Memupuk Jiwa Nasionalisme Melalui Ulama Nasionalis di Tubuh NU

Memupuk Jiwa Nasionalisme Melalui Ulama Nasionalis di Tubuh NU

Ma’had Aly – Indonesia sebagai Ideology Marketplace, ragam ideologi bertumbuh subur di dalamnya, mencerminkan betapa terbukanya negeri ini. Dari mulai ideologi kacang-kacang sampai ideologi kelas kakap berkembang. Sekelas orang kampung paling pelosok yang belum terjangkau sinyal 4G, bisa saja mendapat wangsit dari Mak Lampir kemudian mengaku nabi atau bahkan sekelas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang terkenal ideologi khilafahnya dengan percaya diri unjuk gigi di negeri ini. Uniknya, ada saja pengikutnya. Oke lah, wajar jika HTI yang sudah terorganisir dengan apik. Tapi lha ini orang desa, pelosok, belum ada listrik pula. Belum pernah lihat Monas ngaku nabi, pun ya ada saja pengikutnya.

Disadari atau tidak, generasi milenial dewasa ini banyak terabrasi jiwa nasionalismenya. Maraknya ideologi anti nasionalis meresahkan dunia milenial. Akses internet yang mudah dan murah sangat potensial membuka pintu ideologi tersebut. Perlahan jiwa nasionalisme anak muda negeri ini keropos. Kebanyakan mereka yang merongrong gaung nasionalisme negeri ini, membenturkan agama sebagai sosok yang lain dan anti nasionalis. Padahal kalau kita tilik sejarah, banyak ulama dengan kemantapan muatan ilmu agamanya, justru semakin berkobar jiwa nasionalimenya.

Pada kesempatan kali ini, penulis akan hadirkan sosok ulama NU yang getol memperjuangkan nasionalismenya. Dari mulai KH. As’ad Syamsul Arifin yang pernah berkata, “Asal kamu mau ikut saya, mau berjuang untuk agama Islam dan negara, dosamu akan saya tanggung di akhirat.” Sampai Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dengan resolusi jihadnya yang berhasil membakar semangat nasionalisme seluruh elemen masyarakat hingga pecahlah pertempuran sengit di Surabaya pada 10 November 1945.

  • KH. Hasyim Asy’ari

Hasyim Asy’ari lahir pada 24 Dzulqa’dah 1287 H atau 14 Februari 1871 M di desa Gedang, sekitar 2 km sebelah timur Jombang. Ayahnya, Asy’ari adalah pendiri Pesantren Keras yang terletak di Desa Keras, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur. Sementara kakeknya, Kiai Usman, adalah kiai terkenal dan pendiri Pesantren Gedang yang didirikan pada akhir abad ke-19. Selain itu, moyangnya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambak Beras, Jombang. Ibu KH. Hasyim Asy’ari merupakan anak pertama dari tiga saudara laki-laki dan dua perempuan; Muhammad, Leler, Fadil, dan Nyonya Arif. KH. Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari sepuluh bersaudara yaitu Nafi’ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan.

Hasyim Asy’ari menikah pada tahun 1891 M pada saat usia 21 tahun. Ia mendapatkan ijazah untuk mengajar Sahih Bukhari dari Syekh Mahfudz Termas, belajar fikih madzhab Syafi’i di bawah bimbingan Ahmad Khatib yang juga ahli dalam bidang astronomi (‘ilm falak), matematika (‘ilm hisab), dan Aljabar (al-Jabr). Guru-guru yang lainnya adalah Syekh Nawawi Banten dan guru-guru non-Jawi (bukan dari Nusantara) seperti Syekh Shata dan Syakh Dagistani yang merupakan ulama terkenal pada masa itu.

Hasyim Asy’ari merupakan ulama yang getol berjuang menegakkan ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah an Nahdiyyyah dan kemerdekaan bangsa ini, sehingga dianugerahi pahlawan nasional. Salah satu bukti perjuangannya adalah pada tanggal 22 Oktober 1945, Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar Pengurus Nahdlatul Ulama mengeluarkan resolusi jihad. Resolusi jihad merupakan hasil rapat besar dari wakil daerah (Konsul 2) NU seluruh Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya. Inti resolusi jihad itu adalah memompa semangat seluruh elemen masyarakat untuk berjuang memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajah.

Di samping resolusi jihad ini, KH. Hasyim secara pribadi juga mengeluarkan fatwa jihad yang isinya dua hal. Pertama, menyerukan kepada seluruh kaum muslimin untuk terus melakukan perang suci (jihad) melawan Belanda. Kedua, melarang kaum muslimin untuk melakukan ibadah haji degan menggunakan kapal laut Belanda.

