Sepak Terjang Pemerintahan Khalifah Al-Makmun

Sepak Terjang Pemerintahan Khalifah Al-Makmun

Ma’had Aly – Setiap orang memiliki masa lalu, dan masa lalu itulah sebuah sejarah yang telah terjadi di setiap kehidupan manusia. Sama halnya dengan Islam, yang memiliki sejarahnya sendiri untuk mencapai masa gemilangnya saat ini. Bagi kalangan awam, mereka mungkin seringkali mendengar tentang sejarah Rasulullah saja. Tapi bagi mereka yang mendalami tentang sejarah Islam, pastinya akan seringkali mendengar perjalanan para sahabat, dan para tabi’in yang hidup sesudah Rasulullah wafat. Banyak dinasti yang muncul, setelah masa para Khulafaur Rasyidin untuk memperebutkan roda pemerintahan, diantaranya yaitu Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Turki Utsmani, dan dinasti yang lainnya. Nah, sedikit akan diuraikan sebuah perjalanan tokoh sahabat  yang hidup pada masa Dinasti Abbasiyah. Namanya mungkin tidak semasyhur ayahnya. Namun kesejarahannya dalam memimpin pemerintahan Islam, tentu sebanding dengan ayahnya. Ia adalah Al-Makmun.

Nama lengkapnya adalah Abdullah al-Makmun. Ayahnya adalah Harun ar-Rasyid bin Muhammad al-Mahdi. Ibundanya adalah seorang budak yang dinikahi ayahnya, ia bernama murajil. Ibunya meninggal saat sedang dalam keadaan nifas setelah melahirkan al-Makmun. Al-Makmun lahir pada 15 Rabiul Awwal tahun 170 H/ 786 M, bertepatan dengan wafatnya kakeknya, yaitu Musa al-Hadi dan pengangkatan ayahnya menjadi khalifah.

Dalam buku terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani yang ditulis Zuhair Mahmud al-Humawi, menyatakan tentang sosok al-Makmun yang berkulit putih, tingginya sedang, wajahnya tampan berwarna pucat, serta berjenggot panjang dan halus.

Sejak kecil ia adalah anak yang jenius, sudah banyak belajar ilmu. Sebelum usia 5 tahun ia sudah diajarkan untuk membaca Alquran. Pada Usia 13 tahun, ia diangkat menjadi putra mahkota, juga diangkat menjadi walikota Khurasan. Ia memiliki ilmu pengetahuan yang sangat luas dalam bidang fikih, ilmu bahasa Arab dan sejarah umat manusia. Saat menjelang dewasa, dia banyak bergelut dengan ilmu Filsafat dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang di Yunani. Ia termasuk tokoh Dinasti Abbasiyah yang istimewa dalam hal kemauannya yang kuat, kesabaran, keilmuan, kecerdikan, kewibawaan, keberanian, serta ketoleransiannya. Ia memiliki kisah hidup panjang yang penuh dengan kebaikan-kebaikan.

Ketika ayahnya yaitu Harun ar-Rasyid wafat, al-Amin (saudara al-Makmun) mengingkari wasiat ayahnya. Al-Amin membatalkan pengangkatan al-Makmun, dan malah mengangkat putranya, yaitu Musa bin Muhammad sebagai penggantinya. Maka, terjadilah perselisihan yang menyebabkan peperangan di antara keduanya pada tahun 198 H/813 M. Peristiwa ini berakhir dengan pemberhentian al-Amin dan pembunuhannya pada 25 Muharram tahun 198 H, bertepatan dengan 5 September 813 M. Al-Makmun dibaiat menjadi khalifah pada tahun 198 H. Ia menjabat khalifah selama dua puluh tahun. Ia menetap di Khurasan sejak pengangkatannya sebagai khalifah.

Ia tinggal di Merv, yaitu ibukota Khurasan. Selama berada di Merv, ia banyak sekali menghadapi berbagai permasalahan dan pemberontakan dari kelompok-kelompok yang tidak senang dengan kematian al-Amin dan juga dari kelompok-kelompok lainnya. Ia memerintah pemerintahan Islam di Merv selama 6 tahun, dari situlah al-Makmun mulai mampu memahami dan mempelajari keadaan ibukota Baghdad yang sebenarnya.

Pada tahun 204 H/819 H, al-Makmun bersama pengikutnya kembali ke Baghdad. Kedatangannya disambut dengan penuh kehormatan dan keramaian. Selama kurang lebih 14 tahun kepemimpinan al-Makmun di Baghdad, dinasti mengalami banyak kemajuan, seperti pada bidang pertanian. Transaksi dalam bidang perdagangan berjalan dengan lancar, tempat-tempat pemberhentian dagang kembali ramai dengan kafilah-kafilah yang dating dan memencar ke berbagai penjuru. Lalu lintas dagang dengan Tiongkok melalui Dataran Tinggi Pamir yang disebut dengan Jalan Sutra, dan jalan laut dari Teluk Parsi menuju bandar-bandar lainnya kembali ramai.

