Hijrah Alila

Hijrah Alila

Byuuurrr!!!

Aroma menyengat itu kini melekat di tubuhku. Mati-matian aku menahan isi perutku yang meronta ingin keluar dibuatnya. Ini baru ember pertama, masih ada ember kedua setelah ini. Aku rasa setelah ini aku akan benar-benar muntah!

Beberapa anak menganggap ini adalah tontonan yang tak boleh dilewatkan. Beberapa mengintip lewat jendela kamar yang jendelanya menghadap langsung ke lapangan. Ada pula yang terang-terangan melihat dari teras masjid. Sembari menutup hidung dengan tangan, mereka seolah memasang wajah iba melihat para pengurus pondok mengguyur tubuhku dengan air comberan. aku berpikir mungkin tak sepenuhnya mereka merasa iba terhadapku.

“Rasain, jadi anak nakal banget, sih. Kapok dah lu, kalau kayak gini.”

Mungkin ada di antaranya yang malah berpikir seperti itu. Ah, di saat seperti ini aku masih saja sempat bermain dengan pikiranku. Tapi apapun yang ada dalam kepala mereka, aku sama sekali tak peduli. Yang jelas, aku ingin keluar dari tempat ini, dari penjara ini.

Para pengurus masih belum puas berceloteh. mulai dari nasihat-nasihat bijak bak motivator kelas kakap, sampai omelan-omelan pedas tentang kekesalannya menghadapi serentetan kasus yang disebabkan olehku. Apapun yang mereka katakan, itu takkan berdampak apapun bagiku. Ya, kurasa mereka hanya akan buang-buang tenaga.

Berada di tempat yang disebut-sebut sebagai penjara suci ini memang bukalah keinginanku. Ini kemauan orang tuaku. Jangan bertanya mengapa aku tak menolak. Sungguh, segala jenis penolakan sudah aku lakukan. Mulai dari penolakan tingkat rendah dengan hanya berteriak, “Aku nggak mauuuuuuu!!!!!” sampai penolakan tingkat tinggi dengan mengacak-acak isi kamar dan mogok makan. Tapi ayah dan bunda bukannya luluh, mereka malah semakin mengerek bendera perang.

“Alila nggak mau makan kalau masih dipaksa masuk pondok!” Teriakku dari dalam kamar saat bunda mengetuk pintu, memintaku untuk makan malam.

Sejenak, tak ada jawaban. Aku mendekatkan telingaku ke pintu, mencoba mencari tahu apa yang terjadi di balik pintu.

“Ya sudah. kalau kamu nggak mau masuk pondok, nggak usah makan sekalian!” Ini suara ayah. Aku kaget mendengarnya.

“Coba kita lihat, sampai kapan kamu akan bertahan dengan keras kepalamu itu,” kini ayah mengambil alih. Sedari tadi memang hanya ibu yang bolak-balik ke kamarku, memintaku untuk keluar kamar dan makan.

Setelah berkata seperti itu, aku mendengar suara langkah kaki ayah dan bunda yang menuruni tangga. Haduh! Ini benar-benar gawat. Kurasa ayah dan bunda memang sudah tak sayang padaku.

Ini sudah larut. Tapi aku tak kunjung bisa memejamkan mata. Bagaimana bisa, sedari tadi perutku berteriak meminta haknya untuk diisi. Dari tadi pagi aku belum menyentuh makanan. Aku sudah sangat lapar dan di kamar tidak ada apaun yang bisa dimakan. Aku berfikir keras. Jika aku turun untuk makan, itu sama halnya dengan menerima kekalahanku pada ayah dan bunda, dan aku juga harus menerima paksaan mereka untuk memasukanku ke pondok. Tidak, itu tidak akan terjadi. Aku tidak akan kalah dengan mereka!

#          #          #

Ceklek!

Tiba-tiba lampu menyala terang. Haduh, ini pertanda buruk. Dengan agak ragu, aku menutup pintu kulkas dan berbalik. Ayah sudah berdiri di mulut dapur. Seraya melipat tangannya di dada, ia mengetuk-ngetukkan telapak kakinya ke lantai dan ia sandarkan  sebelah bahunya di dinding. Sungguh, gaya kemenangan yang membuatku ingin berteriak sekaras-kerasnya.

