Kehadiran Al-Hallaj dan Ibnu ‘Arabi di Tanah Nusantara

Kehadiran Al-Hallaj dan Ibnu ‘Arabi di Tanah Nusantara

Sejak abad ke-16, sejarah telah mencatat bahwa Syekh Syams al-Din al-Sumaterani banyak dicerca dan dikecam oleh ahli sufi pada masanya. Bahkan bukan hanya dari kalangan sufi saja, dari kalangan Islam pada abad sesudahnya pun tidak surut kecaman yang amat tajam. Sebut saja Syekh Nuruddin al-Raniri, Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama menuturkan bahwa seorang tokoh sufi dan ulama besar bermadzhab Syafi’i beraliran Ahlussunah waljama’ah ini mengecam ajaran yang dibawa oleh Syekh Hamzah Fansuri dan muridnya, Syekh Syams al-Din al-Sumaterani. Bahkan tidak segan ia fatwakan kafir kepada pengikut-pengikutnya yang fanatik. Sampai pada puncaknya–setelah menjabat sebagai mufti agung sultan Iskandar Tsani–ia perintahkan untuk membakar semua karangan Syekh Syams al-Din al-Sumaterani karena dianggap menyesatkan. Hal ini menjadi sebuah ironi karena di satu sisi ia dielu-elukan sebagai mufti dan tokoh sufi yang agung namun di sisi lain ia dikecam dan dianggap kafir karena pengaruh politik pada saat itu.

Tokoh Islam selain Syekh Siti Jenar yang mengikuti paham wahdat al-wujud ini ialah Syekh Syams al-Din al-Sumaterani (wafat 1630 M/1040 H). Ia adalah tokoh sufi dari Aceh, pulau Sumatra. Paham yang dibawa oleh Ibnu Arabi ini, di tanah Aceh dikenalkan oleh Syekh Syams al-Din al-Sumaterani dengan paham “wujudiyah”. Syekh Syams al-Din al-Sumaterani dikenal pula dengan nama Syams al-Din Pasai. Syekh Syams al-Din al-Sumaterani juga sealiran dengan Syekh Hamzah Fansuri, yakni menganut paham wahdat al-wujud atau wujudiyah. Bahkan dalam sebagian besar sumber menyebutkan bahwa Syekh Hamzah Fansuri adalah guru Syekh Syams al-Din al-Sumaterani. Ia adalah satu dari beberapa ulama besar dan terkemuka di Aceh yang hidup pada abad ke-16 terakhir sampai tiga dasawarsa awal abad ke-17. Meski begitu, tidak banyak yang mengetahui mengenai ketokohannya, sehingga tidak sedikit masyarakat yang kesulitan menemukan data untuk jawaban saat diwawancarai mengenai satu tokoh ini. Justru buku yang berjudul New Light on the Life of Hamzah Pansuri lah yang memuat kehidupan tokoh ini. Dalam buku itu, selain menerangkan tentang kehidupan Hamzah Fansuri juga memuat kehidupan Syams al-Din al-Sumaterani meski tidak mendetail.

Diketahui bernama lengkap Syekh Syams al-Din ibn Abd Allah al-Sumaterani. Dalam satu keterangan, seorang keturunan Inggris yang tengah melakukan kunjungan diplomatik bernama Sir James Lancaster menuturkan bahwa dirinya bertemu dengan dua tokoh yang diutus oleh Sultan Ala al-Din Ri’ayat Syah (1589 M-1604 M) sebagai wakil dirinya.

Saat itu tengah membahas tentang janji perdamaian antara Aceh dan Inggris dan menggunakan bahasa Arab. Salah satu dari keduanya merupakan seorang yang dihormati oleh raja dan rakyatnya yang diyakini sebagai Syekh Syams al-Din al-Sumaterani. Ia berpenampilan tenang dan sangat bijkasana. Dari penuturan tersebut jelas bahwa Syekh Syams al-Din Al-Sumaterani merupakan tokoh besar dan terpandang serta memiliki posisi yang cukup strategis di mata sultan pada saat itu. Hal ini juga diperkuat melalui buku-buku adat Aceh yang diperkirakan ditulis pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 M-1639 M) yang memerintah selama kurang lebih 30 tahun. Dalam buku tersebut menceritakan kehidupan Syekh Syams al-Din al-Sumaterani dalam kesultanan.

