Ma’had Aly – Sebelum mengetahui lebih jauh mengenai Khalifah Al-Mutawakkil, alangkah baiknya kita mengetahui sejarah Dinasti Abbasiyah terlebih dahulu. Dinasti Abbasiyah merupakan Dinasti kedua dalam sejarah Islam yang berpusat di Baghdad, setelah runtuhnya Dinasti Bani Umayyah.
Nama Abbasiyah sendiri dinisbatkan kepada Abbas bin Abdul Muthalib yang merupakan paman Rasulullah saw. dan masih keturunan Bani Hasyim. Dari sekian banyak pemimpin atau khalifah yang pernah menduduki kursi kekuasaan Dinasti Abbasiyah ini salah satunya adalah khalifah Al-Mutawakkil Alallah, Ja’far, Abu Al-Fadhl bin Mu’tashim bin Ar-Rasyid. atau lebih dikenal dengan sebutan Al-Mutawakkil.
Nama lengkap Al-Mutawakkil (847-861 M) adalah Al-Mutawakkil Alallah, Ja’far, Abu Al-Fadhl bin Mu’tashim bin Ar-Rasyid. Ibunya seorang mantan budak bernama Syuja’. Al-Mutawakkil lahir pada 205 H. Riwayat lain menyatakan pada 207 H. Ia dilantik sebagai khalifah pada 24 Dzulhijjah 232 H setelah wafatnya Al-Watsiq. Langkah awal kekuasaannya, Al-Mutawakkil menyingkirkan orang-orang yang tidak menyenanginya, dan ia pun mengangkat ketiga putranya untuk menggantikan kekuasaanya suatu saat nanti. Namun untuk sementara ini ketiga putranya hanya dijadikan sebagai gubernur. Al-Muntasir (putra sulung) menjadi gubernur di Mesir, al-Mutaz menjadi gubernur di wilayah Timur, dan al-Mu’ayyad menjadi gubernur di Syuria dan Palestina.
As-Sulami menyatakan, “Sesungguhnya Zun Nun adalah orang pertama yang berbicara mengenai ketertiban sosial dan derajat para pemangku kekuasaan di Mesir, dia menciptakan sebuah ilmu yang tidak pernah dibicarakan oleh orang terdahulu sehingga Zun Nun dituduh sebagai kafir zindik. Gubernur Mesir pun memanggilnya dan menanyakan akidah yang dia anut, Zun Nun pun menjelaskan apa adanya dan semua penjelasannya itu membuat sang gubernur merasa puas. Kemudian ia pun di panggil ke hadapan al-Mutawakkil dan menjelaskan kejadian yang sama. Al-Mutawakkil merasa terpesona hingga mengatakan, “Apabila orang-orang saleh diingat, maka ingatlah Zun Nun”.
Aliran-aliran kebatinan itu merupakan gerakan sosio agama yang sering timbul pada zaman kegoncangan besar, baik goncangan sosial yang cepat maupun goncangan nilai-nilai moral dan agama, yang disebabkan tekanan resmi maupun benturan yang terjadi dengan pengaruh luar. Tekanan resmi itu dirasakan semenjak khalifah Al-Ma’mun, yang memaksakan aliran Mu’tazillah sebagai aliran resmi Negara. Pada masa khalifah al-Mutawakkil aliran mu’tazilah dihapus dan memunculkan kembali aliran sunni.
Sebab kecenderungannya kepada ahlu sunnah ia membantu mereka yang memilki akidah ahlu sunnah. Al-Mutawakkil juga menyebarkan perintah itu ke seluruh wilayah kekuasaannya. Semua itu ia lakukan pada tahun 234 H. Bahkan al-Mutawakkil melakukan satu hal yang sangat fantastis dengan mengundang para ahli hadist ke Samura. Dia memberi jaminan keamanan kepada mereka dan menghormati mereka dengan penghormatan yang tinggi. Al-Mutawakkil meminta agar mereka menerangkan hadist-hadist yang menerangkan sifat Allah, para ahli hadist itu di sebar kebeberapa masjid untuk mengisi pengajian, dan dalam pengajian-pengajian itu tak sedikit orang yang hadir. Mereka semua mendoakan al-Mutawakkil, bahkan ada yang mendoakannya sampai melampaui batas dengan mengatakan, “Yang benar-benar khalifah itu ada tiga: Abu Bakar pada saat memerangi orang-orang yang murtad dari ajaran islam, Umar bin Abdul Aziz saat membebaskan manusia dari kedzaliman dan al-Mutawakkil yang kembali menghidupkan sunnah Rasulullah.
