Jaka Tingkir, Sultan Pajang yang Sakti nan Pemberani

Jaka Tingkir, Sultan Pajang yang Sakti nan Pemberani

Ma’had Aly ā€“ Jaka Tingkir memiliki nama kecil Raden Mas Karebet, merupakan putra Ki Ageng Pengging, seorang keturunan Raja Majapahit yang menjadi tuan tanah feodal di wilayah Pengging, dekat Boyolali. Dikisahkan, bersamaan dengan digelarnya pertunjukan wayang beber, lahirlah putra dari Ki Ageng Pengging yang diiringi hujan lebat, angin kencang, dan sebuah pelangi. Jabang bayi itu begitu rupawan, wajahnya bersinar cerah menyiratkan kecemerlangan manusia yang luhur derajatnya. Begitulan kesan yang ditangkap oleh mata batin Ki Ageng Tingkir, saudara dari Ki Ageng Pengging, saat pertama kali menimang bayi yang diberi nama Mas Karebet tersebut.

Setelah ayahnya meninggal, ibunya Nyai Ageng Pengging jatuh sakit hingga meninggal, kemudian Mas Karebet diasuh oleh janda bernama Nyi Ageng Tingkir yang tinggal di desa Tingkir, di lereng gunung dekat Salatiga. Karenanya ia dijuluki Jaka Tingkir (Pemuda dari Tingkir). Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang pemberani dan gemar bertapa. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga, ia juga berguru kepada Ki Ageng Selo. Beliau adalah seorang ajengan yang kerap mempraktikkan laku tasawuf. Ia dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai orang yang bijak nan sakti mandraguna karena disebut-sebut memiliki kemampuan menangkap petir.

Peristiwa yang menyebabkan kematian ayahnya Jaka Tingkir adalah karena sikapnya yang tak menunjukkan bahwa ia bersedia patuh kepada sultan Demak. Berkali-kali ia diminta datang ke ibukota untuk menghadap, tapi menolak dengan cara halus. Akhirnya Sunan Kudus diutus untuk menemuinya. Ketika Sunan Kudus sudah sampai, ia menjelaskan bahwa dirinya adalah pengirim pesan yang diutus oleh Sultan Demak, ia diterima sang Ki Ageng Pengging sendiri. Pertemuan terjadi di ruang tidur karena Ki Ageng Pengging saat itu sedang sakit. Dengan suara ketus, Sunan Kudus mendesaknya untuk datang ke Demak.

Permintaan Sunan Kudus ini, sebenarnya tidak menyiratkan dengan jelas apakah ini termasuk idiom agama sehubungan dengan peran beliau sebagai penegak syiar Islam, malah tampak lebih jelas idiom politiknya, yang penting Ki Ageng Pengging harus setia pada Demak. Tapi Ki Ageng Pengging menolak, Sunan Kudus pun membunuhnya untuk mengembalikan ā€œmarka-marka kepastianā€ (menegakkan otoritas).

Meski pihak Demak yang bertanggung jawab atas kematian ayahnya, namun Jaka Tingkir tetap ingin mengabdi ke ibukota Demak. Karena prospek untuk mendapat masa depan yang baik ada di sana. Jaka Tingkir pandai menarik perhatian Sultan Trenggono sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama. Beberapa waktu kemudian, Jaka Tingkir bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadung Awuk yang sombong dan suka pamer. Jaka Tingkir menguji kesaktiannya, dan Dadung Awuk tewas. Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dan diusir dari Demak.

Jaka Tingkir yang telah dipecat kemudian mengembara untuk memperdalam ilmunya, ia berguru kepada Ki Ageng Banyubiru yang tinggal di daerah Sukoharjo. Berbulan-bulan ia digembleng dengan Tapa Brata, Yoga, dan Semedi hingga Jaka Tingkir diberikan Ajian Lembu Sekilan oleh Ki Ageng Banyubiru yang berguna untuk melindungi tubuh dari berbagai serangan musuh dengan batas satu jengkal jari. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Jaka tingkir memilih untuk pulang ke rumah.