Pemikiran Syekh Syams al-Din al-Sumaterani

Sebenarnya Syekh Syams al-Din al-Sumaterani memiliki pandangan yang cukup kontroversial mengenai beberapa unsur. Seperti mengenai penciptaan (penjelmaan-penjelmaan), alam serta manusia, alam ajsam dan lain sebagainya. Namun penulis hanya menyebutkan pandangannya mengenai Tuhan (Allah).

Dalam buku Intelektualisme Pesantren I dijelaskan bahwa pada dasarnya paham yang diajarkan Syekh Syams al-Din al-Sumaterani adalah sama seperti ulama lain tentang ketauhidan, yakni mengajarkan bahwasanya Allah adalah dzat yang qadim (terdahulu) serta baqa (kekal), bukan baru, ‘ard jisim dan tidak pula dapat ditentukan dengan suatu pihak ataupun menetap pada suatu tempat. Ia juga menegaskan bahwa Allah itu tidak akan mampu dilihat dengan mata serta Allah maha Esa. Allah tidak memiliki bentuk yang konkrit, tidak berarah dan tidak membutuhkan ruang dan waktu. Ia juga mengajarkan bahwa Allah itu ruh, dan wujud kita ini adalah ruh. Ajaran yang terakhir inilah yang dianggap sesat oleh sebagian masyarakat Aceh dan sekitarnya. Namun demikian tidak sedikit masyarakat yang menjadi pengikut setianya. Seperti halnya Ibn ‘Arabi, Syekh Syams al-Din al-Sumaterani juga mengajarkan kepada pengikutnya supaya menyerupakan sekaligus mengkultuskan sifat-sifat ketuhanan. Baginya, kedua hal tersebut memiliki peranan penting dan perlu mendapatkan perhatian dari orang-orang yang hendak melakukan penilaian teologis terhadap pengajarannya tersebut.

Dengan proses tasybih dan tanzih terhadap Tuhannya itulah terkandung pengertian bahwa di samping adanya Tuhan, diakui adanya wujud alam yang merupakan mitsl-Nya. Bentuknya mirip dengan Tuhan, akan tetapi bukanlah mitsl yang setara dengan-Nya.

Paham-paham tersebutlah yang mendorong para penentangnya untuk menuduh dirinya serta pengikutnya sebagai panteis serta zindik (seseorang yang menyembunyikan kekafirannya).

Syekh Syams al-Din al-Sumaterani wafat di Aceh pada bulan Februari tahun 1630 M. Dalam kalender Islam tertulis tahun ke-1040 setelah hijrahnya Nabi Saw. Selain sebagai tokoh sufi, dirinya juga dikenal sebagai sastrawan yang cukup produktif pada masanya dibuktikan dengan puluhan karangan yang ia susun menggunakan bahasa Melayu serta bahasa Arab tentunya. Di antara karya-karyanya, hampir seluruhnya dimusnahkan oleh rezim Sultan Iskandar Tsani  terutama karangan yang membahas mengenai akidah. Namun demikian, penulis cantumkan delapan dari puluhan karyanya tersebut sebagai berikut:

  1. Jauhar al-haqaid (30 halaman berbahasa Arab). Menyajikan pengajaran paling lengkap mengenai martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
  2. Risalat Tubayyin Mulahazat al muwahhidinwa al mulhidinfi Dzikrillah (8 halaman berbahasa Arab). Cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dan yang bukan
  3. Mir’at al Muminin (versi panjang 70 halaman, berbahasa Melayu). Inilah karyanya yang paling panjang diantara semuanya. Tentang keimanan kepada Allah, para rasulnya serta kitab-kitabnya.
  4. Syarh Ruba’i Hamzah Fansuri (24 halaman berbahasa Melayu). Syarh dari karya Hamzah Fansuri tentang kesatuan wujud Tuhan dengan alam.
  5. Syarh Sya’ir Ikan Tongkol (20 halaman, berbahasa Melayu). Mengajarkan tentang nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana di dalam Allah.
  6. Nur al Daqaiq (9 halaman, berbahasa Arab, 19 halaman berbahasa Melayu). Mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu ma’rifat (tujuh).
  7. Thariq al-Salikin (18 halaman, berbahasa Melayu). Tentang sifat-sifat wajib Allah.
  8. Kitab Al-Harakah (4 halaman, ada yang berbahasa Arab dan ada yang Melayu). Karya ini membahas tentang martabat tujuh atau ilmu ma’rifat.

 

Oleh : A. Khoerul F., Semester IV

This Post Has One Comment

  1. Roronovia

    Baguss ???

Leave a Reply