“Sangat menarik! Buku ini memberikan rujukan dalil-dalil naqliyah untuk hampir semua ketentuan di dalam UUD 1945. Dari buku ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kandungan konstitusi kita itu islami. Ini berarti bahwa Indonesia dengan dasar Pancasila dan UUD 1945 adalah Negara yang islami, tetapi bukan Negara Islam. Negara islami secara resmi tidak menggunakan nama-nama dan simbol Islam tetapi substansinya mengandung nilai-nilai Islam.” Komentar dari Prof. Dr. Mahfud MD dalam buku yang ditulis oleh Masdar Farid Mas’udi yang diberi judul Syarah Konstitusi UUD 1945 Perspektif Islam.
Indonesia dikenal dengan negara bermacam-macam suku dan budaya termasuk dalam beragama, di dalamnya terdapat berbagai macam agama. Oleh karena itu masyarakat Indonesia dikenal sangat religius. Bahkan karena kuatnya keyakinan beragama mereka, sehingga dapat memengaruhi norma, budaya, dan perilaku keseharian para pemeluknya. Disebutkan pada pasal 29 ayat (1) menyatakan, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan ayat (2) menyatakan, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut kepercayaan masing-masing.
Masdar Farid Mas’udi di dalam bukunya, mencocokkan UUD 1945 dengan Islam. Sehingga pada setiap pasal dijelaskan secara rinci dalil dari al-Quran. Bahkan mulai dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pun penulis menjabarkan perkata demi kata lalu dicocokkan dengan dalil al-Quran. Maka kurang tepat jika terdapat sebagian orang menganggap bahwa konstitusi negara kita yaitu UUD 1945 tidak sesuai dengan ajaran Islam. Lebih buruk lagi ada yang menginginkannya untuk diganti dengan yang baru, seperti yang terlihat akhir-akhir ini ada beberapa ormas menginginkan didirikannya Negara Islam Indonesia. Dalam hal ini kita kenal dengan istilah khilafah.
Maka dari itu, penulis menyuguhkan buku Syarah UUD ’45 sebagai jawaban supaya masyarakat Indonesia – khususnya Islam- mau mempelajari dan mendalami kembali pedoman hukum Indonesia ini. Dan juga sebagai oase untuk masyarakat Indonesia bahwa kita tidak perlu melarang dan memusuhi organisasi yang ingin menegakkan negara Islam di Indonesia. Karena toleransi beragama sangatlah penting. Dari buku inilah kita mengetahui bahwa konstitusi Negara kita menjunjung tinggi agama Islam. Menurut penulis kelahiran Purwokerto ini, untuk menghadirkan kancah permainan (playing field) yang adil bagi kemajemukan kepentingan dalam bingkai NKRI, semua warga harus taat asas pada konsensus dasar, yaitu konstitusi. Demokrasi yang benar harus berjalan di atas rel konstitusi, sehingga demokrasi yang berkembang menjadi lazim disebut demokrasi konstitusional. Bagi masyarakat muslim, kesetiaan terhadap konstitusi memerlukan usaha untuk mengakhiri mentalitas “luar pagar,” dengan cara menemukan kesesuaian antara nilai-nilai substantif keislaman dan nilai-nilai dasar konstitusi. Buku ini merupakan bukti bahwa konstitusi negara kita tidaklah bertentangan dengan ajaran al-Quran dan sunnah, bahkan sejalan dengan kedua pedoman umat Islam. Maka, sebagai salah satu bukti bahwa UUD 45 tidak bertentangan dengan ajaran Islam disebutkan pada pasal 29 ayat (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dapat disimpulkan bahwa UUD ’45 mempunyai nilai keislaman yang tinggi.
Pemerintahan bisa berarti sistem kekuasaan, atau sekelompok orang yang menjalankan kekuasaan atau pejabat yang memegang kekuasaan. Istilah dalam bahasa Arab adalah imarah, dari akar kata amr, yang berarti perintah atau kuasa. Orang yang memerintah atau subjeknya disebut amir, bentuk jamaknya adalah umaraa dalam masyarakat Indonesia sangat populer melalui satu hadits yang artinya: Dua kelompok dari umatku, yang jika mereka berakhlak salih, maka salihlah segenap manusia. Sebaliknya jika mereka rusak, maka rusaklah semuanya, yaitu Ulama dan umaraa (penguasa).
Keberadaan pemerintahan dan para pemangkunya dilegitimasi melalui ayat al-Quran yang begitu popular yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kalian kepada Allah dan patuhlah kepada Rasulullah dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)
Syarahnya : Ide membatasi kekuasaan bahkan yang ada di tangan penguasa tertinggi seperti presiden sekalipun, atau dalam istilah politik Islam klasik dapat disebut khalifah, atau sultan merupakan khas sistem kekuasaan modern, kekuasaan yang dibangun secara konstitusional.
Sebagai pemegang kewenangan dan kekuasaan, sang penguasa seperti presiden, khalifah, atau sultan memang mereka berhak untuk ditaati perintah dan kebijakannya. Akan tetapi, jika penguasa sudah menyimpang, tidak sesuai dengan ketentuan peraturan sebuah negara, maka ingatlah penguasa setinggi apapun di atas kekuasaannya masih ada yang lebih tinggi, yaitu Allah dan Rasulnya. Laa tha’ata limakhlukin fii ma’shiyatil khaliq.
Perintah penguasa yang tidak perlu ditaati adalah perintah yang secara jelas melawan prinsip-prinsip keadilan. Oleh karena itu, Islam tidak mengenal ketaatan absolut terhadap semua makhluk, bahkan setingkat khalifah atau presiden sekalipun. Hal ini diperkuat oleh doktrin lain dalam Islam yang menegaskan bahwa di luar Nabi dan Rasul tidak ada manusia yang bebas dari dosa atau kesalahan. Bahkan Nabi saw. Ketika memimpin negerinya, beliau masih bersedia menerima dan mendengar kritik-saran dari para sahabatnya. Dalam Islam ditegaskan bahwa sebuah janji saja sudah cukup suci dan terlalu berat untuk diingkari. Apalagi janji yang dikukuhkan dengan membawa nama Allah Yang Maha Mengetahui; sungguh sangatlah besar dan berat konsekuensinya. Apalagi menyangkut amanat rakyat dan masyarakat banyak, guna mewujudkan negara berkeadilan dan makmur.
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
Kemudian kata “Dewan” yang berasal dari bahasa persia diwan yang memiliki arti lembaga atau badan, perwakilan dari bahasa Arab artinya orang yang diberi amanat untuk melakukan suatu hal atas nama orang lain (dalam hal ini rakyat). Dalam Islam, yang jadi masalah dari satu lembaga ini bukan tentang kedudukannya dalam UUD ’45, tetapi pada bobot komitmen dan kualitas kinerja para anggotanya. Sebagai pemikul amanat, siapapun mereka dan apapun agamanya harus benar-benar tanggap dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya yang mereka wakili. Jika tidak, maka kebalikan amanat adalah khianat. Dalam Hadits Nabi saw. dikatakan yang artinya : “Tidak ada iman bagi orang yang tidak bisa memegang amanat, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak bisa memegang janji.” (HR. Ahmad)
Penulis : Masdar Farid Masudi
Editor : Ahmad Baedowi
Ukuran : 13 x 20 cm
Tebal : 332 hlm
Penerbit : Pustaka Alvabet
Direview oleh Ahmad Khoerul F.