Suatu saat, Sultan Trenggono dan keluarganya sedang berwisata ke Pegunungan. Jaka Tingkir mulai melaksanakan rencana yang telah ia susun dengan seksama. Ia melepas seekor kerbau besar yang di telinganya sudah dimasuki kumbang. Kerbau itu mengamuk dan merusak pesanggrahan Sultan. Jaka Tingkir kemudian tampil menghadapi kerbau tersebut, dengan kekuatannya, kerbau itu dengan mudah dijinakkan. Atas jasanya itu, Sultan Trenggono menjodohkan Jaka Tingkir dengan putrinya, Ratu Mas Cempaka dan juga melantiknya menjadi Adipati Pajang.

Konflik dengan Arya Penangsang

Perang suksesi tahta Demak terjadi dipicu karena adanya rasa dendam berebut kekuasaan dari keturunan Pangeran Sekar Seda Lapen yang dibunuh oleh Sunan Prawoto, yang ternyata meninggalkan duri dalam hati keturunan Pangeran Sekar Seda Lapen. Arya Penangsang merasa lebih berhak menduduki tahta kerajaan karena Arya Penangsang beranggapan bahwa yang menduduki tahta kerajaan adalah ayahnya, bukan Sultan Trenggono.

Tahun 1546 Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawoto, menemukan bukti bahwa Sunan Kudus terlibat pembunuhan kakaknya. Ratu Kalinyamat datang dari Jepara ke Kudus untuk meminta pertanggungjawaban. Namun, jawaban Sunan Kudus adalah Sunan Prawoto mati karena karmanya sendiri. Jawaban tersebut membuat Ratu Kalinyamat kecewa. Rombongan Ratu Kalinyamat dan suaminya telah meninggalkan wilayah Kudus, namun Ratu Kalinyamat mendapatkan firasat yang tidak enak, ternyata ada pasukan tempur Arya Penangsang yang sedang mengejar. Pertempuran pun tak terbendung lagi, beberapa prajurit Jipang tewas terbunuh oleh Ratu Kalinyamat. Sembari terus memacu kencang kudanya, Ratu Kainyamat mencoba menyerang Patih Manahun, abdi Arya Penangsang yang paling setia. Ratu Kalinyamat memang sangat mahir dalam memainkan pedang dan ilmu perang. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan pasukan Jipang di tengah-tengah pertempuran ā€œPangeran Hadiri wis matiā€ (Pangeran Hadiri telah meninggal). Ratu Kalinyamat sangat terkejut, ternyata suaminya sendiri telah terbunuh oleh pasukan Jipang. Ratu Kalinyamat yang telah menjadi janda pun akhirnya merapat ke kubu Jaka Tingkir-Sunan Kalijaga untuk membalas kematian suaminya.

Tahun 1547 terjadi silaturrahmi antara Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga membicarakan ketegangan antara Jipang dan Demak. Pandangan Sunan Kalijaga tentang keberpihakan Sunan Kudus terhadap Arya Penangsang pun diakui benar adanya oleh Sunan Kudus. Sunan Kalijaga memohon kepada Sunan Kudus agar para sepuh (wali), sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua untuk tidak ikut campur urusan rumah tangga anaknya. Sunan Kudus pun mengikuti nasihat Sunan Kalijaga, tahun 1547 M Sunan Kudus menemui Arya Panangsang di Jipang Panolan dan menjelaskan wacananya kepada Arya Panangsang, bahwa memang Arya Panangsang mempunyai hak sebagai pewaris Kerajaan Demak. Akan tetapi Demak sudah runtuh, jadi hak tersebut sudah tidak ada lagi. Mendengar penjelasan Sunan Kudus, Arya Panangsang pun Marah.

