Dinasti Thahiriyah: Otonomi yang Menginspirasi di Tengah Kekuasaan Abbasiyah
MAHADALYJAKARTA.COM—Dinasti Thahiriyah adalah salah satu dinasti penting dalam sejarah Islam, yang berkuasa di wilayah Persia pada abad ke-9 hingga ke-10 M. Dinasti ini didirikan oleh Thahir ibn Husain dan dikenal sebagai salah satu dinasti pertama yang merdeka dari kekuasaan Abbasiyah. Dalam artikel ini, kita akan membahas latar belakang, perkembangan, serta pengaruh dinasti Thahiriyah dalam peradaban Islam.
Dinasti kecil yang muncul di sayap timur Baghdad dan tampil sebagai monster yang disegani oleh kerajaan-kerajaan sekitarnya, bahkan oleh kekaisaran Romawi adalah Dinasti Thahiriyah. Dinasti ini berpusat di Khurasan, Ibu kotanya terletak di Naisabur. Dinasti Thahiriyah didirikan pada tahun 821 M, oleh Thahir al- Husain ( 150-207 H/820-872 M) yang berasal dari Persia.
Menurut sejarahnya Dinasti Thahiriyah berawal ketika Thahir bin al-Husain berhasil menumpas pemberontakan kaum Khawarij di Khurasan. Atas keberhasilannya itu, Al-Makmun mengganjarnya dengan memberikan sub-otonomi kepada Khurasan. Ia tidak punya kewajiban lain, kecuali hanya membayar pajak tahunan kepada khalifah, sehingga ia bisa leluasa menjalankan perannya sebagai penguasa kecil yang mendapatkan otonomi daerah dari Dinasti Abbasiyah.
Thahir bin al-Husain lahir di desa Musanja, dekat Marw, di Khurasan. Ia menjabat sebagai panglima tentara di masa pemerintahan Al-Ma’mun. Thahir bin al-Husain terkenal dengan sebutan “Jenderal bermata satu.” Meskipun demikian, beliau sangat ahli menggunakan pedangnya, oleh karena itu ia diberi gelar oleh Khalifah al-Ma’mun Dzu Al-Yaminain (bertangan kanan dua). Pada tahun 205 Hijriyah khalifah al-Ma’mun memberi kesempatan kepada Thahir bin al-Husain untuk memegang jabatan gubernur di Mesir.
Ia mendirikan Dinasti Thahiriyah di tengah ketidakstabilan politik yang melanda kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu, kekhalifahan Abbasiyah mengalami banyak tantangan, termasuk pemberontakan dan ketidakpuasan di kalangan gubernur regional. Thahir ibn Husain, yang awalnya diangkat sebagai gubernur Khurasan oleh Khalifah al-Ma’mun, berhasil menguasai wilayah tersebut dan mendeklarasikan kemerdekaannya.
Thahir ibn Husain memerintah dari 820 hingga 822 M. ia wafat karena mengalami sakit demam. Adapun versi lain menyebutkan bahwa ia wafat karena keracunan. Selama masa pemerintahannya, ia berfokus pada penguatan kekuasaan dan stabilitas di Khurasan. Ia membangun infrastruktur, termasuk jalan dan kanal, serta mendukung pertanian. Hal ini berdampak positif pada ekonomi wilayah tersebut.
Setelah Thahir, dinasti ini diteruskan oleh anaknya yaitu Talhah bin Thahir yang memerintah selama enam tahun (207-213 H) atas persetujuan al- Makmun. Pada masa pemerintahan Talhah bin Thahir ini, ia berusaha meningkatkan hubungan kerjasama dengan pemerintahan pusat. Adapun gubernur- gubernur yang berkuasa di daerah Khurasan selama Dinasti Thahiriyah berkuasa, yaitu
- Tahun 820-822 M Gubernur Thahir bin AL-Husaini
- Tahun 822-827 M Gubernur Thalhah bin Thahir
- Tahun 827-844 M Gubernur Abdullah bin Thahir
- Tahun 844-862 M Gubernur Thahir bin Abdullah
- Tahun 862-872 M Gubernur Muhammad bin Thahir
Di era pemerintahan Abdullah Bin Thahir, hubungan baik dengan pemerintahan Abbasiyah berhasil dipertahankan, bahkan Mesir diserahkan kepadanya pada tahun 210 Hijriyah. Thahiriyah mencapai puncak kejayaannya dengan memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke daerah Persia dan wilayah sekitarnya.
