MAHADALYJAKARTA.COM- Buku “The Bugis” oleh Christian Pelras, diterbitkan oleh Blackwell Publishers (Oxford, UK, Cambridge, USA), merupakan karya monumental yang didukung oleh empat puluh tahun penelitian lapangan yang mendalam. Versi Indonesia dari buku ini, yang berjudul “Manusia Bugis”, bukan sekadar terjemahan, tetapi telah diperbarui dengan sebaik mungkin, terutama dalam hal bibliografi. Terdapat tambahan signifikan seperti bab tentang sastra Bugis (baik lisan maupun tulisan), daftar nama tokoh, serta perumusan dan terminologi bahasa Bugis yang mencakup budaya, hukum adat, adat istiadat, dan aspek keagamaan. Selain itu, termasuk pula istilah-istilah teknis yang berkaitan dengan penangkapan ikan, pertanian, tenun, pertukangan besi, dan berbagai bidang lainnya.
Buku ini menjadi sumber rujukan utama yang pertama dan paling komprehensif mengenai sejarah masyarakat Bugis, mulai dari zaman prasejarah 40.000 tahun lalu yang memberikan asal-usul bagi leluhur masyarakat Bugis, hingga masa peradaban awal dan masa kini, terutama periode masuknya masyarakat Bugis ke era ketiga.
Salah satu tujuan utama dalam penulisan “Manusia Bugis” adalah untuk menjernihkan pemahaman yang umumnya disalahartikan mengenai masyarakat Bugis, baik oleh mereka yang tinggal di Sulawesi Selatan maupun di luar daerah tersebut. Buku ini berusaha mengklarifikasi beberapa persepsi populer, seperti citra masyarakat Bugis dalam legenda dan fiksi modern. Misalnya, stereotip yang menyamakan orang Bugis dengan niagawan budak atau bajak laut, yang sering kali disajikan seolah-olah itu adalah satu-satunya profesi alamiah yang dapat dijalankan oleh masyarakat Bugis.
Orang Bugis, sejak berabad-abad, telah menjadi salah satu suku yang paling kurang dikenali di Nusantara. Ironisnya, dari sekian banyak informasi yang beredar tentang mereka, sebagian besar ternyata keliru. Salah satu anggapan populer yang salah adalah “nenek moyangku seorang pelaut”. Anggapan ini berasal dari banyaknya perahu Bugis yang terlihat di berbagai wilayah Nusantara pada abad ke-19. Namun, pada dasarnya, orang Bugis adalah petani. Aktivitas maritim mereka baru berkembang pada abad ke-18 Masehi, dan perahu pinisi, yang sering dianggap berusia ratusan tahun, ternyata baru ditemukan pada akhir abad ke-19 hingga dekade 1930.
Buku ini berupaya untuk mengoreksi anggapan yang keliru seperti ini, sebagaimana yang ditekankan oleh Richard Leakey, seorang pakar terkenal dalam asal-usul manusia. Menurutnya, orang Bugis adalah bagian dari umat manusia yang nenek moyangnya adalah peramu dan pemburu, yang kemudian berkembang menjadi spesies modern melalui kemampuan adaptasi, kecakapan teknologis, pembentukan bahasa, seni, dan sistem nilai.
Secara sosio-historis, masyarakat Bugis, terutama di Sulawesi Selatan, merupakan kelompok yang istimewa. Mereka berbeda tidak hanya secara geo-ekologis tetapi juga dalam sejarah sosial mereka. Wilayah timur Nusantara, geologis dan ekologisnya termasuk dalam keluarga besar Austronesia, sementara wilayah barat Nusantara lebih terkait dengan Asia. Orang Bugis adalah contoh langka di Nusantara karena mampu mendirikan kerajaan-kerajaan tanpa pengaruh dari India dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat kegiatan mereka.
Orang Bugis memiliki tradisi kesusastraan yang kaya, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, yang menghasilkan karya monumental dari peradaban Bugis yang dikenal sebagai warisan Nusantara, yaitu Sureq I La Galigo. Karya ini adalah epos terpanjang di dunia, melampaui panjangnya epos perang saudara Mahabharata (India). I La Galaligo merupakan rangkaian wiracarita yang mengisahkan penciptaan peradaban Bugis, ditulis antara abad ke-13 hingga abad ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis dengan menggunakan aksara Lontara kuno. Karya ini memaparkan asal-usul kehidupan manusia sebelum Islamisasi, bersifat epik-mitologis, dan terdiri dari 12 jilid yang mencakup enam ribu halaman dan tiga ratus ribu bait syair.
Secara umum, sejarah sosio-kultural orang Bugis dapat dibagi ke dalam delapan periode. Periode pertama adalah periode Proto-Bugis, yang mencakup awal kemunculan mereka hingga sepanjang milenium pertama Masehi. Ini dapat disebut sebagai periode Proto-Bugis-Luwu’-Makassar-Mandar-Masenrempulu-Toraja, atau Proto BLMMMT.
