Dewasa ini, Islam -menurut sebagian- dijadikan sasaran tembak ketidakpercayaan, dicurigai menentang Ideologi negara Pancasila. Bahkan, pemerintah juga sampai membentuk BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila)[1] yang bertugas sebagai perumus pengamalan pancasila sehingga bisa diterima untuk semua kalangan. Dikarenakan muncul beberapa gerakan baik yang bersifat Transnasional ataupun lokal, yang dianggap ‘bukan’ Pancasialis. Puncaknya pada pilkada DKI Jakarta (2018), yang berlangsung menegangkan, dengan menyeret simbol agama dalam ranah publik.
Tampaknya, menurut Bahtiar Effendy dalam bukunya ; Islam dan Negara (2009), menyimpulkan ada beberapa faktor yang menyebabkan permusuhan antara Islam dan Negara. (1) keterwakilan kaum Muslim secara proporsional dalam lembaga-lembaga politik negara, (2) dibelanya komitmen nasional bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler. Ini mengharuskan dipertimbangkan dan diakuinya nilai-nilai keagamaan dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam konteks ini, cukup dikatakan bahwa konsepsi Islam politik yang formalistik atau legalistik hanya mungkin muncul jika rasa ketertindasan juga makin tumbuh. Kedua alasan yang cukup rasional diataslah yang menjadi pijakan munculnya konfrontasi ‘pancasialis’ dan ‘anti-pancasialis’.
Jika dirujuk kembali dalam sejarahnya, ada dua pendapat terkait hubungan Islam dan negara, pertama “monolitik” atau “organik” mereka memandang Islam sebagai sudah dari awalnya merupakan agama politik. Karena itu, masalah kerangka yang dibentuk antara hubungan Islam dan Negara adalah benturan antara ortodoksi (kaum santri) dan sinkretisme (abangan). Bukan merupakan konflik visi antar elit negara untuk menjadikan Indonesia yang dicita-citakan.
Kedua, Islam dipandang sebagai agama yang bersifat multiinterpretatif yang membuka kemungkinan kepada banyak penafsiran mengenainya (a polyinterpretable religion). Meskipun pada tingkat umum hanya satu Islam, bentuk dan ekspresinya berbeda antara satu individu muslim dengan individu muslim lainya.
Pendapat yang kedua inilah yang dikembangkan oleh Bahtiar Effendy, dengan melihat sosio-politik Islam secara menyeluruh. Melihat dari berbagai unsur Islam politik secara holistik (simbiosis mutualis) tidak monolitik (Syariah), interior dan eksterior Islam dalam perspektif sejarah Islam politik versus negara, maupun Islam politik dalam dialektika praktis kekinian.
Dari kedua sifat hubungan agama dan negara diatas, Indonesia secara umum dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) bagian, yakni hubungan yang bersifat antagonistik dan hubungan yang bersifat akomodatif. Hubungan antagonistik disebabkan adanya aktivisme dan legalisme politik islam yang bercorak legalistik dan formalistik dan hubungan bersifat akomodasi disebabkan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap positif bagi umat Islam, hubungan ini tampaknya merupakan pilihan yang mungkin diambil agar hubungan agama dan negara dapat menjadi langgeng.
Maka dari itu, sudah bukan waktunya lagi mempertanyakan “apakah Islam dan sistem politik modern bertentangan atau tidak?” akan tetapi yang tepat adalah “jenis Islam yang manakah (dalam pengertian interpretatif) yang dapat menjamin terbinanya hubungan yang baik antara Islam dengan negara-bangsa di Indonesia?”
Ada dua asumsi pokok yang melandasi pertanyaan diatas : (1) perbedaan pandangan para pendiri repoblik ini terkait bagaimana Indonesia yang dicita-citakan, dan ini merupakan masalah yang berakar pada sejarah. (2) ketidak mesraan hubungan Islam dan negara tidak muncul dari dalam doktrin Islam itu sendiri, akan tetapi dari bentuk artikulasi dan penafsiran terhadap sosio-kultural, ekonomi dan politis Indonesia.
Bahtiar berpendapat bahwa Indonesia bukanlah sebuah negara Islam ataupun negara sekuler, melainkan sebuah negara religious, dalam arti bahwa negara memungkinkan dan membantu warganya untuk menjalankan kewajibankewajiban agama mereka. Semua warga negara berhak berpartisipasi dalam ranah politik, memperjuangkan hak ke-identitas-anya.
Jika dianalisa, ada beberapa kesimpulan menarik yang diungkap Bahtiar dalam bukunya, : “Walaupun idealisme dan aktivisme Islam Politik sudah mengarah dari formalisme-legal ke subtansialme, tidak sepenuhnya mengatasi masalah hubungan antara pilitik Islam dan Negara, karna tidak ada kesepakatan yang dinegosiasikan (negotiated settlement) para elit religio-politik bangsa ini untuk memutuskan bagaimana sebaiknya hubungan agama dengan negara.”