Para sejarawan mengakui bahwa Thahiriyah telah memberikan sumbangan besar dalam memajukan perekonomian, kebudayaan, serta ilmu pengetahuan. Salah satu kota yang menjadi pusat perkembangan ilmu dan kebudayaan di timur serta pertumbuhan ekonomi yang baik adalah kota Naisabur.
Dinasti Thahiriyah juga dikenal sebagai pusat perkembangan budaya dan ilmu pengetahuan. Mereka mendukung seni, sastra, dan ilmu pengetahuan, menjadikan Khurasan sebagai salah satu pusat intelektual pada masanya. Banyak ilmuwan dan penyair terkenal muncul dari wilayah ini.
Sastra Persia mengalami perkembangan pesat selama masa Thahiriyah. Banyak puisi dan karya sastra yang ditulis pada periode ini, mencerminkan kemajuan budaya dan intelektual. Salah satu tokoh sastra yang terkenal adalah Abu Nawas, seorang penyair yang karyanya menjadi terkenal di seluruh dunia Islam.
Di bidang ilmu pengetahuan, Thahiriyah mendukung pengembangan berbagai disiplin ilmu, termasuk matematika, astronomi, dan kedokteran. Para ilmuwan seperti al-Khawarizmi dan al-Razi melakukan penelitian di bawah perlindungan dinasti ini, yang berkontribusi pada kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Dinasti Thahiriyah memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan politik, sosial, dan budaya di wilayah Persia dan sekitarnya. Mereka menjadi model bagi dinasti-dinasti selanjutnya dalam mengelola pemerintahan dan mengembangkan kebudayaan.
Dinasti ini menunjukkan bahwa pemerintahan yang efektif dapat dilakukan oleh gubernur daerah yang merdeka. Konsep pemerintahan yang otonom ini kemudian diadopsi oleh banyak dinasti lain dalam sejarah Islam, termasuk Dinasti Samanid yang muncul setelahnya.
Warisan budaya Thahiriyah terus berlanjut hingga saat ini. Kontribusi mereka dalam sastra dan ilmu pengetahuan menjadi bagian penting dari warisan budaya Persia dan dunia Islam. Karya-karya sastra dari masa ini masih dipelajari dan dihargai hingga sekarang.
Dinasti Thahiriyah merupakan salah satu dinasti yang memainkan peran penting dalam sejarah Islam, terutama di wilayah Persia. Melalui kepemimpinan yang kuat dan dukungan terhadap budaya serta ilmu pengetahuan, mereka meninggalkan warisan yang tak terlupakan. Dinasti ini menunjukkan bagaimana pemerintahan yang otonom dan pengembangan budaya dapat berjalan beriringan, menciptakan lingkungan yang subur untuk kemajuan peradaban.
Pada tahun 213 H, wilayah kekuasaan Thahiriyah mulai dipersempit oleh khalifah Abbasiyah, ketika jabatan gubernur dipegang oleh Muhammad bin Thahir, yang merupakan gubernur terakhir, kekuasaan daulah Thahiriyah menjadi lebih lemah karena kawasan Khurasan diambil alih oleh bani Shafariyah melalui kontak senjata. Dalam keadaan yang sangat lemah inilah bani Alawiyin dan pengikutnya di Tabaristan menggunakan peluang dengan melakukan perlawanan sehingga pada tahun 259 Hijriyah daulah Thahiriyah berakhir.
Setelah kejatuhan dinasti Thahiriyah, Khalifah Abbasiyah tetap mengandalkan mereka untuk menjaga wilayah kekuasaan Islam. Bahkan dengan memanfaatkan kekuatan yang ada, mereka masih berhasil mengamankan wilayah sampai ke Turki. Yang para sultannya telah menyatakan kesetiaan di bawah kekuasaan khalifah Abbasiyah.
Referensi
Amin Syamsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2009.
Dedi Supriadi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Ibnu al-Atsir. Al-Kamil fi at-Tarikh. Beirut: Dar al-Shadir.
Rizem Aizid. Pesona Baghdad dan Andalusia. Yogyakarta: Diva Press, 2017.
Suyuthi Pulungan. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2017.
Kontributor: Nur Afdathul Khoiriyah
Editor: Kurniawati Musoffa