Doa Mamakku

Doa Mamakku

“Sekali aku melihat Mamakku menangis, Bung! Hanya sekali! Itu pun ketika aku pulang bergadang dari pos ronda kampung sebelah.” Cerita Benjamin lewat gawai usangnya, menunggu respons dari seseorang di seberang sana.

“Tapi, bagaimana lagi, Bang? Bisa dimaki aku, habis mukaku di depan Mamak. Tidak pulang 13 tahun sejak tamat dari pondok dulu, pulang-pulang terjerat utang dengan lintah darat,” jawab seseorang di seberang sana dengan suara serak.

“Kau tahu, Sholeh? Aku 13 tahun merantau dan memilih pulang karena aku rindu dongeng nabi-nabi sebelum tidur dari lisan Mamakku. Aku rindu doa makan bersama Mamakku. Aku rindu ikan asin dan sambal ijonya. Aku rindu semua tentang Mamakku! Pulanglah, selagi Mamakmu ada. Capek hati dia melangitkan doanya setiap sujud, Sholeh!” Emosional bukan main Benjamin memainkan kata-katanya. Sesenggukan suara Sholeh di seberang sana.

“Iya, Bang. Aku pulang, akan kucium Mamakku. Kubersihkan rumput liar di pusara Bapak. Aku akan pulang, Bang!” Pecah juga akhirnya tangis Sholeh tak kuasa dia menahan tangis. Panggilan itu akhirnya selesai.

###

Benjamin masih berkutat dalam pikiran, mengenang masa-masa perantauannya. Mengajak Sholeh merantau bersama ke pulau nan jauh di sana. Dua pemuda nakal yang bingung akan dirinya sendiri. Satunya seperti mendapat ilham, memilih merantau karena semalam mendengar Mamaknya menangis berselimut doa. Satunya lagi memilih setia kawan, hubungan saudara tak sedarah.

“Mamakku menangis, Bung! Mengadu di hadapan Tuhan tentang bungsunya yang nakal, seperti muda bapaknya. Pejudi handal seantero daratan tinggi Sumatra. Bah! Menangis sungguh menangis, tak tega aku. Aku ingin paham agama, Bung!” Benjamin muda tak tahan lagi dengan apa yang ada di dadanya, diluapkan habis sudah di hadapan Sholeh.

“Ayolah! Berangkat kita ke pulau nan jauh di sana. Belajar agama, aku ingin mengerti sembahyang. Ayolah, Bang! Berangkat kita,” tutur Sholeh kala itu.

Dua pemuda berpakaian lusuh dengan tas ransel seadanya akhirnya berangkat juga. Bertekad belajar agama di negeri orang. Merubah nasib dengan kekuatan doa. Tanpa ragu terus berjalan dalam suatu perubahan.

www.pesonaindo.com

Lamunan Benjamin pecah ketika gawai genggamnya kembali berbunyi. Benjamin menunggu sautan suara dari seberang sana. “Bang! Aku berangkat pagi ini, nanti kau jemput aku di bandara bisa?” tanya Sholeh cepat.

“Bisa, gampang itu. Nanti bisa kuatur,” singkat percakapan itu, tetapi Benjamin masih saja berlama-lama dalam lamunannya di teras sambil menikmati kopi hitam yang sudah mendingin dan ditemani rokok sisa puntungannya.

Benjamin sebenarnya sangat nakal, bahkan ketika berusia 20 tahun pun ia belum lancar membaca Iqro’. Namun, berkat doa Mamaknya yang tersedu-sedu malam itu, siapa sangka Benjamin malah mengajar agama setelah pulang dari perantauan 13 tahun lamanya.

Benjamin dan Sholeh yang kala itu berusia tanggung berangkat dengan bergonta-ganti bus dan kapal. Hingga menemukan beberapa pondok pesantren di ujung pulau Jawa. Tidak terlalu mulus perjalanan mondok mereka. Di tahun pertamanya di pulau Jawa, Benjamin melawan gurunya kemudian ia memilih pindah atas nasihat buya pengasuh di sana.

Di tahun kedua, giliran Sholeh yang ketahuan mencuri ayam penduduk desa. Diusirlah mereka berdua dari pondok tersebut. Di tahun ketiga, mereka sampai di titik sadar diri dan rindu kampung halaman.

“Mau pulang aku! Terserahmu mau ikut atau tidak,” suara Benjamin yang sudah tidak betah dengan perantauannya.

“Mengapa baru sekarang? Kau bilang mau paham agama. Tapi, apa ini? Belum paham dan lancar kau sudah minta pulang. Melemah sudah kekuatan doa Mamakmu itu,” tanggap Sholeh dengan nada mengejek.

Tersentak hati Benjamin, teringat Mamak yang menangis setelah sembahyang malam. Mamak dengan mukenah yang penuh tambalan, berdoa setengah menjerit pada malam itu. Dan, mendiang Mamaknya, lah yang menjadi sebab ia mau belajar agama.

“Ya, Tuhan! Tak tahan lagi aku, seperti Samad kelakuannya. Tak mampu lagi aku, jemput aku! Lihatlah, malam ini dia pergi minum-minuman dan berjudi di kampung sebelah. Besok apa lagi? Main perempuan? Membunuh? Jangan sampai aku melihatnya seperti itu sekarang. Beri dia petunjuk, dia masih anakku! Anak bungsu kesayangan Amak dan Aba’nya.”

Benjamin akhirnya mengurungkan niat untuk pulang, merangkul Sholeh lanjut mengaji di tempat salah satu gurunya di sana. Sholeh hanya kebingungan dan menurut saja, melangkah bersama Benjamin yang tengah bertengkar hebat dengan pikiran dan batinnya sendiri.

13 tahun, Benjamin dan Sholeh hidup di negeri orang. Menimba ilmu agama dari sekian banyak buya dan kyai yang mereka temui. Lima pondok sudah mereka singgahi untuk sekedar bertamu atau menetap bertahun-tahun. Mereka meminta doa kepada seorang buya supaya menjadi orang baik dan itu sudah cukup menurut Benjamin. Tidak perlu pintar, cukup ilmunya bermanfaat dan tidak melukai orang lain.

Setelah 13 tahun belajar agama, Benjamin memilih pulang sedangkan Sholeh memilih merantau ke Kalimantan, diajak bekerja bersama rekan kenalannya di pondok pertama dulu. Namun, nasib sial menghampiri Sholeh. Ia menelepon Benjamin hendak pulang karena kehabisan uang yang disebabkan ditipu rekannya yang mengajak bekerja dulu.

Dan, kini Sholeh pulang. Tidak ada yang berubah, hanya saja Sholeh terlihat lebih klimis dan rapi. Benjamin memutuskan untuk menjemputnya langsung, berpelukan bak saudara yang telah lama berpisah. Berpelukan dengan Sholeh sang saudara tak sedarah, nostalgia dari lagu lama.

Benjamin menatap lembut Sholeh dan dengan sedikit berbisik, “Masih ingatkah, kau dengan kisah doa Mamakku dulu, Sholeh?”

Karya: Daffa Claudio Irvansyah (Semester V)

Penyunting Bahasa: Isa Saburai

Leave a Reply