Pointnya pada kata tidak ada kesepakatan. Tidak adanya kesepakatan lebih lanjut untuk meramu kebersamaan atau kebhinekaan ini memang menjadi salah satu faktor kunci ‘ketidak jelasan’ hubungan antara agama dan negara. Sifat Islam akomodatif yang dikembangkan pemikir muslim pada era 80-an tentunya tetap tidak diterima semuanya, hanya saja lebih meminimalisir jurang pemisah hubungan Islam dan negara, dengan keterwakilan umat Islam di lembaga-lembaga politik negara.
Tapi, sifat akomodatif sendiri bisa menjadi momok besar bagi umat Islam, ditengah pragmatisme para politikus Islam yang banyak merugikan umat Islam sendiri, dan artikulasi keagamaan yang ‘ngawur’ dari para agamawan, akan memperparah rasa ketertindasan secara sosial, ekonomi dan politik, kemungkinan besar akan lebih mendorong munculnya kembali gerakan formalistik sebagai bentuk perlawanan menentang negara yang makin pongah. Pemerintah yang hanya ‘ngemong’ pendukungnya dan komunitas yang sejalan denganya, tentunya akan memberikan dampak serius pada kelompok lain.
Dirasa penting, selain negara harus menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial, juga mengusahakan adanya ‘kesepakatan hubungan’ tanpa merugikan satu dengan yang lainya. Ada banyak unsur disini : agama dengan segala bentuk aliran-alirannya, bangsa dengan macam-macam kerajaan-kerajaannya, suku-ras dengan struktus komutiasnya yang sangat berbeda-beda dan lain-lain. Tentunya ini merupakan pola yang sangat rumit. Pancasila sebagai pemersatu harus diberikan ‘syarah’ penjelasan secara mufakat atau bersama-sama, tanpa mengkebiri salah satu pihak. Dan ini hanya bisa dilakukan minimal dalam tingkat kementrian, tidak hanya mengandalkan badan-badan khusus yang belum jelas sumber pendanaanya.
Terkait harmonisasi Islam dan Politik bagaimana seharunya ; bisa dilihat, bahwa Islam tidak mempunyai sistem yang baku terkait bentuk atau tatanegara, ada yang berbentuk pemilihan (terjadi pada masa Kholifah Abu Bakar), ada juga yang berbentuk penunjukan (representasi dari pengangkatan Kholifah Umar bin Khotob). Ini bisa diartikan, bahwa yang dibawa kaum formalis atau monolitik hanyalah bentuk ‘ijtihad’ atau interpretasi suatu golongan. Islam membutuhkan negara, dan negara harus mengayomi Islam.
Menurut penulis, sistem monolitik dapat terbentuk karna dua hal : ‘sifat menguasai’ atau ‘karna dikuasai/ didzolimi’. Karakter menguasai dalam Islam tidak pernah dicontohkan dalam ekspedisi perjalanan Nabi Muhammad. Ekspansi-ekspansi yang dilakukan karna adanya kedzoliman-kedzoliman yang terjadi. Hal ini juga dibuktikan; Islam di Indonesia tidak disebarkan melalui jalur peperangan. Alasan kedua, karna ‘merasa terdzolimi’ merupakan sebab yang masuk akal, dan inilah yang membentuk kelompok-kelompok muslim militan seperti al-Qaida, Ikhwan Muslimin dan Hizbut Tahrir dan lain-lain.
Kemudian, bagaimana agar prinsip pokok ajaran Islam, hukum-hukumnya masih bisa terjaga jika masih menggunakan bentuk negara-bangsa atau tidak berbentuk negara Islam? Pancasila dan UUD 45 sudah mengatur sedemikian rupa, bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama. Jalan satu-satunya adalah memperjuangkan hak itu melalui keterwakilan di lembaga-lembaga negara. Tentunya, sebagai wakil muslim harus memperjuangkan hak-hak orang Islam.
Jika pada zaman Nabi ada “Piagam Madinah” (konsensus perjanjian hukum untuk semua golongan di kota Madinah) yang semua golongan memiliki keterwakilan dan hak-kewajiban yang sama. Dewasa ini ada sebuah istilah dalam Hukum Islam yang dinamakan : “Taqnin Syariah” (pengkodifikasian Hukum Fikih dalam bentuk Undang-Undang yang sudah disepakati bersama) inilah yang harus diperjuangkan bersama. Memasukkan unsur-unsur subtantif Islam dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat bersama, dan mengkontrolnya agar tidak terlewat batas.
[1] Badan ini dibentuk berdasarkan peraturan presiden nomor 54 tahun 2017