Ulama Sufi dari Banten, Kiai Abuya Dimyati (1925-2003 M)

Ulama Sufi dari Banten, Kiai Abuya Dimyati (1925-2003 M)

Ma’had Aly – Abuya Dimyati Pandeglang adalah seorang ulama krismatik dan juga pengasuh Pesantren Cidahu Cadasari Pandeglang Banten. Dilahirkan tahun 1925 dari pasangan H. Amin dan Hj. Ruqoyah, Abuya Dimyati wafat pada 3 Oktober 2003. Ia mempunyai 8 anak dari 3 istri. Sejak kecil Abuya Dimyati sudah menampakkan kecerdasanya dan keshalihannya. Ia belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Mulai dari Pondok Pesantren Cadasari Kadupeseng Pandeglang, Pelamunan hingga Plered Purwakarta. Beliau dikenal sebagai penganut Qodiriyah dan Naqsabandiyah. Beliau pun pernah berguru kepada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa, di antaranya Abuya Abdul Chalim Pandeglang, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Kiai Dalhal Watucongol, Kiai Nawawi Jejeran Yogya (mertuanya), Kiai Khozin Bendo Pare, Kiai Badhowi Lasem, Kiai Rukyat Kliwungu dan masih banyak lagi. Hampir semua guru-guru tersebut bermuara kepada syekh Nawawi al-Bantani. Pada Kiai sepuh tersebut diyakini memiliki kekhalifahan dan mursyid sempurna.

Ketika Abuya Dimyati nyantri di Watucongol, beliau sudah diminta mengajar oleh Kiai Dalhar. Menjelang kedatanganya ke Watucongol Kiai Dalhar mengabari kepada para santrinya bahwa besok akan datang “kitab banyak”. Dan hal ini terbukti ketika beliau mengajar di Watucongol beliau banyak mengajar dan mengkaji kitab-kitab. Di pondok Bendo Pare beliau lebih dikenal dengan sebutan “Mbah Dim Banten” dan mendapatkan Laqob “Sulton Aulia”, karena memang beliau adalah wira’i dan topo duyun (tidak suka kesenangan dunia). Pada setiap pondok yang beliau singgahi selalu ada peningkatan santri mengaji.[1]

Abuya Dimyati berpesan kepada muridnya, “Jangalah engkau meninggalkan ngaji karena kesibukan urusan maupun umurmu.” Karena baginya menuntut ilmu adalah kesibukan yang sangat penting semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan Kiainya dari para Kiai, sehingga disebut sebagai ulama khos al-khos. Masyarakat Banten pula menjuluki beliau sebagai pakunya daerah Banten, dibalik pakunya nama Indonesia, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Abuya Dimyati juga mempunyai jalan sepiritual yang sangat unik. Beliau secara tegas menyeru “Thariqah aing mah, ngaji,” (jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat seseorang bisa dilihat bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surah al-Mujadilah ayat 11:

يآ أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.[2]

Ketika Abuya Dimyati menginginkan berguru pada Kiai Baidlowi Lasem, beliau diminta untuk pulang, namun beliau menolak dengan menjawab, “Saya tidak memiliki ilmu.” Pada suatu ketika ia bertemu dengan Kiai Baidlowi Lasem memohon warisan thariqah namun  Kiai Baidlowi Lasem menjawab, “Mbah Dim”, zikir itu sudah termaktub dalam kitab, begitupula dengan shalawat silakan memuat sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa. Tarekat adalah sebuah wadfizah yang terdiri dari zikir dan selawat,”. lalu Kiai Baidowi Lasem menyuruh Abuya untuk shalat istikharah dan kembali menemui kiai Baidlowi Lasem, kemudian diijazahi thariqah asy-Syadiliyah.[3]

Dari perjalanan beliau dan kepemimpinan beliau sebagai pengasuh pondok pesantren Cidahu beliau juga mempunyai sebuah karya yang dicetak di pesantren Raudatul ‘Ulum Cidahu yaitu Minhaj al-Istifa fi Khashaish Hizib an-Nasr wa al-Ikhfa, al-Hadiyah al-Jalaliyah fi ath-Thariqah asy-Syaziliyyah, Ashl al- Qodr fi Khashaish Fadlail Ahl Badr, Rasm al-Qashr fi Khashaish Hizb an-Nashr, Bahjah al-Qolaid fi ‘Iim al-‘Aqaid, Nur al-Hidayah fi Ba’d ash-Shalawat ‘ala Khair al-Bariyyah, dan Majmu’ah al-Khutab.[4]

Di era orde baru kiai yang tidak kooperatif justru mendapatkan represi dari pemerintah. Abuya Dimyati seorang kiai di Banten, ditangkap dan dipenjarakan menjelang Pemilu 1977. Penangkapan Abuya Dimyati dikarenakan pernyataan Abuya Dimyati yang dianggap menyerang dan  mengkritik intimidasi Golongan Karya (Golkar) kepada masyarakat Pandeglang menjelang Pemilu 1977. Dia juga menyampaikan kepada masyarakat bahwa Golkar bukanlah pemerintah. Golkar sama seperti Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia adalah peserta Pemilu 1977.Abuya Dimyati pun dianggap pemberontak bahkan sudah dianggap PKI. Dia ditangkap pada 14 Maret 1977 dan ditahan penjara Pandeglang.

Setelah penangkapan tersebut banyaklah cerita-cerita misterius yang mewarnai peristiwa penangkapan Abuya Dimyati. Cerita mitos yang mengitarinya berkaitan dengan keyakinan sebagian besar masyarakat Pandeglang bahwa meskipun Abuya Dimyati berada di penjara. Namun di saat bersamaan, beliau berada di pesantrennya di Cidahu atau ada juga yang menjumpainya di Banten dan lain sebagainya. Selain itu aparat yang menangkapnya diceritakan mendapat musibah seperti hakim yang memvonisnya menjadi bisu dan polisi yang menangkapnya juga menjadi gila. [5]

Rererensi

[1] Zainul Milal Bazawie, Masterpiece Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka Kompas, 2016), hal. 139.

[2] Faiqoh, Pengajaran Kitab Kuning di Pesantren Raudatul Ulum di Banten pandeglang, Vol. 28, No. 2 Desember 2012

[3] https://tebuireng.online/abuya-dimyati-jalan-saya-adalah-ngaji,  (diakses pada tanggal 7 Mei 2019 Pukul 15.33 WIB)

[4] Muhammad Shohin, Para Penjaga Al-Quran, (Jakarta: Pajnah Pentashihan Mushaf al-Quran, 2011), hal. 425.

[5] Asep Muslim, Dinamika Peran Dunia Politik Ulama dan Jawara di Pandeglang Banten, Mimbar, Vol.31, No.2 (Desember, 2015), hal. 470.

 

Oleh : Ulyah Zakiatunnufus, Semester V

Leave a Reply