Setelah resolusi jihad dan fatwa ini, tepatnya pada tanggal 10 November 1945, pecahlah pertempuran sengit di Surabaya. Partisipasi kaum santri dalam pertempuran ini sangat besar. Kaum santri bersemangat melawan penjajah setelah mendengar fatwa politik yang dikumandangkan Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari. Tanggal 22 Oktober kemudian dijadikan hari santri nasional. Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari  wafat pada 25 Juli 1947 di Jombang. 

  • KH. Idham Chalid

Idham Chalid lahir pada 27 Agustus 1921 di Satui, Kalimantan Selatan. Ayahnya bernama H. Muhammad Chalid, seorang penghulu dari Amuntai, Hulu Sungai Tengah. Pendidikan formalnya ditempuh di Sekolah Rakyat (SR).

Sejak remaja, Idham Chalid aktif di Nahdlatul Ulama dan karirnya terus menanjak. Ketika NU masih bergabung dengan Masyumi (1950), beliau menjadi ketua umum Masyumi Kalimantan Selatan. Pada waktu yang sama beliau juga menjadi anggota DPR RIS (1949-1950). Dua tahun kemudian, Idham terpilih menjadi ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif  NU (1952-1956). Kemudian, Idham Chalid dipilih menjadi Ketua Tanfidziyah NU pada 1956. Idham merupakan orang terlama yang menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU.

Selama hampir 30 tahun sebagai orang nomor satu di NU, Idham pernah menduduki berbagai jabatan politik. Pada waktu itu, NU juga merupakan partai politik. Pada Kabinet Ali Sastroamijodjo II, Idham menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri. Pada masa Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, Idham juga beberapa kali menjadi menteri, antara lain sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan serta Menteri Sosial. Pada 1996, Idham menjadi anggota presidium Kabinet Ampera I dan Kabinet Ampera II. Setelah itu, Idham diangkat menjadi ketua anggota MPR/DPR periode 1971-1977.

Idham Chalid wafat pada 11 Juli 2010 dan dimakamkan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Pada 7 November 2011, berdasarkan Kepres No. 113/TK/2011, pemerintah menobatkan KH. Idham Chalid sebagai pahlawan. 

  • KH. Zainal Mustofa

Zainal Mustofa lahir di Tasikmalaya pada tahun 1899 M. Pimpinan pesantren Sukamanah ini sempat dipenjara oleh Belanda di Sukamiskin, Bandung pada 17 November 1941 M. Ia dituduh akan merencanakan pemberontakan kepada Belanda. Ia baru dibebaskan ketika Jepang menduduki Indonesia. Namun, kebebasannya tidak berlangsung lama.

Ketika Jepang berkuasa, ia menentang kerja paksa (Romusha) yang sangat memberatkan rakyat. Ia juga menolak sae lerei, yaitu penghormatan kepada Kaisar Jepang dengan membungkukkan badan ke arah matahari terbit. Ia menganggap tindakan itu sebagai kemusyrikan. Pada 25 Februari 1944, ia dan pengikutnya diserang oleh tentara Jepang. Meski sempat melakukan perlawanan, Zainal Mustofa akhirnya bisa ditangkap. Ia pun disiksa dengan kejam hingga akhirnya dihukum mati pada 28 Maret 1945.

  • KH. Zainul Arifin

Di kabupaten Tapanuli, KH Zainul Arifin dilahirkan pada tahun 1909. Ia adalah seorang pejuang yang bergerak aktif di jalur politik dan militer. KH Zainul Arifin wafat pada 2 Maret 1963 dan dimakamkan di Jakarta.

Belajar Agama dan Bekerja

Pendidikan formal yang diperolehnya hanya lulusan Sekolah Dasar. KH. Zainul Arifin melanjutkan pendidikan agama di pesantren. Setelah itu, ia bekerja sebagai pegawai negeri di Gemeente Batavia milik Pemerintah Belanda.

Berjuang di Jalur Politik

Jalur politik mulai digeluti KH. Zainul Arifin ketika ia menjadi anggota Nahdlatul Ulama (NU). Pada zaman pendudukan Jepang, ia aktif di Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan diangkat sebagai kepala bagian umum Masyumi. Pada saat bersamaan, ia mengikuti latihan militer dan diangkat menjadi Panglima Laskar Hizbullah seluruh Indonesia. Laskar Hizbullah bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), untuk mempertahankan kemerdekaan.

