Syekh Siti Jenar, Sang Penyebar Agama Islam  di Pulau Jawa

Syekh Siti Jenar, Sang Penyebar Agama Islam di Pulau Jawa

Ma’had Aly – Syekh Siti Jenar merupakan salah satu tokoh ulama yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa. Nama aslinya adalah Raden Abdul Jalil, ada juga yang menyebutnya Hasan Ali Anshar. Ia juga dikenal dengan nama Sunan Jepara, Siti Brit, Syekh Lemah Abang dan Syekh Jabarantas, karena ia terkenal dengan kesederhanaannya dengan pakaian yang robek-robek. Dengan penampilannya yang sederhana, beliau tetap rendah hati dan mau belajar kepada para wali-wali senior.

Terkait asal usulnya, banyak persepsi di kalangan para sejarawan, ada yang mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar adalah seekor cacing yang menjadi manusia, setelah mendengar wejangan dari Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga di atas perahu di tengah laut. Ada juga yang mengatakan Jenar adalah putra dari Sunan Gunung Jati, seorang tukang sihir, keturunan datuk Shaleh, putra Ratu Cirebon yang ditugasi menyiarkan Islam di seluruh tanah Jawa dan ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Siti Jenar adalah keturunan Nabi Muhammad saw. melalui Fatimah dan Ali bin Abi Thalib, turun ke Husein, terus ke Ali Zainal Abidin turun ke Ja’far Shadiq, hingga ke Maulana Malik yang tinggal di Bharata Nagari.

Dari sekian banyak versi, penulis mengambil pendapat yang lebih logis bahwa Siti Jenar masih keturunan Nabi Muhammad saw. Ia lahir sekitar tahun 1426 M di lingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban Larang, yang sekarang dikenal dengan nama Astana Japura sebelah Tenggara Cirebon. 

Terkait kelahiran dan nasabnya hingga ke Rasulullah saw., bisa kita ketahui bermula dari wafatnya Sultan Iskandar Syah pada tahun 1414 M, kemudian digantikan oleh Muhammad Iskandar Syah. Sepuluh tahun kemudian tepatnya pada tahun 1424 M, terjadi perebutan kekuasaan, yaitu adiknya Mudzafar Syah yang berusaha merebut kekuasaan. Pada saat itulah Syekh Datuk Shaleh pindah untuk menyebarkan Islam di Jawa.

Syekh Datuk Shaleh adalah putra dari Syekh Datuk Isa yang merupakan ulama terkemuka di Malaka. Sedangkan Syekh Datuk Isa adalah putra dari Syekh Ahmad Jamaluddin, ulama Islam yang bermukim di Champa (Kamboja). Syekh Ahmad Jamaluddin adalah pendatang dari India, ia adalah putra Syekh Abdullah Khannuddin seorang mursyid Tarekat Syathariyah yang terkenal di India. Syekh Abdullah Khannudin sendiri adalah putra dari Syekh Abdul Malik yang juga seorang pendatang dari India. Beliau berasal dari Qazam, Hadramaut. Syaikh Abdul Malik adalah putra dari Syekh ‘Alawy yang merupakan turunan dari seorang ulama terkenal yang bernama Syekh Isa Al-Muhajjir Al-Anshori Al-‘Alawiy. Dari inilah nasab Syekh Siti Jenar bersambung hingga Rasulullah saw., maka jelaslah bahwa Syekh Siti Jenar adalah keturunan Rasulullah saw. 

Pada tahun 1425 M, Syekh Datuk Shaleh tiba di Caruban Larang (Cirebon) bersama istri dan pengikutnya, kemudian ia menetap di daerah Pakuwuan Cirebon atau Astana Japura (sekarang) yang terletak di sebelah tenggara kota Cirebon. Di sana ia bersahabat dengan Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama sekaligus guru dari Pangeran Cakrabhuwana yang lebih dulu tiba di Cirebon. Pada awal tahun 1426 M, Syaikh Datuk Shaleh wafat, yang pada saat itu istrinya sedang tengah mengandung semenjak kepergiannya di Malaka. Tak lama setelah itu lahirlah anaknya yang diberi nama San Ali Anshar yang dikenal dengan sebutan Syekh Siti Jenar

