Tarikh At-Tasyri’: Pentingnya Mempelajari Sejarah Pensyariatan dalam Islam

Tarikh At-Tasyri’: Pentingnya Mempelajari Sejarah Pensyariatan dalam Islam

Ma’had Aly – Pada dasarnya semua umat manusia (berakal dan baligh) itu mukalaf, terbebani dengan hukum taklif. Hal tersebut tidak bisa dibantah dengan adanya nash Alquran surat al-Mudatsir (74/42-47). Di mana ayat tersebut merujuk pada percakapan antara umat Islam “Ashab al-Yamin” dan selain Islam “Al-Mujrimin”. 

Di situ menarik sekali ketika “al-Mujrimin” ditanya terkait penyebab masuknya mereka ke dalam neraka. Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak mengerjakan salat, tidak memberi makan orang-orang miskin, berembuk membicarakan sesuatu yang tidak baik  (sesuatu yang kami tidak mengerti maksudnya),  tidak memercayai hari kiamat sampai datangnya kematian kepada kami.”

Dari ayat surat al-Mudatsir (74/42-47) dapat diambil  kesimpulan bahwa umat selain Islam pun tetap dihukumi mukalaf, dengan bukti jawaban mereka yang mengatakan demikian ketika ditanya penyebab masuk ke dalam neraka.

Baik, syariat Islam adalah kuncinya. Umat Islam yang memenuhi syarat mukalaf otomatis termasuk dalam bagiannya. Bagaimana dengan selain Islam? Untuk memenuhi syarat, ya harus masuk Islam terlebih dahulu. 

Dan karena setiap keilmuan memiliki “sejarah” di dalamnya, akan sangat menarik jika dibahas terkait sejarah pensyariatan dalam Islam.

Syekh Manna’ al-Qattan (1925-1999 M) dalam kitabnya Tarikh at-Tasyri’ al-Islami menjelaskan akan pentingnya bagi umat Islam untuk mempelajari sejarah pensyariatan dalam Islam, tepatnya fikih dalam Islam. 

Manna’ al-Qattan mengatakan, “Jika yang dimaksud mempelajari sejarah keilmuan adalah mempelajari terkait definisi, dasar-dasar, tujuan serta hasil mempelajarinya sehingga dapat mengambil kemanfaatan darinya, maka mempelajari sejarah fikih Islam akan sangat penting dilakukan. Karena mempelajari fikih Islam pada hakikatnya tidak hanya membahas ubudiyah dan muamalah saja. Fikih Islam juga menjadi konsep dasar bagi kehidupan manusia. Meliputi teologi, ibadah, sosiologi (kemasyarakatan), ekonomi, politik dan lainnya.”

Posisi Syariat Islam Menimbang  di antara Syariat-Syariat Agama Samawi Lain

Allah menciptakan manusia memiliki fitrah “keimanan” di dalamnya. Semuanya memiliki fitrah keimanan berdasar pada nash Alquran surat ar-Rum (30/30). Pada akhirnya jika ia kemudian tidak beragama Islam yang membuatnya demikian adalah orang tuanya.

كل مولود يولد على الفطرة وأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه – متفق عليه

“Setiap yang lahir itu menetapi kefitrahan sedang kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”.

Sebagai pengingat akan kefitrahan tersebut Allah menurunkan utusan (rasul) sebagai penyebar syariat-Nya yang mulia. Utusan dengan syariat-Nya yang terakhir diturunkan adalah Nabi Muhammad dan Islam. Tentu terdapat syariat-syariat lain sebelum Islam. 

Pada dasarnya baik syariat Islam maupun sebelum Islam memiliki satu tujuan, yakni  menegakkan agama (tauhid, mengeesakan Allah).