Pada masanya ini, al-Makmun berhasil menyelesaikan apa yang telah dimulai oleh kakeknya, Al-Manshur. Apakah itu? Yaitu menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat, serta karya orang-orang terdahulu ke dalam bahasa Arab. Tahapan apa saja yang dilakukan? Yaitu dengan mengirim hadiah-hadiah kepada Raja-Raja Romawi sekaligus meminta mereka agar mengirimkan buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafa, karena dahulu Romawi menjadi pusat peradaban. Secara otomatis banyak karya-karya buku yang bisa dimanfaatkan. Baru setelah itu, Al-Makmun memilih penerjemah-penerjemah untuk mengalihkan bahasanya ke dalam bahasa Arab. Begitu cerdas taktik yang Al-Makmun lakukan.

Bahkan diriwayatkan, Khalifah al-Makmun telah memperkerjakan cendekiawan-cendekiawan terkenal seperti Al-Kindi yang menerjemahkan karya-karya Aristoteles. Tidak hanya itu, Al-Makmun juga mengutus orang-orang  ke tempat-tempat yang jauh seperti India, Syria, Mesir untuk mengumpulkan karya-karya yang jarang dan unik.

Ekspansi Islam terjadi pada masa al-Makmun, wilayah kekuasaan Islam terbentang sangat luas, dimulai dari barat dari tepian pantai Samudra Atlantik sampai ke perbatasan dataran tinggi China.

Dalam buku Sejarah Daulah Umawiyah dan Abbasiyah, buku terjemahan karya dari Ali Muhammad Ash-Shallabi yang mengatakan, bahwasannya Al-Makmun telah mendukung Syiah, Mu’tazilah dan tidak mengerti as-Sunnah. Lalu faktor yang menyebabkan ia menjadi Mu’tazilah adalah seringnya orang-orang berpaham Mu’tazilah yang berkumpul di sekelilingnya. Karena itulah, ia mempelajari aliran itu dari mereka. Hingga ia menyerukan keyakinan bahwa Alquran adalah makhluk. Hal inilah yang menimbulkan fitnah pada masa pemerintahan al-Makmun. Pendapat yang dilahirkan oleh orang-orang Muktazilah. Akibat dari peristiwa ini adalah sejumlah ulama harus menghadapi penyiksaan akibat menentang pendapat ini. Salah satu ulama yang harus menerima siksaan adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Bahkan keyakinan ini terus ada hingga setelah zaman al-Mutawakkil yang berhasil mengembalikan pendapat Ahli Sunnah.

Al-Makmun wafat pada tahun 218 H/833 M. Setelah berkuasa 20 tahun lamanya. Dalam buku karangan Zuhair Mahmud al-Humawi, tentang wafatnya ini dikisahkan pada suatu hari al-Makmun bersama al-Mu’tashim memakan buah kurma azad (satu jenis kurma yang bagus), sambil menjulurkan kaki mereka ke dalam air yang dingin. Karena menjulurkan kaki ke dalam air yang amat dingin itulah yang menyebabkan al-Makmun demam. Setelah jatuh sakit, al-Makmun menyuruh pembantunya untuk mengirimkan surat-suratnya ke seluruh negeri. Dalam surat itulah dituliskan, “Dari hamba Allah, Amirul Mu’minin, al-Makmun, dan saudaranya yang akan menjadi khalifah sesudahnya, Abu Ishaq al-Mu’tashim bin Harun ar-Rasyid”. Al-makmun kemudian berwasiat kepada al-Mu’tashim dengan disaksikan oleh putranya Abbas, para ahli fikih, qadhi, dan panglima-panglimanya.

Namun berbeda kisah di dalam buku karangan Syaikh Muhammad al-Khudari bahwasannya, al-Makmun wafat pada saat perang Tharasus di Abanndon, Thartus. Al-Makmun terserang demam yang begitu cepat menyerang. Sehingga pada akhir Rajab 218 H, ajal menjemputnya. Akhirnya ia dibawa ke Thartus dan dimakamkan di sana.

Al-Makmun adalah khalifah Abbasiyah pertama yang mampu mengamalkan pelajaran dari peristiwa-peristiwa sejarah. Ia melihat bahwa pemerintahan bukanlah miliknya secara khusus yang bisa diwariskan kepada anak cucunya. Pemerintahan dalam pandangannya bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Oleh karenanya, harus memerhatikan kebaikan masyarakatnya. Ia tidak menjadikan anaknya, Al-Abbas menjadi khalifah. Padahal anaknya ini salah seorang panglima perang yang sangat terkenal. Justru ia mengangkat saudaranya Al-Mu’tashim, karena ia melihat Al-Mu’tashim lebih banyak kelebihannya dibanding anaknya dari segi keberaniannya maupun kapabilitasnya.

Referensi

Muhammad Khudari, Bangkit Dan Runtuhnya Daulah Abbasiyah, Terj. Masturi Ilham, dan M. Abidun Zuhri, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2018.

Imam Suyuthi, Tarikh Khulafa, Terj. Samson Rahman, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000.

Azizi Abdul Syukur, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam, Depok: Noktah, 2018.

Ahmad Usairy, Sejarah Islam, Terj. Samson Rahman, Jakarta: Akbar Media, 2016.

Ali ash-Shalabi Muhammad, Sejarah Daulah Umawiyah & Abbasiyah, Terj. Imam Fauji. Jakarta: Ummul Qura, 2016.

Zuhair al-Humawi Mahmud, Wasiat-Wasiat Akhir Hayat dDari Rasulullah, Abu Bakar, dll, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.

Hilmy Bakar Almascaty, Panduan Jihad Untuk Aktivis Gerakan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

 

Oleh: Qurotul Aini, Semester V

Leave a Reply