Islam sebagai Lentera Nusantara

Islam sebagai Lentera Nusantara

Ma’had Aly – Gelap, itulah gambaran kehidupan dunia sebelum cahaya Islam datang. Hingga akhirnya Nabi Muhammad saw. lahir untuk mengubah dunia seutuhnya dengan cahaya Islam yang beliau ajarkan di tengah kalangan bangsa Arab, bangsa dengan memiliki tradisi ilmu yang patut dibanggakan. Namun sangat disayangkan moral dan kondisi sosial mereka kritis. Mereka melakukan perbuatan keji, seperti peperangan, perzinaan, mengkonsumsi minuman keras, penindasan terhadap perempuan, penyembahan berhala.

Sama seperti halnya Nusantara sebelum datangnya Islam, masyarakat Nusantara menganut Animisme dan Dinamisme, suatu kepercayaan terhadap benda-benda sakti yang kemudian mereka sembah sebagai perantara menyembah Tuhannya. Kemudian agama Hindu dan Budha, yang bisa kita lihat beberapa peninggalannya yang masih ada hingga sekarang.

Islam datang ke Nusantara, kebenarannya dikaji lebih dalam lagi melalui beberapa teori yakni, teori Gujarat, teori Cina, teori Arab dan teori Hadramaut, kemudian dikembangkan oleh Walisongo. Para kekasih Allah swt. tersebut mampu mengislamkan Nusantara dalam waktu yang cukup lama tapi membuahkan hasil yang luar biasa). Sembilan wali tersebut adalah Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim), Sunan Ampel (Raden Ali Rahmatullah), Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim), Sunan Drajat (Raden Qasim), Sunan Kudus (Ja’far Sadiq), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Kalijaga (Raden Said), Sunan Muria (Raden Umar Said), Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Para wali mengemas dakwah sedemikian rupa agar lebih mudah dipahami dan diterima (sesuai dengan budaya dan peradaban saat itu) oleh masyarakat, sehingga  mereka tidak merasa dipaksa untuk masuk Islam.

Sembilan Wali ini menyebarkan Islam ke berbagai penjuru Nusantara. Sunan Ampel berdakwah mulai dari Palembang bersama Syekh Ali Murtado, Abu Hurairah dan ayahnya Syeikh Ibrahim Asmorokondi, setelah berhasil mengislamkan Adipati Palembang, mereka melanjutkan perjalanan ke Trowulan yaitu Kerajaan Majapahit, kemudian Raja Majapahit memberikan wilayah kepada Sunan  Ampel untuk dibenahi, tepatnya di Ampel Denta. Tidak hanya sampai di situ Sunan Ampel juga berdakwah ke Kembang Kuning hingga Madura,  beliau taklukan masyarakat Nusantara dengan ajaran yang tidak memaksa. Ajaran yang terkenal adalah ajaran “Moh Limo”, berasal dari kata “Emoh” (tidak mau) dan “Limo” (lima). Yaitu Moh Main (tidak mau main judi), Moh Ngombe (tidak mau mabuk), Moh Maling (tidak mau mencuri), Moh Madat (tidak mau narkoba), dan yang terakhir Moh Madon (tidak mau main perempuan). Ajaran Moh Limo ini sesuai dengan merosotnya moral masyarakat Majapahit pada saat itu. Sunan  Ampel juga mengajak masyarakat untuk syiar Islam agar mendapat kebahagiaan dunia akhirat lewat tradisi spiritual pada acara keagamaan, diantaranya adalah: mentalqin orang mati, memperingati kematian seseorang pada hari ke-3 ke-7 ke-40 ke-100 ke-1000, perayaan 1 dan 10 syuro dengan penanda bubur syuro, tradisi Rebo Wekasan di bulan Safar, tradisi Nisfu Sya’ban, memperingati maulid Nabi Muhammad saw. Tradisi-tradisi ini masih dilestarikan oleh masyarakat sampai sekarang.

Sunan  Ampel memiliki keturunan dan murid yang nantinya menjadi penerus dakwah beliau, di antara putra Sunan Ampel yaitu:

  • Siti Syari’ah yang menikah dengan Sunan Kudus
  • Siti Mutmainnah menikah dengan Sunan Gunung Jati
  • Siti Hafsah menikah dengan Sunan Kalijaga
  • Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang
  • Raden Qosim dengan julukan Sunan Drajat
  • Dewi Murtasiah dinikahkan dengan muridnya yaitu Sunan Giri
  • Dewi Murtasimah yang dinikahkan dengan Raden Fatah (Sultan Demak) merupakan salah satu murid Sunan Ampel.

