Perjalanan Hidup Panglima Perang: Khalid bin Walid
MAHADALYJAKARTA.COM- Siapa yang tidak kenal dengan Khalid bin Walid? Panglima perang Islam yang sangat hebat dan tidak pernah kalah dalam memimpin peperangan, sehingga Khalid bin Walid dijuluki dengan gelar Saifullah Al-Maslul yang berarti pedang Allah yang terhunus. Khalid bin Walid lahir di Mekkah pada tahun 592 Masehi. Ia merupakan anak dari pasangan Lababah As-Shaghra binti Al-Harits bin Harb dan Al-Walid bin Mughirah yang berasal dari Bani Makhzum, salah satu marga terkemuka di kalangan suku Quraisy.
Al-Walid terkenal sebagai orang yang kaya raya dan dermawan. Ia memiliki kebun buah-buahan yang membentang dari Mekkah sampai Thaif. Selain itu, Al-Walid juga sangat menghormati Ka’bah. Ia mengganti kain penutup Ka’bah setiap dua tahun sekali dan memberi makan para jamaah haji yang berkumpul di Mina.
Pada suatu hari, Al-Walid masuk ke Masjidil Haram. Saat itu, Nabi Muhammad sedang membaca Al-Qur’an. Al-Walid segera menghampiri Nabi lalu mendengarkan bacaannya. Nabi Muhammad yang menyadari kedatangan Al-Walid sengaja mengeraskan bacaannya. Setelah mendengar ayat Al-Qur’an yang dibaca Nabi, Al-Walid keluar dari Masjidil Haram dan berkata kepada orang-orang, “demi Tuhan, sesungguhnya saya telah mendengar apa yang dibaca oleh Muhammad. Dan itu bukanlah perkataan manusia ataupun jin. Demi Tuhan, bahasanya sangat indah dan tiada yang dapat menyamainya.” Namun, sampai akhir hidupnya, Al-Walid tidak sampai memeluk agama Islam.
Baca Juga:
Khalid bin Walid, Jendral Perang Terhebat Sepanjang Sejarah
Kehidupan Khalid bin Walid
Sebagaimana tradisi masyarakat Quraisy saat itu, Khalid dipisahkan dari ibunya dan dikirim ke salah satu kabilah di gurun pasir pedalaman. Di sana ia diasuh, disusui, dan dirawat oleh seseorang. Udara gurun pasir yang bersih membuat Khalid bin Walid memiliki daya imun dan kesehatan yang baik. Setelah berusia enam tahun, ia kembali ke rumah kedua orang tuanya di Mekkah.
Pada masa kanak-kanaknya, Khalid menderita cacar, namun penyakit tersebut tidak menyebabkan kelumpuhan padanya. Hanya saja, bekas-bekas seperti jerawat muncul di wajahnya, meskipun tidak mempengaruhi penampilannya secara signifikan. Ketika memasuki usia remaja, Khalid bin Walid merasa sedikit sombong karena ia adalah putra seorang pemimpin dan tokoh utama Bani Makhzum, salah satu bani terpopuler dan terkuat di kalangan suku Quraisy. Ia mengerahkan segenap daya dan kemampuannya untuk belajar berkuda dan mempelajari berbagai strategi berperang. Dengan demikian, Khalid menjadi pemuda yang tangkas dan ahli dalam berperang.
Berdasarkan silsilahnya, Khalid bin Walid merupakan saudara dekat Rasulullah SAW karena bibinya, Sayyidah Maimunah, menikah dengan Rasulullah. Di sisi lain, Khalid juga merupakan sepupu dari Umar bin Khattab. Usia mereka tidak jauh berbeda, dan mereka memiliki kemiripan dalam wajah, postur tubuh, dan tinggi badan, meskipun Umar sedikit lebih tinggi daripada Khalid.
Suatu ketika, Khalid dan Umar bergulat dengan sengit sehingga menyebabkan tulang betis Umar patah. Dalam pergulatan tersebut, Khalid berhasil mengalahkan Umar, meskipun Umar lebih tinggi. Seiring berjalannya waktu, betis Umar sembuh dan kembali seperti semula, kuat dan tampak kokoh. Keduanya terus mengembangkan kemampuan bergulat mereka agar menjadi pejuang yang tangguh dan tetap bersahabat.
Baca Juga:
3 Strategi Jitu Khalid bin Walid di Mu’tah
Keterampilan Khalid bin Walid
Khalid bin Walid memiliki keterampilan luar biasa dalam menggunakan berbagai persenjataan. Dari berbagai senjata yang mampu ia gunakan, ia paling unggul dalam menggunakan tombak di atas punggung kuda. Begitu juga pedang, yang dianggap masyarakat Arab sebagai senjata utama dalam perang karena mendekatkan dua orang yang bermusuhan untuk saling beradu. Dengan segala kemampuannya, Khalid menjadi komandan militer ternama.