Menjadi Ketua DPR

Setelah kedaulatan Indonesia pada tahun 1950, KH. Zainul Arifin diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dan menduduki posisi penting dalam kebinet. Karir politiknya terus menanjak dengan diangkat menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Pengangkatan KH. Zainul Arifin adalah sebagai upaya NU untuk membendung kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) di parlemen tersebut.

Tertembak dan Meninggal Dunia

Pada tahun 1960-an, ekonomi rakyat Indonesia semakin terpuruk. KH. Zainul Arifin pun tertembak di bahu kanan saat melaksanakan shalat Idul Adha, 14 Mei 1962. Tembakan tersebut kemudian diketahui sebagai bentuk ketidakpuasan segolongan orang terhadap Presiden Soekarno. Sebenarnya, tembakan tersebut ditujukan pada presiden, namun meleset dan terkena KH. Zainul Arifin yang berada tepat di sampingnya. Ia sempat dirawat di rumah sakit, tetapi nyawanya tidak dapat diselamatkan.

  • KH. Abdul Wahid Hasyim

Beliau lahir di Tebuireng, Jombang, tanggal 1 Juni 1914 M. Selain mewarisi kebesaran nama sang ayah, KH. Hasyim Asy’ari, Abdul Wahid juga merupakan tokoh penting dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Kegemarannya membaca dan kecerdasan yang luar biasa membuat Abdul Wahid dikenal sebagai tokoh nasional yang memiliki wawasan luas. Tahun 1935, Abdul Wahid mendirikan madrasah modern dengan nama Madrasah Nidzamiyah. Tahun 1936, ia mendirikan Ikatan Pelajar Islam (IPPI) sebagai sarana untuk menambah wawasan pengetahuan dan berlatih berorganisasi untuk para pelajar muslim.

Tahun 1938, Wahid Hasyim mulai terjun dalam pergerakan daan perkumpulan Islam di organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Dalam waktu singkat, ia telah berhasil menduduki jabatan sebagai ketua PBNU.

November 1945, Wahid Hasyim bersama Moh. Rum, Dr. Sukirman, Wiryosandjoyo dan KH. Masykur mendirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Di Masyumi ia sempat menjabat sebagai wakil ketua mendampingi KH. Mas Mansyur yang menjabat sebagai ketua. Wahid Hasyim juga pernah aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah proklamasi kemerdekaan, ia diangkat oleh Soekarno sebagai Menteri Negara.

Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir III, Wahid Hasyim pernah menjabat sebagai Menteri Agama pada tiga kabinet, yakni Kabinat RIS (1949-1950), kabinet Natsir (1950-1951), dan kabinet Sukiman (1951-1952). Setelah NU menarik diri dari Masyumi, Wahid Hasyim membentuk Liga Muslimin Indonesia bekerjasama dengan Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). NU sendiri kemudian berubah menjadi partai politik terbesar ketiga setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi.

Abdul Wahid Hasyim meninggal dunia akibat kecelakaan mobil di daerah Cimindi, jalan antara Cimahi dan Bandung pada hari Ahad, 19 April 1953 dalam usia 39 tahun. Wahid Hasyim oleh pemerintah dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional seperti tertera pada SK Presiden RI No.206/1964.

  • KH. Ahmad Wahab Chasbullah

A. Wahab Chasbullah lahir pada tahun 1888 M di Jombang. Kiai Wahab adalah seorang kiai pesantren yang hidup di awal abad XX di mana ide-ide pembaharuan Islam sedang tumbuh. Meskipun tidak secara total mengadopsi ide pembaharuan Islam tetapi secara substansi, Kiai Wahab sesungguhnya telah mengaplikasikan pemikiran pembaharuan sekaligus menanamkan nasionalisme kebangsaan melalui lembaga pendidikan Nahdlatul Wathan, Tanwirul Afkar, dan menjadi perintis serta pengawal berdirinya NU. Bahkan Kiai Wahab telah memikirkan dan merintis organisasi NU sejak sepuluh tahun sebelum NU secara resmi berdiri. Dengan kata lain sejak tahun 1916 Kiai Wahab telah mempersiapkan langkah-langkah mendirikan NU.

Pada tahun 1914 Kiai Wahab mendirikan Tanwirul Afkar, sebuah organisasi penyalur aspirasi pemuda dan membahas persoalan yang berkembang di masyarakat dari masalah keagamaan, perkembangan dunia internasional, hingga asipirasi akibat cengkeraman penjajah Belanda.

Pada tahun 1916 Kiai Wahab mendirikan Nahdlatul Wathan (NW) atau sekolah kebangsaan. Sekolah ini mengajarkan cinta tanah air, menggelorakan semangat kebangsaan para pemuda terhadap bangsa.