شرع لكم من الدين ما وصي به نوحا والذي أوحينا اليك وما وصينا به ابراهيم  وموسى وعيسى أن أقيموا الدين ولا تتفرقوا فيه كبر علي المشركين ما تدعوهم اليه الله يجتبي اليه من يشاء ويهدي اليه من ينيب

“Allah menyariatkan kepada kalian (umat Muhammad) dari Agama apa yang Allah juga wasiatkan (berikan) kepada Nuh. Apa yang diwahyukan kepadamu (Muhammad) yang diwasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa ialah agar kalian menegakkan Agama dan tidak terpecah belah. Hal demikian akan sangat sulit bagi orang musyrik  untuk menerima ajakanmu. Sungguh Allah memilih orang yang Ia kehendaki dan memberi hidayah pada orang yang menundukan diri (menerima untuk taat)” (42/13)

Namun, syariat-syariat sebelum Islam bersifat sempit, hanya untuk kalangan kelompok atau umat tertentu saja. Seperti Syariat Nabi Musa dengan kitabnya Taurat, hanya berlaku untuk umat Yahudi. Syariat Nabi Isa dengan Injil hanya berlaku untuk umat Nasrani. Berbeda dengan syariat sebelumnya, syariat Islam datang sebagai syariat terakhir. Karena merupakan syariat terakhir yang turun, Islam datang sebagai pembenar “al-Mushaddiq”, penyempurna “al-Mutimm” dan juga syariat Islam menghapus syariat-syariat sebelumnya. 

Dengan demikian mengikuti agama samawi lain setelah Islam turun tidak akan diterima.

ان الدين عند الله الاسلام وما اختلف الذين اوتوا الكتاب الا من بعد ما جاءهم العلم بغيا بينهم ومن يكفر بأيت الله فان الله سريع الحساب

“Sungguh agama (yang diridhai) disisi Allah adalah agama Islam. Mereka (ahli kitab) tidak bersengketa kecuali setelah datang kepada mereka pengetahuan karena berbuat keburukan diantara mereka. Barang siapa yang mengkufuri ayat-ayat Allah maka sungguag Allah adalah dzat yang paling cepat untuk mengoreksi (membalas)” (3/19).

Syari’at Islam adalah Syari’at yang Mudah

Syariat Islam merupakan syariat yang mudah dan tanpa beban, hal itu dapat dibuktikan dengan membandingkannya dengan syariat yang berlaku pada umat-umat terdahulu.

Syekh Muhammad bin Alawi Al-Maliki (1944-2004 M) Dalam kitabnya Khasais al-Ummat al-Muhammadiyyah menyebutkan beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh umat Nabi Muhammad dibanding umat sebelumnya. 

Diangkatnya beban berat dari umat Nabi merupakan salah satu keistimewaan umat Nabi Muhammad. Tidak seperti umat terdahulu, umat Nabi Muhammad tidak akan diberi beban melebihi kemampuan hambanya. Oleh karenanya sungguh beruntung bagi kita yang menjadi bagian di dalamnya. Di antara beban yang diringankan itu yakni. ketika suatu benda (apapun) terkena najis di zaman syariat bani Israil maka solusinya satu, yaitu memotongnya. Tidak cukup jika hanya membasuhnya dengan air. Bahkan dalam satu riwayat Sunan Abi Daud sampai pada badan yang terkena najispun jika hanya berpegangan pada dzahir riwayat.

كانوا اذا اصاب البول جسد احدهم, قطعوا ما أصابه البول منهم

“Sungguh ketika air kencing mengenai salah satu jasad mereka, maka mereka akan memotong bagian yang terkena air kencing tersebut”.

Sedang dalam syariat umat Muhammad, cukup hanya dengan membasuhnya (benda yang terkena najis) dengan air. Bayangkan jika syariat umat terdahulu berlaku di zaman ini, bisa repot ketika lantai masjid terkena tai cicak. Harus dicabutnya itu keramik, diganti dengan keramik baru.

Referensi:

Syekh Manna’ Al-Qattan, 1996. Tarikh At-Tasy’ri’ Al-Islami. Riyadh,KSA: Maktabah Al-Maarif li an-Nasysri wa at-Tauzi’

Syekh Jalaluddin As-Suyuthi dan  Jalaluddin Al-Mahalli, Tafsir Al-Jalalain. Kairo: Daar Al-Hadist

Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Sawi, Hasyiah Al-Sawi ‘ala Tafsir Jalalain. Beirut: Daar Al-Jayyid

Sayyid Muhammad bin ‘Alawi bin Abbas Al-Maliki, 2000. Khasais Al-Umat Al-Muhammadiyah. KSA: Maktabah Al-Malik Fahd Al-Wathaniyah ‘asna An-Nasyri

Abi Al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir,1999. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. Riyadh: Daar Thayyibah li An-Nasyri wa At-Tauzi’

Kontributor: Alwi Jamalulel Ubab, Semester II

Leave a Reply