Walisongo ini bermula dari Sunan Ampel yang kemudian mencetak para pemuda (keturunannya) menjadi anggota Walisongo.

Sunan Bonang, anak dari Sunan Ampel ini tidak jauh dari ayahnya yang berdakwah tanpa membawa unsure paksaan. Melalui seni, Sunan Bonang membuat tembang yang berisi ajaran Islam, kemudian diiringi dengan alat musik gamelan. Meskipun masyarakat belum mengerti akan arti dari tembang yang dinyanyikan, namun mereka tertarik begitu mendengarnya.

Usaha dakwah Sunan Bonang berawal di Kediri. Merasa dakwahnya belum berhasil,  beliau pergi pun ke Demak atas perintah untuk menjadi Imam di daerah tersebut. Selanjutnya, Sunan Bonang dikisahkan tinggal di Lasem sambil menyebarkan Islam. Setelah sekian lama berada di Lasem, Sunan Bonang diangkat menjadi wali di Tuban, Jawa Timur dan menetap untuk mengurus segala hal keagamaan di sana.

Selanjutnya ada Sunan Kalijaga yang terkenal menyebarkan Islam dengan menggunakan wayang, yang pada saat itu sangat digemari masyarakat. Kemudian Sunan Kalijaga memainkan wayangnya dengan membuat skenario cerita tentang kajian Islam. Tiket masuk pertunjukan wayang ini adalah pembacaan dua kalimat syahadat, hingga tanpa sadar masyarakat telah masuk Islam. Sunan Kalijaga mengawali dakwahnya di Cirebon lalu ke Indramayu dan Pamanukan. Sunan Kalijaga ini dikenal dikalangan Walisongo karena dakwah beliau yang paling berpengaruh besar, beliau ini berdakwah sebagai dalang keliling, penggubah tembang, penari topeng, desainer pakaian, perancang alat-alat pertanian, penasehat sultan, serta pelindung rohani kepala-kepala daerah. Maka tidak aneh masyarakat Nusantara menerima ajaran Islam dengan senang hati.

Begitupun para Walisongo lainnya yang menyebarkan Islam dengan sedemikian cara agar masyarakat Nusantara ini berada pada jalan yang benar. Hingga akhirnya Walisongo berhasil membuat perubahan bagi Nusantara yang tidak bisa dilupakan sejarah yaitu menjadikan Islam sebagai lentera bagi Nusantara ini.

Beberapa peninggalan Walisongo yang terjaga kelestariannya hingga sekarang salah satunya adalah Masjid Ampel. Masjid ini memiliki arsitektur yang kental dengan budaya asli Nusantara dengan motif burung, salur-salur, serta surya Majapahit pada mimbarnya. Sedangkan Gapura yang merupakan pintu masuk menuju Makam Sunan Ampel hingga hiasan di ambang pintu berbentuk motif bunga, salur-salur, ada juga motif medallion dan bintang segi delapan yang memiliki arti tersendiri antara Islam dan Jawa. Masjid Agung Demak, Makam para wali, Wayang Kulit, gamelan dan lain sebagainya.

Bisa kita lihat dari peninggalan tersebut bahwa ada proses akulturasi dua kebudayaan tanpa menghilangkan budaya sebelumnya, sehingga hal inilah yang membuat Islam di Nusantara berbeda serta memiliki warna dan coraknya tersendiri. Yang bisa kita lihat hasilnya, agama Islam menjadi agama mayoritas di Nusantara sampai dengan sekarang ini.

 

Referensi

Abu Umar Basyier, Mutiara Hikmah Sejarah Rasulullah saw, Surabaya: Shafa Publika, 2012.

Agus Sunyoto, Atlas Walisongo, Depok: Pustaka Ilman, 2016.

Rohimudin Nawawi Al Bantani, Kisah Ajaib Walisongo, Depok: Melvana, 2017.

Purwadi, dkk., Jejak Para Nabi dan Larah Spiritual, Klaten: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. t.t.

Zulham Farobi, Pesan Perdamaian Walisongo, Yogyakarta: Sociality, 2018.

Oleh : Dalimah Nur Hanipah, Semester III

Leave a Reply