Susur Kultur: Membedah Kemewahan Sejarah Rempah Nusantara
MAHADALYJAKARTA – Rempah-rempah menjadi komoditas penting yang tidak bisa dilepaskan dalam sejarah Nusantara. Komoditas ini tidak hanya dijadikan sebagai konsumsi dapur atau perdagangan saja, akan tetapi lebih dari itu, rempah-rempah telah menjadi silang budaya, intelektual, spiritual dan menjadi jalur penghubung antara Nusantara dengan negara-negara lain di belahan dunia. Karenanya, Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencoba melakukan residensi, guna mendorong jalur rempah menjadi warisan budaya dunia oleh UNESCO.
“Banyak temuan baru mengenai jalur rempah yang ada di Indonesia. Jalur rempah ini menjadi jalur peradaban dan pengetahuan yang menyimpan berbagai warisan kebudayaan. Hal ini menunjukkan masih minimnya ilmu pengetahuan yang kita miliki,” ungkap Direktur Jendral Kebudayaan, Hilmar Farid.
Seminar Susur Kultur yang bertemakan, “Kembara Rempah Nusantara,” yang diselenggarakan oleh Direktorat Jendral Kebudayaan di Makara Art Center Universitas Indonesia, Kamis (22/12/23), bertujuan untuk memaparkan berbagai temuan yang mereka dapatkan selama proses Residensi di dua negara yaitu Qatar dan India.
Tim residensi ini dibagi menjadi dua tim yaitu tim residensi Qatar dan tim residensi India. Tim residensi Qatar diantaranya, Adimas Bayumurti, Idris Masudi dan Fathurrochman Karyadi, yang dimentori oleh Ginanjar Sya’ban. Sedangkan tim residensi India di antaranya, Nia Deliana, Ida Ayu Wayan Arya Satyani dan Nurul Azizah, yang dimentori oleh Jajat Burhanuddin. Penelitian ini berlangsung selama satu bulan.
Jalur rempah-rempah ditemukan jauh sebelum terjadinya era kolonial. Buktinya bisa dilihat dari berbagai manuskrip yang kebanyakan menggunakan bahasa Arab atau Persia. Nusantara pada masa kerajaan Sriwijaya dianggap sebagai wilayah penting dalam jalur perdagangan internasional yang mengoneksikan kawasan dunia, mulai dari Asia Timur, Asia Selatan, India, Saudi Arabia, Mesir, Persia, Eropa dan lainnya. Dalam sumber-sumber tersebut Nusantara disebut sebagai “Bilad az-zahab wa kafur wa baharat” (Negeri emas, kapur dan rempah-rempah).
Rempah-rempah menjadi komoditas mahal kala itu, bahkan harga satu gram pala lebih mahal dari pada satu gram emas. Dalam naskah al-Masalik wa al-Mamalik (abad ke- 9) disebutkan, kapur barus, cengkeh, pala, lada, gaharu dan lain sebagainya menjadi komoditas yang mendominasi di pasar-pasar Timur Tengah dan Eropa dan sangat mahal harganya.
Jejak rempah Nusantara ini juga terekam dalam beberapa buku kedokteran pra-kolonial, yang mendeskripsikan berbagai jenis obat-obatan herbal dan kayu-kayuan yang digunakan untuk kebutuhan medis (pengobatan), seperti cengkeh yang diperoleh dari Nusantara. Pada abad ke-14 M juga rempah-rempah disebut sebagai sarana diplomasi.
Naskah-naskah yang mereka temukan dan diteliti di Qatar menunjukkan eratnya perdagangan yang dijalin oleh bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Salah satu buktinya adalah penemuan artefak-artefak kapal karam Cirebon pada abad ke-10 M. Artefak ini merupakan hasil pelelangan barang yang salah satu pembelinya adalah Qatar. Uniknya, di Qatar sendiri, kapal-kapal besar pada saat itu tidak bisa langsung menurunkan muatannya, tapi harus dibantu kapal-kapal kecil yang akan menghantarkan semua barang. Seminar ini juga membahas terkait rempah-rempah di India dan hubungannya dengan Nusantara di masa klasik.
Fathurrochman Karyadi, salah satu peneliti Qatar yang juga pernah mengajar di Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta berharap, melalui kegiatan ini nantinya ada para mahasantri Ma’had Aly Jakarta yang ikut mengkaji naskah dan ikut berkontribusi dalam penelitian sejarah.
Pewarta: Robiah, Mahasantri Ma’had Aly Jakarta