“Sudah bisa mengakui kekalahan?” Ayah berkata tanpa merasa berdosa.

Eeerrrggghhh…

Sungguh, kekalahan yang memalukan. Perutku benar-benar tak bisa diajak kompromi malam itu. Dan alhasil, di sinilah aku sekarang. Bergelut dengan segudang aktifitas yang hampir tak ada yang aku sukai. Eh salah, bukan hampir, tapi memang tak ada yang aku sukai sama sekali. Ngaji al-Qur’an, ngaji kitab, shalat yang biasanya cuma lima kali sehari (itupun kalau lagi rajin) sekarang bisa sampai 14 kali (ditambahan Duha, Tahajud dan rawatib). Dan masih banyak lagi list kegiatan yang bisa buatku tak pernah lepas mangandai-andai untuk keluar dari sini.

#          #          #

Hampir setengah jam aku di kamar mandi, ini bilasan ke tiga. Bau air comberan ini begitu melekat di tubuhku. Meski ini bukan pertama kalinya aku diguyur air comberan, tetap saja bau busuknya mampu membuat isi perutku keluar.

“Al, Alilaaaa..” teriakan cempreng Amila mengagetkanku.

“Iya Mila, kenapa?”

“Kamu gak apa-apa kan, Al?”

“Maksud kamu gak apa-apa itu apa?”

“Kamu lama banget di kamar mandi, ya aku takut kamu kenapa-napa.”

“Pliss deh Milaaaa, hukuman diguyur air comberan itu gak bakal bikin aku bunuh diri! Jadi kamu gak usah se-lebay itu.”

“Ya, namanya juga khawatir, Al. Lagian kamu gak ada kapok-kapoknya ya. Ini udah ketiga  kalinya kamu diguyur air comberan gara-gara kabur dari podok, Al.”

“Salah. Dua kali diguyur gara-gara kabur, yang satu lagi gara-gara ngelawan guru,” koreksiku tak mau kalah.

“Ya, terserahlah. Intinya kamu itu udah tiga kali mandi air comberan gara-gara gak mau ikutin peraturan pondok, Al.”

“Baru juga tiga kali,” sahutku agak tak peduli.

Aku mencoba mengingat kembali. Em… mungkin lebih tepatnya tiga kali diguyur, dua kali disetrap di lapangan.

Apa aku tidak betah? Itu pertanyaan yang tak perlu ditanyakan lagi. Aku akan langsung menjawab iya! Banget, banget, banget!

Di sini, aku merasa berada di planet asing. Pakaian, aktifitas, sampai orang-orangnya, semua terasa aneh bagiku. Di rumah yang biasanya hanya mamakai celana pendek dan kaos oblong, sakarang harus menggunakan rok panjang, baju panjang dan jilbab pula. Entah siapa pencetus pertama pikiran untuk memasukanku ke podok. Aku yang sejak kecil tak pernah akrab dengan sesuatu yang berbau agama, sekarang harus terdampar di tempat yang setiap sudutnya selalu berpapasan dengan kegiatan religi.

“Al, Alilaaaaaa,” teriakan Amila membuayarkan lamunanku.

“Iya. Apa sih, Mila?”

“Mau berapa lama lagi kamu di kamar mandi Al? lihat tuh, sudah jam berapa. Kamu bisa telat ke sekolah, Al.”

“Iya, iya. Dasar emak-emak crewet”

#          #          #

Di kamar sudah tak tersisa orang satupun. Aku melihat jam tanganku, jarum pendeknya menunjuk angka delapan dan jarum panjangnya di angka tiga. Telat.

Ini hari Senin, hari yang kubenci. Ustadz Umar, guru Sejarah di kelasku adalah alasannya. Ustadz Umar pula, yang menjadi alasanku disetrap di lapangan.  Aku tidak suka pelajaran sejarah. Saat mendengar ustadz Umar menjelaskan pelajaran, aku merasa seperti dibacakan dongeng. Langsung saja mataku tergelitik untuk  segera terpejam.