Pendidikan dan Ajaran Siti Jenar

Di dalam Naskah Negara Krethabumi Sargha III pupuh 77, dijelaskan bahwa Siti Jenar sewaktu dewasa pergi menuntut ilmu ke Persia (Iran) dan tinggal di sana selama 17 tahun. Ia berguru kepada Syekh Abdul Malik Al-Baghdadi (Syi’ah Imamiyah) yang suatu saat menjadi mertuanya. Sewaktu belajarnya ia sangat senang terhadap ilmu tasawuf, sehingga ia juga berguru kepada Syekh Ahmad Al-Baghdadi yang menganut tarekat Akmaliyah yang jalur silsilahnya sampai kepada Abu Bakar as-Shiddiq ra.

Tarekat Akmaliyah ini menjelaskan tentang perjalanan spiritual seorang hamba untuk sampai kehadirat Allah swt. harus melalui empat tahap. Pertamaanak tangga istighfar yang mana dengan anak tangga ini akan tercapai maghfirah (ampunan) yang terpancar dari al-Ghaffar (Sang Maha Pengampun) dan akan menyingkap selubung hijab. Keduaanak tangga shalawat, yang mana dengan anak tangga ini seorang salik akan menyadari dirinya adalah bagian dari pancaran Nur Muhammad, yang selanjutnya dengan pancaran ini seseorang dapat melanjutkan perjalanan ke Haqiqah al-Muhammadiyyah. Ketigaanak tangga tahlil, yakni sebuah tangga pentauhidan, yang mana dengan anak tangga ini seorang salik dapat mengetahui esensi atau makna rahasia di balik Haqiqah al-Muhammadiyyah, inilah tahap yang disebut dengan Wahdah as-Syuhud. Keempatsetelah seorang salik mencapai tahap Syuhud, maka dia akan mencapai tangga Nafs al-Haqq yang ketika seorang salik berada dalam tahap ini, maka dia akan berada dalam posisi fana’ (peniadaan diri) karena kehidupannya telah telah terhubung dengan al-Haqq.

Ajaran tarekat Akmaliyyah yang pada masa silam dianut dan diamalkan oleh tokoh sufi Husein bin Mansyur al-Hallaj dan Ibnu ‘Araby, nampaknya mempengaruhi ajaran Siti Jenar, sebagaimana ajaran Hallaj tentang Hulul. Siti Jenar juga mengajarkan bahwa penciptaan alam semesta ini tidak lain karena Allah swt ingin menyaksikan-Nya di luarnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadist Qudsi yang artinya “Aku adalah harta yang tersembunyi, lalu aku ingin dikenal maka aku ciptakan makhluk.

Oleh karena itu, menurut Siti Jenar semua yang ada baik manusia maupun alam adalah Allah semata. Maka ketika Allah swt. menciptakan alam semesta, tidaklah dengan zat yang lain, melainkan dengan zat-Nya sendiri (emanasi), yang lewat ciptaan itulah, Allah swt menyaksikan kekuasaan-Nya. Sebagaimana Ibnu ‘Araby, Siti Jenar meyakini bahwa semua ciptaan Allah (khalq) di dalamnya ada sir sang pencipta (Haqq), dimana Khalq disebut dzahir dan Haqq disebut bathin. Sehingga menurutnya, yang memiliki wujud hakiki adalah Allah sang Khaliq dan Khalq (ciptaan) hanyalah bayangan maya dari Tuhan.

Ajaran Siti Jenar yang paling terkenal adalah ajaran Manunggaling Kawula Gusti (wahdah al-wujud). Ajaran Manunggaling Kawula Gusti (wahdah al-wujud) adalah suatu ajaran yang menjelaskan keberadaan manusia atau alam semesta sebagai sesuatu yang tidak ada (‘adam/fana), karena pada hakikatnya yang ada itu hanyalah Tuhan semata. Manusia dan alam adalah ciptaan Tuhan, yang pada akhirnya semuanya pasti akan kembali kepadanya (innalillahi wa inna ilaihi raji’un). Sebesar apapun titelnya manusia baik seorang raja ataupun bupati, kalau tidak mengetahui hakikat sejati kehidupan, maka mereka akan jatuh ke dalam kekosongan ukhrawiyah. Sebaliknya meski orang itu terlihat hina, fakir, pengemis kalau telah memahami hakikat kehidupan, faham keunggulan antara khalq dengan haqq, maka akan ia peroleh hidup yang abadi.

