Bumi yang terhampar begitu luas mengelilingi permukaannya sangatlah tidak pantas untuk dibandingkan dengan pemikiran yang kita miliki. Hal ini dikarenakan keterbatasan akal yang kita miliki untuk berpikir lebih jauh tentang seberapa jauh atau luas bumi ini. Hal ini kemudian menjadikan alasan beberapa orang mempunyai tekad untuk mengetahuinya. Pada masa abad 15 M, terhitung banyak tokoh penjelajah yang berhasil melakukan perjalanan menjelajahi bumi ini, seperti contoh yaitu Marco Polo, Ibnu Jubayr, Ibnu Battutah, Ferdinand Magelhaens, Vasco da Gama dan lain sebagainya. Disini penulis akan mengisahkan salah satu dari mereka, yakni ia seorang pengembara muslim, Ibnu Battutah.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdallah Muhammad ibn Abdallah ibn Muhammad ibn Ibrahim al Lawati ibn Battutah. Ia lahir pada tanggal 25 Februari 1304 M di kota Tangier, Maroko. Sementara itu, pendapat lain dari Ibnu Juzay berkata, “Di kota Granada, Ibnu Bathuthah mengabarkan padaku bahwa ia dilahirkan di kota Thanjah (Tangier) pada hari Senin, 17 Rajab 703 H/1303 M”. Ia dilahirkan dan dibesarkan oleh keluarga yang merupakan anak keturunan suku Berber. Hal ini menyebabkan keluarga ia menjadi golongan keluarga yang cukup terpandang bagi masyarakat sekitarnya.
Ketika usianya remaja, ia telah menerima pengajaran ilmu hukum dari seorang faqih atau qadhi. Ilmu pengetahuan yang ia terima merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi seorang anggota keluarga ahli hukum. Hal ini dikarenakan seorang pemuda yang lahir dari sebuah keluarga yang bermartabat akan diberi semangat untuk memotivasi ia agar bisa berusaha untuk menerima pengajaran yang maju dalam ilmu pengetahuan agama.
Dalam bukunya Rihla, ia bercerita bahwa pada hari Kamis, 2 Rajab 725 H/1325 M, ia meninggalkan kedua orang tuanya yang masih hidup dan kota asalnya Tangier untuk bergabung dengan karavan jalan safari yang bermaksud melaksanakan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah saw. Ia merasa bergairah untuk memulai belajar dan mencari lebih banyak petualangan. Hingga akhirnya ia sampai di kota Aljir dan melihat lautan luas untuk pertama kalinya. Dalam perjalanan itu, ia pernah jatuh sakit ketika berada di Bijaya. Salah seorang temannya, Al Zubaydi menyarankan agar beristirahat sejenak di kota tersebut. Akan tetapi, Ibn Battutah tetap bersikeras untuk melanjutkan perjalanan itu. Tidak kuasa menahan tekad temannya, al Zubaydi memberikan hewan tunggangan miliknya dan mengisyaratkan ia agar mengurangi barang bawaannya itu. Hal ini dikarenakan agar hewan tunggangannya semakin cepat dan ringan ketika melangkah.
Akhirnya, pada akhir musim dingin atau musim semi tahun 1326 M, rombongan itu telah sampai kota Iskandariyah yang berada di ujung barat delta Nil. Dan ketika rombongan tersebut melintasi Afrika Utara, rombongan ini dapat menyelesaikannya dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan kelompok yang lainnya, yang meliputi jarak 2.000 mil dalam kurun masa 8 atau 9 bulan.
Setelah singgah di Kairo, ia melanjutkan perjalanan menuju Yerusalem dan Damaskus untuk memperluas pengetahuan ia tentang ilmu keagamaan. Rute jalan utama dari Kairo ke Damaskus berupa jalan raya kerajaan. Hal ini disebabkan Damaskus ibarat ibukota kedua bagi pemerintahan Suriah. Akan tetapi, saat menuju Damaskus ia malah melalui jalur opsional yang lain dari Gaza, Pelabuhan Levant, Dataran Tinggi Yudea, Hebron, Yerussalem sebelum akhirnya sampai ke Damaskus. Setelah melakukan perjalanan 23 hari dari Kairo, akhirnya ia tiba di kota Damaskus pada tanggal 9 Agustus 1326 M/9 Ramadhan 726 H.
Dalam Buku Petualangan Ibnu Battuta, karya Ross E. Dunn yang diterjemahkan oleh Amir Sutaarga, menjelang kepergian Ibn Battutah ke kota Mekkah, ia sempat mengalami krisis keuangan dan kembali jatuh sakit. Hal ini sempat menjadikan dirinya putus asa akan dapat pergi ke Mekkah pada tahun itu. Hingga akhirnya, seorang ahli hukum madzhab Maliki datang menolongnya ketika sakit dan memberikan tumpangan untuk singgah dirumahnya. Hal ini ia ceritakan dalam bukunya yang berjudul Rihla, “menyewakan unta-unta dan memberi aku bekal persediaan perjalanan dan sebagainya, dan uang sebagai tambahan.” Serta berkata padaku, “Itu akan berguna bagi setiap hal penting yang mungkin diperlukan, semoga Tuhan memberikan pahala-Nya”.