Aku menambah kecepatan langkahku, tak mau kalah dengan jarum jam yang terus saja berlari. Hingga pada akhirnya, tubuhku menabrak sesuatu saat melewati tikungan menuju kelasku. Terasa begitu kencang sampai tubuhku jatuh tersungkur. Aku meringis sembari memegangi lututku, sakit sekali.

“Maaf, saya tidak sengaja.” Sebuah suara yang begitu lembut itu mampu mengalihkanku dari lututku.

#          #          #

“Ya ampun Al, jam segini kamu baru muncul?” Aku baru saja duduk di bangkuku, Amila langsung menyambutku dengan omelan. Sesuatu yang tak pernah lepas darinya.

Aku malas merespon. Sedang tak berselera untuk berdebat dengannya. Tiba-tiba aku teringat kejadian tadi, pemilik suara lembut itu bertubuh tinggi dengan kulit sawo matang. Masih muda, jika kutebak mungkin umurnya baru sekitar 23 tahunan.

“Kamu terlambat. Meskipun begitu, jangan terburu-buru, ya. Terburu-buru itu sifatnya setan.” Ia berkata tanpa terlepas dari senyumnya. Sedang aku masih saja terdiam, terenyuh. Caranya berbicara cukup bisa menunjukan bahwa ia adalah orang yang penyayang. Tanpa kusadari, mengingat hal itu membuat senyumku mengembang.

“Hey! Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?” Sekali lagi Amila membuyarkan lamunanku dengan suara cemprengnya.

“Eh, ustadz Umar hari ini gak masuk?” Aku mengalihkan pembicaraan.

“Oh iya. Aku lupa bilang. Mulai hari ini, ustadz Umar sudah nggak ngajar sejarah di kelas kita.”

“Serius? Wah, itu kabar bahagia. Terus, diganti siapa?” Sebenarnya aku tak begitu penasaran. Mau diganti siapapun, aku tetap saja tak suka pelajaran sejarah.

“Namanya ustadz Samir. Dia guru baru di sini.”

“Oh ya? Cakep nggak?” Tanyaku iseng.

“Banget, Al. Ntar deh kamu lihat sendiri. Sekarang orangnya lagi ke kantor sebentar. Eh, itu ustdz Samir sudah datang.” Amila berkata seraya menunjuk ke depan dengan dagunya.

“Assalamu’alaikum.” Suara itu datang dari arah yang di tunjuk Amila.

Suara itu lagi. Saat aku menoleh, ternyata memang dia. Si pemilik suara lembut itu. Aku masih tak bergerak. Dia, guru sejarahku yang baru?

“Alila, bengong saja? Kayaknya terpana banget lihat ustadz Samir.”

“Hah? Nggak. Apaan sih, kamu.” Aku berusaha bersikap biasa. Semoga saja Amila tak menyadari pipiku yang memerah.

“Mil, sepertinya setelah ini aku sudah tak punya pikiran untuk keluar dari pondok ini.” Aku berbisik kepada Amila.

Amila menoleh seraya mengangkat alisnya, “Kenapa bisa begitu?”

Aku hanya menyeringai sembari melirik seseorang yang sedang sibuk menyalin catatan di papan tulis. Amila yang langsung menyadari maksudku, membuka mulutnya lebar-lebar dan membentuk huruf “o”.

“Alila… dasar kamu, ya!!”

TAMAT

Cerpen Karangan: Halimatussa’diyah

This Post Has 7 Comments

  1. Miftahul amali

    Tulisannya bagus..?

      1. Miftahul amali

        Afwan

  2. Kevindaf

    Hellо! I’ll tеll you my method with all the detаils, аs I started earning in the Intеrnet frоm $ 3,500 per dау with the helр of social nеtwоrks reddit аnd twitter. In this vidеo уou will find morе dеtailеd informatiоn аnd аlsо see how mаny milliоns havе еarned thosе who hаve bееn wоrking fоr a уеar using mу method. I specifiсally made a video in this cаpасitу. Aftеr buying mу mеthоd, yоu will understаnd why: http://www.chromeextensions.org/wp-content/themes/chrome-extensions/includes/download.php?link=https://vk.cc/8jfmUx

Leave a Reply