Selain tarekat Akmaliyyah, Siti Jenar juga menganut tarekat Syathariyah yang berjalur ke Sayyidina Ali (karamallahu wajhah), yang diperoleh dari saudara sepupunya, juga guru ruhaninya yaitu Syekh Datuk Kahfi. 

Wilayah dan Sebaran Dakwahnya

Naskah Negara Krethabumi Sargha III (pupuh 77), mengisahkan bahwa setelah menuntut ilmu dari Baghdad, Siti Jenar pergi ke Malaka dan mengajarkan ilmu agama di sana sampai diberi gelar Syekh Datuk Abdul Jalil dan Syekh Jabarantas. Ia telah menikah dengan seorang wanita dari Gujarat dan memiliki putra yang bernama Ki Datuk Pardun dan Ki Datuk Barbud. Namun tak lama di Malaka, ia pergi ke Jawa menuju Giri Amparan Jati dan tinggal disana bersama Syekh Datuk Kahfi (saudara sepupunya). Setelah itu, Siti Jenar pergi ke Cirebon Girang dan tinggal di sana.

Di tempat inilah Siti Jenar berdakwah, menyebarkan agama Islam sehingga ia meiliki banyak murid, baik di kalangan masyarakat biasa maupun bangsawan. Di antara murid-muridnya adalah Ki Ageng Kebo kenongo bupati Pengging, Pangeran Panggung, Sunan Geseng, Ki Lothang, Ki Datuk Pardun, Ki Jaka Tingkir Sultan Pajang, Ki Ageng Butuh, Ki Mas Manca, Ki Gedeng Lemah Putih, Pangeran Jagasastru, Ki Gedeng Tedang, Pangeran Angkasara, Ki Buyut Kalijaga dan masih banyak lainnya.

Di dalam Naskah Cerita Purwakarta Caruban Nagari, disebutkan bahwa Siti Jenar bersahabat karib dengan Sunan Kalijaga (tetapi bukan muridnya). Setelah banyak muridnya, ia mendirikan sebuah pesantren di Dukuh Lemah Abang yang terletak di sebelah Tenggara Cirebon Girang. Saat inilah Siti Jenar dikenal dengan sebutan Syekh Lemah Abang. Cerita Purwakarta Caruban Nagari menggambarkan bahwa Siti Jenar adalah anggota wali songo yang dipimpin Sunan Ampel. 

Menurut Naskah Nagara Kretabhumi, dakwah Siti Jenar yang mempunyai murid banyak, membuat Sultan Demak (Trenggono) marah. Terutama ketika Siti Jenar mendukung muridnya Ki Kebo Kenongo mendirikan kerajaan di Pengging. Kemudian Sultan Demak mengutus Sunan Kudus untuk membinasakan Pengging, namun Siti Jenar bisa melarikan diri. 

Di dalam Carita Purwaka Caruban Nagari disebutkan bahwa Siti Jenar yang dari Baghdad menganut ajaran Syi’ah Munthadhar pergi ke Pengging, Jawa Timur untuk mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging dan masyarakat sekitar. Tapi pemuka agama tidak suka dan memusuhinya hingga ia dibunuh oleh Sunan Kudus di dalam Masjid Sang Cipta Rasa pada tahun 1505 M, kemudian dimakamkan di Mandala Anggaraksa, Cirebon. 

Di dalam Babad Tanah Jawi dikatakan bahwa ketika ki Kebo Kenongo masuk Islam, Sultan Demak marah karena Ki Kebo Kenongo tidak sowan dulu kepadanya. Akhirnya ia dibunuh oleh Sunan Kudus atas perintah dari Sultan Demak. Dari ketiga cerita itu tergambarkan bahwa Siti Jenar selaku gurunya juga dihukum mati. Namun di dalam Serat Niti Mani disebutkan bahwa dibunuhnya Siti Jenar ialah karena ia telah menyebarkan ajaran yang sesat yaitu Sasahidan yang kita kenal dengan Manunggaling Kawula Gusti.