Periode kedua adalah periode Bugis awal yang digambarkan dalam teks La Galigo sebagai masa keemasan yang terkait dengan ekspansi mereka baik di antara pulau-pulau Nusantara maupun secara internasional, yang kemudian menghasilkan berbagai kerajaan seperti Luwu’, Soppeng, dan Suppa. Para penguasa dinasti tersebut saling terhubung melalui hubungan perkawinan dan kesamaan ideologi tentang asal-usul mereka sebagai keturunan dewata. Meskipun demikian, teks La Galigo tidak sepenuhnya mencerminkan periode awal Bugis secara akurat, karena cenderung melebih-lebihkan dan mengandung unsur anakronisme. Namun, karya ini tetap membantu dalam rekonstruksi kondisi sosio-kultural orang Bugis pada periode sekitar abad ke-11 hingga abad ke-13.
Periode ketiga dalam sejarah sosio-kultural orang Bugis terjadi selama proses peralihan menuju kondisi baru, yang mungkin dimulai pada akhir abad ke-14 hingga penghujung abad ke-16. Pada periode ini, terjadi perubahan signifikan dalam politik dan ekonomi di kawasan Nusantara, seperti perubahan kondisi alam di Sulawesi Selatan, pertumbuhan pesat penduduk, perkembangan teknologi budidaya padi, dan ekspansi wilayah ke berbagai kerajaan yang diikuti dengan pembukaan lahan besar-besaran dan pembangunan pemukiman baru.
Periode keempat, yang berlangsung sekitar tahun 1600 hingga 1669, ditandai dengan proses Islamisasi masyarakat Sulawesi Selatan dan berakhir dengan pendudukan Belanda di Makassar. Ini adalah masa persaingan sengit antara dua kerajaan utama, yaitu kerajaan Goa dan Bone, dalam perebutan kekuasaan di semenanjung Sulawesi Selatan. Meskipun kerajaan Makassar (Goa) awalnya meraih banyak kemenangan, dominasinya dihentikan oleh orang Bugis (kerajaan Bone) dengan dukungan Belanda. Periode ini juga menyaksikan dominasi awal armada pelayaran Bugis, Makassar, dan Mandar di perairan Nusantara, yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama.
Periode kelima, dikenal sebagai periode Bugis klasik, berlangsung dari akhir abad ke-17 hingga akhir abad ke-18. Pada masa ini, kehadiran Belanda menyebabkan kondisi politik Sulawesi Selatan relatif stabil, meskipun masih terdapat gangguan di beberapa daerah. Periode ini juga ditandai dengan aktivitas penting dalam bidang kesusastraan, penyebaran ajaran Islam, pengembangan jaringan perdagangan laut, dan migrasi besar-besaran penduduk Bugis ke luar Sulawesi Selatan. Hal ini mengarah pada posisi elite kelas menengah para pedagang yang memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat Bugis pada masa mendatang.
Periode keenam dalam sejarah sosio-kultural orang Bugis terjadi pada abad ke-19, ditandai oleh dua ciri utama. Pertama, meningkatnya tekanan kolonial Belanda terhadap beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan. Kedua, meningkatnya ketergantungan terhadap ekonomi global. Pada periode ini, dikembangkan berbagai jenis tanaman pasar di wilayah Sulawesi Selatan dan di tempat-tempat yang dihuni oleh perantau Bugis. Selain itu, peran penting dimainkan oleh pedagang kelas menengah dengan pola pikir modern dan berorientasi Islam.
Periode ketujuh singkat, berlangsung dari tahun 1906 hingga 1949, mencakup masa penjajahan yang sebenarnya, termasuk pendudukan Jepang dan masa kemerdekaan Indonesia. Meskipun sistem pemerintahan kolonial tampaknya mengokohkan institusi tradisional feodalistik yang ada, sebenarnya ini merupakan transformasi menuju kehidupan masyarakat dengan sistem pemerintahan yang modern. Pada masa ini, juga terjadi penyebaran pendidikan dan kemampuan membaca-tulis yang menjadi cikal bakal tumbuhnya elite masyarakat Sulawesi Selatan dewasa ini.
Periode kedelapan hingga sekarang, orang Bugis di Sulawesi Selatan dan di luar menjadi warga negara Indonesia. Meskipun sebagian besar tetap tinggal di pedesaan dengan pekerjaan utama sebagai petani, nelayan, atau pelaut, semakin banyak yang menetap di kota-kota besar seperti Makassar, Jakarta, dan Surabaya. Meskipun tidak lagi memiliki banyak persamaan dengan nenek moyang mereka, mereka tetap orang Bugis dengan kebanggaan akan warisan budaya mereka.
Sepanjang sejarah sosio-kultural mereka, orang Bugis memiliki ciri khas yang melekat pada mereka dari masa ke masa. Salah satunya adalah kecenderungan untuk selalu mencari peluang ekonomi yang lebih baik di mana pun mereka berada. Mereka juga dikenal dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa terhadap lingkungan dan situasi yang dihadapi, bahkan memberi warna tersendiri pada lingkungan baru mereka. Dengan pandangan yang sering kali berlawanan, mereka menjunjung tinggi kehormatan diri dan solidaritas terhadap sesama orang Bugis, didorong oleh nilai-nilai seperti keberanian, kecerdasan, ketaatan terhadap agama, dan kelihaian berbisnis. Hal-hal ini menjadi pendorong utama dalam perkembangan kehidupan mereka yang dinamis dan penuh keberanian di masa yang akan datang.
Kontributor: Nurul Zakinah, Semester IV
Editor: Siti Yayu Magtufah