Pada tahun 235 H, al-Mutawakkil memerintahkan agar menghancurkan kuburan Al-Husain serta bangunan-bangunan disekitarnya. Dia berencana menjadikan lokasi kuburan itu sebagai lading dan melarang kaum muslimin mengunjunginya. Semua bangunan diratakan dengan tanah hingga yang tersisa hanya padang pasir.
Al-Mutawakkil terkenal sebagai sosok yang sangat fanatik. Akibatnya kaum muslimin merasa tertekan. Dalam aksi protes atas ketidakbijakan ini masyarakat menempelkan berbagai tulisan dengan nada protesnya di tembok-tembok dan masjid. Sedangkan para penyair dan sastrawan dalam menuangkan rasa protesnya mereka membuat syair-syair.
Pada tahun 237 H, al-Mutawakkil ‘alallah memerintahkan kepada bawahannya di Mesir untuk memberi peringatan berupa pukulan kepada Abu Bakar bin al-Laits, yang merupakan Hakim Agung Mesir pada saat itu. Semua itu ia lakukan karena Abu Bakar termasuk golongan Jahmiyyah. Kemudian, al-Mutawakkil mengganti hakim tersebut dengan Al- Harits bin Miskin. Pada saat itu di tahun yang sama terjadilah kebakaran yang menghanguskan rumah-rumah di Asqalan.
Pada tahu 240 H, penduduk Khalath mendengar suara yang sangat keras dari langit yang memekakkan telinga, sampai membuat banyak nyawa tidak tertolong karena suara keras tersebut. Kemudian disusul dengan turun hujan es sebesar telur ayam dan menenggelamkan 13 kota di Maroko. Peristiwa tersebut tidak pernah terjadi sebelumnya. Namun, itu merupakan salah satu tanda bukti kekuasaan Allah, bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Bencana yang terjadi pada masa kekhalifahan al-Mutawakkil ini tidak mengurangi harta yang dimilikinya. Sehingga membuat ia terlena dengan kekayaannya sendiri. Selain itu, ia juga sering minum-minuman. Sehingga membuat para pembesar Turki sangat tidak senang kepadanya, mereka beranggapan bahwa al-Mutawakkil akan membuat perangkap-perangkap untuk melepaskan diri dari mereka satu persatu. Mentrinya yang bernama Ubaidillah bin Khaqan beserta wakilnya al-Fath bin Khaqan, tidak menyetujui jika al-Muntasir menjadi putra mahkota. Mereka lebih mendukung al-Mutaz yang menjadi putra mahkota, sehingga mereka menghasut al-Mutawakkil, dan membuat al-Muntasir hampir di pecat dari jabatan sebagai putra mahkota. Karena peristiwa itu muncul pertikaian antara panglima Turki dan putra mahkota.
Penghasutan mentri Turki terus di lancarkan dalam setiap keadaan, sehingga membuat al-Muntasir semakin merasa cemburu dan khawatir akan kehilangan jabatan sebagai putra mahkota. Hasutan mentri Turki itu, membuat mereka sepakat untuk membunuh al-Muntasir. Namun, menteri Turki berkhianat sehingga membunuh al-Mutawakkil bukan al-Muntasir. Pembunuhan tersebut dipimpin oleh Bugha as-Shaghir, yang dikenal dengan as-Syarabi. Pada saat itu al-Mutawakkil sedang bersama al-Fath bin khaqan sedang meminum anggur. Sehingga salah satu dari mereka langsung menebas al-Mutawakkil dan al-Fath dengan pedang. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 4 Syawal 248 H.
Dari kisah-kisah di atas dapat kita ambil pelajaran mengenai arti kehidupan, perjuangan dan pengalaman yang berharga. Kita juga bisa mengerti bahwa tak semua yang kita miliki akan kekal bersama kita. Jangan sampai kenikmatan yang Allah berikan kepada kita membuat kita terlena dan melupakan kewajiban kita sebagai hamba. Tetap fokus dengan tugas kita sebagai manusia yang hannya melakukan segala sesuatu demi mengharap ridho-Nya.
Referensi
Taufiq Abdullah, Era Pengaruh Turki dalam starlita, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol .1 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Penerjemah: Samson Rahman, 2000.
Muhammad Al-Khudari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah Abbasiyah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016.
Suyuthi Pulungan, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2018.
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam dan Umatnya, Jakarta: Rajawali, 1986.
Oleh: Alviatun Khoiriyah, Semester VI