Hari demi hari, Khalid terus mengasah kemampuannya. Ketika mencapai usia dewasa, titik utama perhatiannya tertuju pada perang. Kemahiran dan keberaniannya yang mengagumkan, serta ide-ide cemerlangnya mengenai taktik berperang, diperoleh dari banyaknya pengalaman dalam menghadapi berbagai pertempuran dan meraih kemenangan. Semua itu mampu diraih Khalid pada masa Jahiliyyah, sehingga orang-orang yang menyaksikannya langsung berpikir bahwa Khalid adalah seorang ahli dalam seni kemiliteran. Dengan semua keahlian dan pengalamannya, Khalid mampu menjadi pemimpin suku Quraisy yang disegani.
Masuk Islamnya Khalid bin Walid
Awal mula Khalid bin Walid masuk Islam ialah ketika ia menjadi panglima pasukan Quraisy melawan pasukan Muslim dalam Perang Uhud. Saat itu, kondisi pasukan Quraisy sudah hampir kalah. Pasukan Muslim pun serentak turun dari Gunung Uhud untuk berebut mengambil harta rampasan perang atau biasa disebut ghanimah. Di situ, Khalid melihat celah kelemahan pasukan Muslim dan langsung menyerang mereka sehingga akhirnya kemenangan berada di tangan pasukan Quraisy.
Namun, setelah berhasil memenangkan Perang Uhud, Khalid berkata, “Aku telah menyaksikan tiga perang yang semuanya melawan Muhammad. Di setiap pertempuran yang kusaksikan, aku pulang dengan perasaan bahwa aku berada di sisi yang salah dan Muhammad pasti akan menang.” Hatinya semakin tersentuh setelah menerima surat dari saudaranya, Walid bin Al-Walid, yang sudah terlebih dahulu masuk Islam. Walid mengingatkan Khalid bahwa banyak kesempatan baik yang terlewat olehnya. Dengan demikian, Khalid memutuskan untuk masuk Islam.
Tepatnya pada bulan Safar tahun 8 Hijriah, selama masa gencatan senjata setelah Perjanjian Hudaibiyah, Khalid bersama Amr bin Ash dan Utsman bin Thalhah menemui Nabi Muhammad untuk memeluk Islam. Khalid meminta kepada Nabi agar dimohonkan ampun kepada Allah SWT. Lantas Nabi berdoa, “Ya Allah, aku mohon agar Engkau mengampuni Khalid atas tindakannya menghalangi jalan-Mu pada masa lalu.”
Nabi pun sangat senang dengan masuk Islamnya Khalid karena Khalid adalah orang yang tangguh dan penuh prinsip ketika berperang.
Setelah Khalid masuk Islam, Nabi Muhammad menjadikannya sebagai panglima perang Islam. Khalid memimpin beberapa pertempuran penting, antara lain Perang Mu’tah, Fathu Makkah, Perang Hunain, Pengepungan Thaif, Perang Tabuk, dan Haji Wada’. Perang pertama yang diikuti Khalid setelah masuk Islam adalah Perang Mu’tah. Dalam perang ini, Khalid menyusun kembali pasukan Muslim yang porak-poranda akibat kehilangan para pemimpinnya. Ia menciptakan insiden-insiden kecil untuk mengulur waktu hingga malam hari dan menggunakan kamuflase pasukan sebagai bagian dari taktik perangnya. Khalid tidak pernah kalah dalam memimpin peperangan; semua perang yang dipimpinnya selalu dimenangkan.
Penghancuran Patung ‘Uzza oleh Khalid bin Walid
Patung ‘Uzza terletak di daerah Nakhlah dan sangat diagungkan oleh suku Quraisy, Kinanah, dan Mudhor. Rasulullah SAW mengutus Khalid bin Walid untuk menghancurkan patung ‘Uzza. Ketika penjaga patung ‘Uzza dari Bani Sulaim mendengar bahwa Khalid sedang menuju ke sana untuk menghancurkannya, ia segera naik ke atas bukit terdekat seraya berkata, “Wahai ‘Uzza, siapkan dirimu, tiada selainmu yang mampu menghadang Khalid bin Walid yang telah siaga. Siapkan dirimu, karena jika engkau tidak membunuh Khalid, niscaya engkau akan ditimpa dosa yang dekat dan tak berdaya.”
Setelah Khalid sampai di sana, ia segera menghancurkan patung ‘Uzza. Setelah kembali, Rasulullah bertanya kepadanya, “Apa yang engkau lihat?”
Khalid menjawab, “Aku tidak melihat apa-apa.”
Rasulullah menyuruhnya untuk kembali ke sana. Ketika Khalid sampai di tempat itu, dari dalam ruangan tempat patung ‘Uzza dihancurkan, keluarlah seorang wanita hitam yang menguraikan rambutnya sambil menaburkan tanah ke kepala dan mukanya. Khalid segera mengayunkan pedangnya dan berakhirlah hidup wanita hitam itu. Khalid pun berkata, “Wahai ‘Uzza, engkau dikufuri dan tidak suci. Aku melihat Allah telah menghinakanmu.”
Kemudian, Khalid menghancurkan ruangan tempat patung itu dan mengambil seluruh harta yang ada di sana. Setelah itu, ia kembali dan menceritakan kepada Rasulullah semua hal yang terjadi. Rasulullah bersabda, “Itulah ‘Uzza dan ia tak akan pernah disembah lagi untuk selama-lamanya.”
Dipecatnya Khalid bin Walid
Khalid menjadi panglima perang kaum Muslimin dari masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan berlanjut ke pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Dikisahkan bahwa saat itu, Khalifah Umar memberikan tugas yang sangat berat kepada Khalid, yaitu menaklukkan kekuasaan Persia, sebuah Imperium besar yang dalam sejarahnya pernah menaklukkan Kerajaan Romawi. Namun, Khalid mampu menaklukkan Persia di bawah perintah Umar bin Khattab. Keberhasilan menaklukkan Persia disambut dengan pesta gemilang oleh seluruh pasukan.
Namun, Khalifah Umar tiba-tiba memecat Khalid dan menggantikannya dengan Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, sehingga membuat kaum Muslim terhenyak. Menurut buku “Berangkat dari Pesantren” karya KH Saifuddin Zuhri, Khalifah Umar memecat Khalid karena khawatir melihat gejala pemujaan yang berlebihan terhadap Khalid oleh rakyat.
Sang Khalifah juga memikirkan kepentingan pribadi Khalid, karena gejala tersebut bisa memengaruhi moral dan mental Khalid sebagai manusia yang bisa terlena. Namun, Khalid tidak merasa marah sedikit pun. Sebaliknya, ia ikhlas menerima keputusan tersebut karena ia tahu bahwa apa yang dilakukan Khalifah Umar pasti untuk kebaikan Khalid sendiri. Khalid pun tetap setia mendampingi Khalifah Umar yang dikenal dengan ketegasannya.
Wafatnya Khalid bin Walid
Pada tahun 21 Hijriyah, panglima Khalid wafat ketika usianya telah mencapai 58 tahun. Khalifah Abu Bakar pernah berkata, “Tidak ada lagi wanita yang dapat melahirkan anak seperti Khalid bin Walid.”
Khalifah Umar juga berkata, “Khalid sudah menjadi raja dengan sendirinya. Tuhan merahmati Abu Bakar karena dia lebih mengenal Khalid daripada saya.”
Abu Hurairah mengatakan bahwa pada suatu hari saya dan Rasulullah SAW berhenti di satu tempat dan orang ramai berjalan di depan kami. Rasulullah bertanya nama-nama mereka yang melalui tempat itu. Kemudian muncul seorang lelaki, lalu Rasulullah bertanya, “Siapakah itu?” Saya menjawab, “Itulah Khalid bin Walid.” Baginda bersabda, “Hamba Allah itu adalah pedang daripada pedang-pedangnya Allah.”
Referensi:
A.R., Shohibul Ulum, Khalid bin Walid: Menyelami Kisah Heroik Sang Pedang Allah yang Tak Terkalahkan. Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia, 2023.
Ula, Maulidya Hanatul, Sang Panglima Tak Terkalahkan Khalid Bin Walid, Surabaya: CV Media Edukasi Creative, 2022.
Manshur, Abdul Hakim, Khalid bin Walid Saifullah Al-Maslul, Jakarta: Dar Al-Kitan Al-Arabi, 2010.
Wisnu, Tanggap Prabowo, The Art of War Khalid bin Walid: Seni Memenangkan Peperangan. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2021.
Latip, Talib Abdul, Khalid Al-Walid Memburu Syahid, Malaysia: PTS Litera utama, 2010.
Jafar, Udi, Khalid bin Walid, https://id.scribd.com/document/337968529/Khalid-bin-walid, diakses pada Senin, 25 Maret 2024, pukul 20:30 WIB.
Febriani, Anisa Rizki, Kisah Khalid bin Walid: Sahabat Nabi Yang Dijuluki Pedang Allah, https://www.detik.com/hikmah/kisah/d-6547222/kisah-khalid-bin-walid-sahabat-nabi-yang-dijuluki-pedang-allah, diakses pada Selasa, 26 Maret 2024, pukul 01:15 WIB.
Kontributor: Fi’liyah, Semester II
Editor: Siti Yayu Magtufah