Kemudian, Sunan Kudus memberi saran untuk membunuh penuntut tahta paling potensial, yaitu Jaka Tingkir dari Kadipaten Pajang. Arya Penangsang pun merespon saran dari Sunan Kudus tersebut, kemudian ia memilih empat orang prajurit khusus Jipang untuk membunuh Jaka Tingkir. Namun Jaka Tingkir adalah sosok manusia digdaya yang tubuhnya kebal senjata tajam. Walaupun dalam kondisi tidur, ajian yang pernah diberikan oleh Ki Ageng Banyubiru akan selalu melindunginya. Jaka Tingkir membalas perbuatan Arya Penangsang dengan mengirimkan surat tantangan sebagai langkah provokasi. Arya Penangsang pun terbakar api emosi hingga ia pun langsung menunggangi punggung kuda Gagakrimang menuju sungai Bengawan Solo. Ia tidak menyadari bahwa ia telah terjebak perangkap Jaka Tingkir. Sesampainya di tepian timur sungai Bengawan Solo, Aryo Penangsang berhenti sejenak untuk mengamati situasi sambil menanti kedatangan seluruh pasukannya. Namun, Jaka Tingkir tidak ada di sana, yang ada hanyalah sejumlah pasukan Pajang di bawah komando Sutawijaya, putra Ki Ageng Pamanahan. Kemudian terjadilah perang yang sangat dahsyat di mana Arya Penangsang menghembuskan napas terakhir akibat kehabisan darah.

Sepeninggal Arya Penangsang, pada tahun 1568 M Jaka Tingkir akhirnya mendapat restu dari Sunan Kudus untuk menjadi Sultan di Pajang, yang kemudian menggunakan gelar Sultan Hadiwijaya dalam memerintah kekuasaan Pajang. Sultan Hadiwijaya didampingi sang Permaisuri Ratu Mas Cempaka selama memerintah kerajaan Pajang.

Berdirinya Kesultanan Pajang

Kesultanan Pajang adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kesultanan Demak. Jaka Tingkir mewarisi tahta Demak dikarenakan faktor politik yang dimiliki serta berdasarkan garis keturunan yang masih memiliki darah Raja Majapahit. Di samping itu, Jaka Tingkir juga merupakan menantu dari Sultan Trenggono, Sultan Demak ke-3.

Di zaman Jaka Tingkir memerintah Pajang pada tahun 1578, seorang pemberontak bernama Wargautama dikalahkan oleh pasukan kerajaan Pajang dari pusat. Berita Babad Banyumas ini, menunjukkan masih kuatnya Pajang menjelang akhir pemerintahan Jaka Tingkir.

Sebagai murid dari salah satu anggota Walisongo, yakni Sunan Kalijaga. Jaka Tingkir merasa berkewajiban melanjutkan dakwah sesuai dengan cara yang pernah dipergunakan oleh sang guru. Sunan Kalijaga selama ini telah merancang proyek kebudayaan Islam lokal dalam rangka menyebarkan nilai-nilai religius yang senapas dengan tradisi Jawa (pengadatan Jowo) melalui proses akulturasi dan asimilasi yang panjang. Sunan Kalijaga terkenal sebagai seorang pujangga yang berinisiatif menciptakan karangan cerita-cerita pewayangan yang kemudian dikumpulkan dalam kitab-kitab cerita wayang yang sampai sekarang masih ada. Cerita-cerita itu masih berbentuk cerita menurut kepercayaan Hindu-Jawa dengan corak kehidupan yang ada, tetapi sudah dimasuki unsur-unsur ajaran Islam sebanyak mungkin. Hal semacam inilah yang ingin dilanjutkan Jaka Tingkir dengan Kerajaan Pajang sebagai laboratorium dakwahnya.

Dalam lingkungan istana, Jaka Tingkir berusaha menciptakan atmosfer yang Islami, yang ditandai dengan adanya tata tertib, sensitivitas, dan estetika dengan memanfaatkan adat budaya Jawa seperti yang dicontohkan Sunan Kalijaga. Di dalam istana terdapat walon, yakni tata krama yang diberikan sejak kecil. Untuk memperhalus perasaan diberikan pelajaran kesenian dan sejumlah pendidikan.

Referensi

Susetya, Wawan. 2011. Pajang. Jakarta: Diva Press.

Utomo, Wedi. 1989. Ki Ageng Sela Menangkap Petir. Surakarta: Yayasan Parikesit.

Sastronaryatmo, Moelyono. 1981. Babad Jaka Tingkir, Babad Pajang. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Daliman. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Purwadi. 2010. Babad Tanah Jawa: Menelurusi Kejayaan Kehidupan Jawa Kuno. Yogyakarta: Panji Pustaka.

Kontributor: Atina Fakhrun Nisa’, Semester V

Leave a Reply