Terkait pembunuhan Siti Jenar dan makamnya, ada banyak perbedaan pendapat. Ada yang menyebutkan ia dimakamkan di Masjid Sang Cipta Rasa di Keraton Kasepuhan, Jawa Tengah, ada juga yang menyebutkan di Masjid Demak. Namun pada intinya, terbunuhnya siti Jenar itu bukan karena ajarannya sesat, namun karena ia mengajarkan ajarannya ke semua orang termasuk orang awam.

Dalam tradisi Islam, orang yang ingin mendalami tasawuf dianjurkan untuk memperkuat syariatnya terlebih dahulu. Agar tidak menjadi orang yang zinqid atau bejat, dan juga sebaliknya. Orang yang sudah kuat syariatnya dianjurkan untuk mengamalkan tasawuf agar tidak tersesat atau fasiq. Para ulama tradisional Indonesia menolak penyebaran wahdatul wujud di kalangan awam, tetapi bagi kepentingan diri sendiri banyak para ulama yang sudah pada tingkatannya mengamalkan itu dan mereka menjalankan amalan itu secara tertutup.

Pemahaman tersebut diperkuat dengan sikap KH. M. Hasyim Asy’ari, yang menolak peringatan kematiannya (haul) di Tebuireng. Beliau mengetahui dengan tepat bahwa suatu saat beliau akan disucikan atau dikultuskan.

Kritik Siti Jenar terhadap Wali Songo dan Dewan Agama

Meskipun Siti Jenar bagian dari Wali Songo, namun ada perbedaan dalam hal pemikiran dengan para wali lainnya (bahkan banyak kontroversi). Meskipun sering berbeda pendapat, Siti Jenar dengan para wali lainnya tidak sampai timbul konflik di masyarakat. Ada sebuah ilmu tentang rahasia Allah yang diperdebatkan oleh Siti Jenar dan wali lainnya.

Di antara para wali adalah Sunan Bonang, Sunan kalijaga, Sunan Majagung, Sunan Gunung Jati, Syekh Bentong dan Syekh Maulana Maghribi. Mereka semua membahas tentang tauhid, ma’rifat dan iman, yang mana maknanya adalah meyakini bahwa Allah itu ada, tunggal tiada duanya dan mengenal Allah swt. sedemikian rupa meyakini bahwa gerak-gerik kita itu berasal dari Allah swt.

Namun dari pernyataan tersebut, Siti Jenar membantah bahwa ia mengatakan: “Mari kita terus terang bahwa aku ini adalah Allah. Saya menyampaikan ilmu tentang ketunggalan, tubuh ini bukanlah tubuh, karena hakikatnya tubuh ini tidak ada, ini adalah jelmaan dari Tuhan.” Siti jenar menganggap bahwa dirinya itu adalah Allah, karena sebenarnya diri ini tidak ada, dan yang ada hanyalah Allah.

Dari sinilah Siti Jenar dihukum mati, karena telah salah menyebarkan ajaran tersebut (rahasia Allah) ke semua orang termasuk orang awam, yang padahal seharusnya ajaran tersebut hanya cukup untuk dirinya dan yang sudah mencapai maqam tersebut.

Referensi

Chodjim, Achmad. 2007. Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan. Jakarta: Serambi

Nawawi, Rohimanudin Al-Bantani. 2017. Kisah Ajaib Wali Songo. Depok: PT MELVANA MEDIA INDONESIA

Simon, Hasanudin. 2004. Misteri Syekh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sunyoto, Agus. 2018. Atlas Wali Songo. Tanggerang Selatan: Pustaka IIMaN

Nur, Hasan. “Gusdur, Syekh siti Jenar dan Wahdatul Wujud”.

https://alif.id/read/nur-hasan/gus-dur-syekh-siti-jenar-dan-wahdatul-wujud-b213593p/ diakses pukul 15.00 WIB, 02 Oktober 2019.

Oleh : Mohamad Anwar, Semester III

Leave a Reply