Pada tanggal 1 September 1326 M, Ibnu Battutah berangkat menuju Mekkah bersama karavan haji yang lain. Hingga akhirnya mereka sampai di Mekkah pada pertengahan Oktober 1326 M setelah menempuh jarak kira-kira 820 mil. Mereka kemudian melangsungkan ihram dan kemudian berjalan melalui perbukitan Hijaz, garis pantai Rabigh, hingga akhirnya mencapai Mekkah. Ia langsung memanfaatkan waktu tiga minggu kosong sebelum upacara haji dimulai untuk bergaul dengan penduduk setempat, yang mayoritas adalah orang-orang Maghrib (Maroko). Setelah upacara haji dimulai, ia melakukan setiap ritual tersebut.
Tanggal 17 November 1326 M/20 Dzulhijjah 726 H, Ibn Battutah bersama para karavan haji yang kembali ke Irak berkemas untuk melanjutkan perjalanan ke Persia. Iringan tersebut adalah kelompok karavan resmi dari negara Ilkhanid. Ia bernasib baik disini karena mendapat perlindungan dari Pehlewan Muhammad al Hawih, yang juga membayar dompetnya. Hal ini ia lakukan karena ia mengayomi terhadap setiap pelajar dalam kawanan peziarah, khususnya apabila mereka diperlukan. Mereka sempat istirahat selama beberapa hari al Najaf, kota tempat kuburan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. Dari al Najaf, mereka melanjutkan perjalanan menuju Bashra.
Pada akhir bulan Januari 1327 M, karavan peziarah tersebut telah sampai di kota Bashra. Dari Bashra, ia berlayar sejauh 10 mil menyusuri parit Ubulla hingga berakhir di muara Sungai Tigris yang berada di Teluk Arab. Kemudian, ia berpindah ke perahu kedua untuk berlayar menuju Abadan selama semalam. Setelah menginjak daratan Abadan, ia berencana untuk melanjutkan perjalanan ke kota Baghdad. Dalam hal ini, ia membuat suatu perjalanan panjang ke arah Timur Mesopotamia melalui wilayah Persia Jibal, atau biasa disebut Iraq al Ajamy. Setelah berjalan melalui Machul, Dataran Khuzistan, Ramhormoz Ramiz, Shustar dan Idzhaj, ia berhasil mencapai kota Isfahan dan menetap bersama Quthb al Din.
Setelah singgah di Isfahan, ia kembali mengembara sejauh 300 mil menuju kota Shiraz. Pada zaman pertengahan, beruntung kota itu terlepas dari nafsu kekuasaan pasukan Mongol. Hal ini dikarenakan cuaca yang sangat panas dan terlalu jauh dari pusat utama Tartar yang berada di Azerbaijan. Setelah sampai di Shiraz, ia berkeinginan untuk menemui seorang qadhi kepala di kota tersebut, yang bernama Majid al Din. Ditemani tiga kawannya, ia pergi untuk kunjungan kehormatan menemui Majid al Din. Di tempat ini, ia juga mengunjungi masjid-masjid dan juga kuburan orang-orang Shiraz, termasuk Sa’di, seorang penyair terkenal dan Abu Abdallah ibn Khafif, yang merupakan pencetus Sufisme Persia.
Ibn Battutah memutuskan untuk memutar balik ke arah barat dan untuk sekali lagi kembali ke kota Baghdad. Ia kembali menyusuri Pegunungan Zagros dan kota kecil Kazarun, kemudian ke dataran Khuzistan, pelabuhan Machul, tanah rawa Mesopotamia. Setelah kisaran 5-6 minggu, akhirnya ia sampai di Kufa setelah meninggalkan Shiraz. Kemudian dari Kufa, ia melalui puing-puing kota Babylonia Purba dan Karbala. Pada kira-kira minggu pertama bulan Juni 1327 M, ia berhasil mencapai Sungai Tigris.
Dalam imajinasinya, ia membayangkan akan pergi ke tempat itu untuk menghormati masa lalunya dan melihat kota Baghdad dengan keindahannya yang megah dan bangunan tinggi yang menjulang. Namun realitanya, ia menemukan keadaan kota dengan suasana yang menyedihkan dihiasi puing-puing bangunan yang hancur, sisa kebrutalan pasukan Mongol di bawah kuasa Hulagu Khan yang sebelumnya telah datang menghancurkan Baghdad dengan berdalih adanya program pemulihan kepemerintahan. Ibnu Battutah melukiskan mengenai gambaran kota ini dengan diiringi ucapan pernyataan penuh duka dari pendahulunya, Ibnu Jubayr pada abad 12 M.
Kenyataannya tidak semuanya seburuk itu, rasa duka kota itu mulai menghilang secara berangsur. Kota itu mulai kembali berkembang dengan cepat dan menjadi ibukota provinsi di wilayah Mesopotamia. Namun, sejak itu Baghdad bukan lagi menjadi tempat pemberhentian yang penting bagi para pengunjung wisata di Timur Tengah.
Oleh : Ma’mun Fuadi, Semester IV