut kemudian diarak dengan cara digendong (diais) oleh para keturunan Raja Panjalu dan warga yang terpilih. Arak-arakan ini diiringi lantunan selawat dan alunan musik tradisional gembyung menuju Nusa Gede. Setelah itu, pusaka dibawa kembali ke Taman Borosngora untuk menjalani ritual jamas, yakni proses pembersihan benda pusaka menggunakan tujuh sumber mata air dari berbagai tempat yang dikenal sebagai Cai Karomah Tirta Kahuripan.

Pembungkus pusaka kemudian dibuka, dan benda-benda pusaka tersebut dibawa ke tempat pembersihan yang terbuat dari bambu di tengah taman. Pusaka dibersihkan dengan air dan jeruk nipis, diolesi minyak khusus, lalu dibungkus kembali dengan kain putih dan disimpan lagi di Bumi Alit.

Tradisi Nyangku mencerminkan besarnya pengaruh spiritual dan kultural yang ditinggalkan Syekh Panjalu. Berkat perjuangan dan dedikasinya, beliau layak dihormati sebagai tokoh yang telah menanamkan nilai-nilai Islam dan budaya di tanah Pasundan.

Referensi:

Chaer, Moh Toriqul. 2015. “Aspek Religiusitas Masyarakat Peziarah Makam Syekh Abdul Muhyi Pamijahan Tasikmalaya”. Journal of Islamic Studies. 1.2: 448-469.

Jaenudin, Muhammad, dkk. 2015. Barakah Ziarah Etnografi Kuburan di Bumi Parahyangan. Yogyakarta: Deepublish.

Mubarak, Zaki. 2019. Ajaran, Pemikiran, Pendidikan, Politik dan Terorisme. Tasikmalaya: CV Pustaka Turats Press.

Pleyte, C.M. 2022. Babad Panjalu. Jakarta Timur: PT Balai Pustaka.

Yahya, Wildan. 2007. Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syekh Abdul Muhyi (Wali Pamijahan). Bandung: Refika Aditama.

Kontributor: Dani Abdul Gani, Semester III

Editor: S. Yayu. M

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *