Kata distorsi dalam pandangan Islam, yaitu tahrif. Tahrif sendiri secara bahasa berarti mencondongkan atau memiringkan. Secara istilah berarti menggantinya dan atau dapat dikatakan merubah makna. Maka secara istilah dapat dikatakan bahwa tahrif adalah usaha penyelewengan data, baik merubah makna atau merubah lafadz. Kata pendistorsian sejarah atau penyelewengan sejarah rasanya sudah tidak asing lagi didengar, seperti yang kita ketahui bahwa semakin majunya zaman, semakin marak penyelewengan-penyelewengan sejarah yang terjadi di masa lampau yang terungkap, dan juga semakin banyaknya fakta-fakta baru yang ditemukan saat ini. Distorsi sejarah Islam sendiri terjadi sejak masa awal penulisan sejarah Islam. Ada berbagai distorsi sejarah yang telah menyebar di berbagai elemen tanpa disadari oleh berbagai pihak.
Di Indonesia terdapat beberapa kisah yang dianggap telah didistorsikan dari masa kolonial Belanda, seperti yang dijelaskan oleh Zainal Abidin bin Syamsyuddin dalam bukunya Fakta Baru Walisongo. Diceritakan bahwa ketika Sunan Bonang membunyikan alat musik yang bernama Bonang, suaranya menggema dan terdengar sangat merdu sehingga membuat orang-orang yang mendengar pada masa itu masuk Islam.
Selain itu dijelaskan pula dalam Api Sejarah karya Ahmad Mansur Suryanegara bahwa, kisah Walisongo sebagai tokoh penyebar Islam di Jawa didistorsikan atau diselewengkan sejarahnya dengan berbagai dongeng. Tokoh Walisongo dituturkan sebagai ulama yang tingkah laku ibadahnya menyerupai Brahmana-Hindu dan Biksu para Budha. Dengan kata lain, Walisongo didongengkan atas nama Islam tetapi ajarannya tetap Hindu-Budha. Padahal sudah jelas bahwa antara dongeng yang ada dengan realita keaslian sejarahnya, Walisongo tidak demikian.
Maka sudah jelas cerita rakyat tersebut perlu diluruskan, karena akan berdampak kepada para pembaca. Penulisan sejarah Walisongo yang bercorak Hindu-Budha melahirkan aliran kejawen di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Sedangkan di Jawa Barat, aliran kesunden yang menolak ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka karena hal demikian mereka akan lebih mengutamakan ajaran “leluhur atau nenek moyang”. Kemudian tingkah laku selanjutnya yaitu meninggalkan ajaran Islam. Dampak demikian menurut Lucian W. Pye dalam Sautheast Asia’s Politikal Systems, memang menjadi target dan strategi pemerintahan kolonial Belanda.
Dalam hal ini, terlihat juga adanya target lain yang diharapkan oleh kolonial Belanda, yaitu hilangnya kesadaran umat Islam dalam menguasai pasar. Mereka akan menuliskan sejarah Indonesia yang telah didistorsikan (diselewengkan). Banyak orang yang tidak menyadari bahwa dalam penulisan sejarah ini dijadikan oleh para penjajah untuk mengubah cara pandang, cara berpikir generasi muda Islam di Indonesia tentang bagaimana sejarah di masa lalu, dan bagaimana perjuangan bangsanya. Dalam hal ini pasar dijadikan incaran kolonial Belanda, karena pasar merupakan gerbang islamisasi khususnya di Indonesia, meskipun sebagian pihak ada yang memperkirakan bahwa pasar hanya sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan materi. Namun dapat dilihat bahwa Islam juga masuk ke Indonesia melalui perdagangan oleh para pendakwah yang pastinya melalui pasar-pasar pada masa itu.
Proses menghilangkan kesadaran para umat Islam dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga mereka akan lebih mudah masuk ke dalam akses menguasai sistem penulisan sejarah. Sedangkan sejarah sendiri, memiliki peran penting dalam suatu negara. Kolonial Belanda pun bermaksud memadamkan pergerakan Islam yang memiliki peran sangat penting dalam peradaban di Indonesia.
Salah satu tujuan para penjajah menguasai pasar adalah mempertahankan jajahannya dengan strategi mematahkan potensi pasar yang dikuasai umat Islam. Dilihat dari segi fungsinya, pasar memiliki berbagai macam fungsi yakni; sebagai tempat jual-beli barang atau kebutuhan materi, tempat pertukaran bahasa, ekonomi, politik, ideologi, sosial dan budaya, serta menjadi ruang yang berpengaruh besar dalam penyebaran agama.
Hal serupa yang berkaitan dengan pemalsuan sejarah di masa lalu yakni pemalsuan hadits. Jika dalam pengkajian keaslian hadits memerlukan berbagai kajian ilmu dan penelitan yang akurat, begitu pula dengan penelusuran sejarah. Dikatakan bahwa hadits dan sejarah berkaitan, karena sejarah Islam memerlukan sebuah riwayat yang shahih, sehingga untuk menilai suatu sejarah itu shahih maka perlu riwayat yang shahih pula.
Pendistorsian sejarah merupakan suatu hal yang cukup sulit diketahui, sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi para pembaca sejarah. Banyak cerita-cerita yang telah menyebar dan masyhur di kalangan masyarakat tanpa pengkajian yang benar dan akurat, sehingga menimbulkan kepercayaan yang menyimpang. Hal tersebut seharusnya dapat dijadikan pelajaran para generasi muda untuk memahami kembali sejarah, melihat kembali bagaimana sejarah yang sebenarnya pada masa itu, sehingga masyarakat khususnya para pelajar, mampu menghadapi tantangan kedepannya.
Dewasa ini banyak sejarah yang semakin terlupakan bahkan lebih parahnya berusaha untuk dihapuskan dari ingatan, maka sudah dipastikan sebagai para pembaca, para generasi mendatang akan lebih sulit mengetahui fakta kebenaran sejarah negara mereka sendiri. Sejarah pun menjadi suatu yang diremehkan, ditambah minat para generasi muda yang semakin rendah untuk mempelajari suatu sejarah, ia hanya dianggap sebuah dongeng belaka. Padahal dengan mempelajari, mengkaji kembali sebuah sejarah mampu mencegah adanya pendistorsian sejarah suatu bangsa bila di masa yang akan datang terjadi kembali. Maka dari itu, sangat diperlukan adanya minat dan tekad untuk menumbuhkan pemikiran bahwa sejarah juga berperan penting bagi bangsa, karena sejarah merupan ruhnya sebuah bangsa dan negara.
REFERENSI
Zainal Abidin bin Syamsuddin, 2018. Fakta Baru Wali Songo, Jakarta Timur: Pustaka Imam Bonjol
Ahmad Mansur Suryanegara, 2009. Api Sejarah, Bandung: Salamadani
Warto, “Menumbuhkan Kesadaran Sejarah Generasi Muda” (http://pendidikan-sejarah.fis.uny.ac.id. (Diakses pada 20 September 2018)
Luthfi Romadhon dan Andri Permana, “Distorsi Sejarah Islam Pada masa Al-Khulafa Ar-Rasyiddin dan Daulah Umayah” Jurnal Studi Islam,Vol.17, No 2, Desember 2016: 59-71
Oleh: Aulal Musyafiul Aliya Dewi, Semester III