Beliau wafat pada hari Rabu 29 Desember 1971 pukul 10.00 WIB dan dimakamkan pada hari itu juga pada jam 17.00 WIB.

  • KH. As’ad Syamsul Arifin

Kiai As’ad lahir pada tahun 1897 M di Syi’b Ali, Mekkah tatkala kedua orang tuanya sedang menunaikan ibadah haji, tanpa diketahui secara persis tanggal dan bulan kelahirannya. 

Setelah dewasa, pada tahun 1939, Kiai As’ad menikah dengan Siti Zubaidah dan dikaruniai lima orang anak: Siti Zainiyah, Siti Mukarromah, Siti Makkiyah, Siti Isyaiyah dan Ahmad Fawaid. Pada tahun 1968, menikah lagi dengan Zainab dan dikaruniai putra Mohammad Cholil.

Pada masa perjuangan fisik, Kiai As’ad bergabung dengan Laskar Sabilillah yang pernah terlibat kontak senjata dengan Belanda di Mojokerto dan Surabaya. Pada Zaman Jepang, ia pernah berhasil mencuri senjata dan amunisi dari gudang senjata Jepang di Kecamatan Kalisat, Jember. 

Kiai As’ad memiliki banyak cerita suka duka perjuangannya secara fisik melawan Jepang dan terutama saat pertempuran melawan Belanda di Surabaya. Dengan gigihnya Kiai As’ad menghimpun dan mengasuh ribuan pelaku kejahatan di dalam barisan pasukan Sabilillah yang di zaman revolusi menjadi kekuatan untuk melawan penjajah Belanda. Mereka diajak -menurut penuturan Kiai Mujib- dengan janji Kiai As’ad, “Asal kamu mau ikut saya, mau berjuang untuk agama Islam dan negara, dosamu akan saya tanggung di akhirat.”

Perjuangan Kiai As’ad selanjutnya adalah dengan dijadikannya Pesantren Sukorejo sebagai pusat pemerintahan darurat untuk Besuki, sekaligus tempat pengungsian tokoh-tokoh masyarakat, termasuk tentara RI. Jauh sebelum meletusnya G30SPKI, beliau juga seringkali membicarakan langkah-langkah politik Soekarno yang terlalu memberi angin bagi PKI.

Dalam pembentukan Front Pancasila (setelah dilarangnya PKI, 12 Maret 1966), peran Kiai As’ad juga besar. Front Pancasila Pusat dipimpin oleh Subchan ZE, kawan dekat Kiai As’ad. Pembentukan Front Pancasila di Situbondo, sudah barang tentu, juga diwarnai oleh pemikiran-pemikiran Kiai As’ad. Pada tanggal 4 Agustus 1990 bertepatan 12 Muharram 1411, Kiai As’ad tutup usia.

Setelah membaca sepak terjang ulama-ulama kita di atas, dapat disimpulkan bahwa, agama dan nasionalisme layaknya sepasang roda yang terus membawa negeri ini pada persatuan dan perdamaian sebagaimana diharapkan semua kalangan.

Agama saja tidak cukup, tanpa nasionalisme akan tumbuh sifat radikal. Pun nasionalisme saja juga belum cukup, tapa agama, hanya akan terasa kering dari nilai-nilai moral positif yang diajarkan agama.

Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dakwah. Negara pun membutuhkan agama sebagai dasar berpijak yang tidak bisa ditawar.

Referensi

Arya Ajisaka, Mengenal Pahlawan Indonesia, Jakarta: Kawah Media, 2008.

Didi Junaedi, Pahlawan-Pahlawan Indonesia Sepanjang Masa,. Yogyakarta: Kawah Media, 2014.

Jamal Ma`mur Asmani, Tasawuf Sosial: KH. MA. Sahal Mahfud, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2019.

Lathiful Khuluk, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ar, Yogyyakarta: LKIS, 2000.

Lia Nuralia, Iim Imadudin, Kisah Perjuangan Pahlawan Indonesia, Bandung: Ruang Kata, 2010.

Suadi Sa’ad, “Pendidik dan Pejuang Kharismatik Spiritualis (Kajian Sosio-Historis K.H.R Syamsul Arifin)”, http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Edukasia/article/view/1707

Tim Sunrise Picture, 100 Pahlawan Nusantara, Jakarta: Cikal Aksara, 2011.

Umi Masfiah, “Pemikiran Pembaharuan KH Abdul Wahab Chasbullah Terhadap Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)” , http://journal.walisongo.ac.id/index.php/ihya/article/download/1737/pdf

Oleh : Muhamad Abror, Semester III

Leave a Reply