Gembong Kiai Asal Lasem, KH. Ma’sum Ahmad (1870-1972 M)

Gembong Kiai Asal Lasem, KH. Ma’sum Ahmad (1870-1972 M)

Ma’had Aly – Kiai adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang yang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik kepada santri-santrinya. Seorang kiai berikut institusi sosial budayanya (pondok atau pesantrennya) sedikit banyak mempengaruhi pola perkembangan kondisi sosial pada pasca kemerdekaan. Meskipun demikian pesantren jauh sebelumnya sudah terlibat dalam pengembangan kebudayaan Islam tradisional. Oleh karena itu sangatlah tidak mudah untuk menutup mata dari perjalanan historis Islam pribumi tanpa mengaitkannya dengan institusi pesantren di Indonesia.

Posisi kiai tidak saja sebagai sosok yang diagungkan di kalangan santri tetapi juga sangat berpengaruh pada pengembangan tradisi masyarakat sebagai identitas kulturalnya. Dalam prosesnya, pengembangan ini bersamaan dengan dimulainya gerakan dakwah kecil-kecilan, hingga pengajian-pengajian kitab yang melibatkan khalayak umum serta institusi pesantren yang dibuatnya untuk pengembangan keilmuan[1], dalam artian seluruh lapisan masyarakat ikut dalam proses ini.

Dalam konteks masyarakat Islam tradisional, KH. Ma’shum Ahmad atau lebih sering dipanggil Mbah Ma’shum sangat berpengaruh dalam pengembangan tersebut, baik yang terkait dengan pesantren mupun masyarakat pada umumnya. KH. Ma’shum Ahmad sebagai seorang kiai atau ulama senantiasa ditantang oleh kebutuhan masyarakat yang mengalami pergeseran-pergeseran sistem nilai, di samping pergeseran kebutuhan zaman. Kemampuan dalam syiar dan dakwah harus memenuhi tuntutan masyarakat pendukungnya yang menjadi batu ujian bagi kelangsungan eksistensinya[2], sehingga tranformasi sosio-kultural yang ditempuhnya senantiasa memperhatikan perubahan yang terjadi dalam lingkungan masyarakatnya.

Bagi masyarakat Rembang umumnya dan Lasem pada khususnya, dimana pesantren banyak berdiri, eksistensi seorang KH. Ma’shum Ahmad, telah menjadi oase tersendiri bagi kelompok-kelompok pengajian atau majelis ta’lim. Bagi KH. Ma’shum Ahmad menjadi tokoh agama dan pengasuh pesantren bukanlah untuk meraih keuntungan pribadi tetapi merupakan tugas keagamaan yang keuntungannya akan didapat nanti pada kehidupan yang akan datang yaitu akhirat.

Ma’shum Ahmad adalah figur kiai yang alim dan kharismatik. Pendiri pondok Pesantren Al-Hidayah ini lahir di Lasem, Rembang, Jawa Tengah kira-kira pada tahun 1873 M/1292 H. Ayahnya bernama KH. Ahmad Abdul Karim, berprofesi sebagai pedagang yang cukup sukses, sedang ibunya bernama Nyai Qosimah. Pasangan KH. Ahmad dan Nyai Qosimah dikaruniai tiga orang anak[3]; dua orang putri dan seorang putra. Mereka adalah Nyai Zaenab dan Nyai Malichah dan Muhamaadun (KH. Ma’shum Ahmad). KH. Ma’shum Ahmad dikenal sebagai ulama besar yang mempunyai pergaulan sangat luas, bukan hanya dengan para kiai di Jawa Tengah, melainkan juga dengan kiai-kiai besar seluruh Jawa dan Madura, karena KH. Ma’shum Ahmad pernah menjadi murid dari beberapa kiai terkenal di antaranya Kiai Kholil Bangkalan, Madura, seorang ulama ahli tata bahasa dan sastra Arab, fiqh serta tasawuf yang menjadi simbol keagungan dari kiai-kiai di Jawa dan Madura.

Alumni pesantren Al-Hidayah banyak yang berhasil menjadi ulama besar, seperti KH. Ali Mahrus (Kediri), KH. Bisri Syansuri (Jombang), KH. Muslikh (Mranggen), KH. Mustholih Badawi (Cilacap), KH. Mustamid Abbas (Buntet, Cirebon), KH. Ali Maksum (Putranya sendiri), dan masih banyak lagi alumni yang menjadi ulama besar di seluruh Indonesia.

Perjuangannya dalam bidang sosial patut untuk diteladani meskipun tidak mudah. Ia sangat dermawan, rela memberikan sesuatu yang ia miliki kepada orang yang menginginkannya. Kepada orang tidak mampupun ia menaruh perhatian, bahkan ia rela berhutang jika tidak membawa uang untuk diberikan kepada orang miskin yang ditemuinya tersebut. Kepada santri yang mondok di tempatnya apabila anak yatim atau orang miskin tetapi ia berprestasi ia tidak segan-segan untuk membiayai biaya pendidikannya hingga selesai, sehingga ia dikenal sebagai orang tua asuh.[4]

Ma’shum Ahmad adalah seseorang yang tidak hanya tekun dan konsisten dalam bidang keagamaan, tetapi dia juga mempunyai semangat yang tinggi untuk berorganisasi yaitu dengan keikut-sertaannya dalam organisasi keagamaan yaitu Nahdlatul Ulama. KH. Ma’shum Ahmad bersama-sama dengan sejumlah ulama yang memiliki wawasan keagamaan yang sama merintis perjuangan untuk mendirikan Nahdlatul Ulama. Bahkan ia tidak hanya aktif dalam organisasi NU saja, tetapi juga menaruh perhatian yang cukup besar dalam urusan politik dan sosial keagamaan. Dalam bidang politik ia mempunyai perhatian yang cukup, yaitu dengan keikutsertaannya dalam kabinet Sastro Amijoyo tahun 1955, hal ini tidak lain adalah untuk mengisi jatah-jatah yang diberikan kepada partai NU. Dalam bidang keagamaan yang menjadi spesialisasinya sangat banyak, tidak terhitung jumlahnya, di antaranya mendirikan pondok pesantren, mendirikan masjid dan musholla di berbagai tempat di Lasem.

Pada hari Jum’at tanggal 20 Oktober 1972 M (12 Ramadhan 1392 H) merupakan kali terakhir  KH. Ma’shum Ahmad menyapa kaumnya dengan hadir solat Jum’at hanya berselonjor di dalam mobil. Sepulang Jumatan tepat pukul dua siang KH. Ma’sum Ahmad menghadap Allah dalam usia 102 tahun.[5]

Referensi

[1]Suismanto, Menelusuri Jejak Pesantren, (Yogyakarta: Alief Press, 2004), h. 53.

[2]Purwo Santoso, “Kiprah Pesantren Dalam Transformasi”, Pesantren, Edisi 5 tahun 1988.

[3] M. Luthfi Thomafi, The Autorized Biography of KH. Ma’sum Ahmad, KH. Ma’sum Ahmad Lasem. (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007), h. 17.

[4] A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesia,(Bogor: Keira Pubblishing, 2017), h. 395.

[5] A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesia, h. 402.

Oleh: Muh. Jirjis Fahmy Zamzamy, Semester IV

Leave a Reply