Cahaya Islam di Andalusia, Pintu Gerbang Eropa

Cahaya Islam di Andalusia, Pintu Gerbang Eropa

Munculnya agama Islam telah membawa dampak dan perubahan yang cukup besar dan berpengaruh pada dunia. Dari sisi peradaban, politik, kebudayaan, ilmu pengetahuan, sains, sosial dan ekonomi, para ilmuwan dan saintis Islam telah ahli dalam bidangnya masing-masing. Ilmuwan muslim seperti menjadi guru untuk kemajuan peradaban di Eropa bahkan di dunia.

Islam pada masa kepemerintahan Khulafaur Rasyidin dan Dinasti Umayyah sangatlah menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan umat Islam, maka kesatuannya tetap terjaga hingga jangka waktu yang cukup lama. Pada masa Kekuasaan Dinasti Umayyah, Islam memulai menginjakkan tapak jejak kekuasaannya di Eropa ketika khalifah keenam Dinasti Umayyah, Khalifah Walid ibn Abdul Malik yang berkuasa pada tahun 705-715 M.

Dikutip dari buku Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II yang ditulis oleh Prof. DR. Imam Fu’adi, M.Ag. bahwasannya, perluasan wilayah yang dilakukan kaum muslimin ke daerah Andalusia diawali oleh tiga tokoh pahlawan, mereka adalah Tarif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn Nusair, dibantu kekuatan 400 pejalan kaki dan 100 cavaliers (tentara berkuda). Serangan pertama dilancarkan pada bulan Juli 710 M di Semenanjung Tarif. Hasilnya adalah kemenangan yang didapatkan kaum muslimin.

Serangan kedua dilancarkan pada tahun 711 M ketika bangsa Visigoth (Gothic) sedang dilanda kemelut politik di dalamnya. Di saat yang sama, Raja Roderick sedang menghadapi kerusuhan para pemberontaknya. Theodomir akhirnya melaporkan berita kedatangan kaum muslimin kepada King Roderick. Dengan berita tersebut, King Roderick menyiapkan pasukan sebanyak 100.000 orang. Kemudian Tariq meminta pasukan sebanyak 5.000 dan jumlah total mencapai 12.000 orang. Pertempuran kedua ini terjadi pada tanggal 19 Juli 711 M di tepi Sungai Lakkah (Salado). Pertempuran ini berlangsung selama delapan hari. Hasilnya, pasukan Roderick dikalahkan umat muslim. Raja Roderick, yang merupakan penguasa terakhir kerajaan Visigoth tewas terbunuh.

Setelah kemenangan ini, kaum Muslimin berturut-turut menguasai kota demi kota. Terhitung dari tahun 711 M kota Sidonia, Carmona, Ecija, Cordova, Malaga, Elvira, Granada, Toledo dan Astorga berhasil dilumpuhkan. Pada tahun 713 M, kota Seville, Zaragoza, Leon, Aragon, Austrias, dan Galisia berhasil dikuasai. Setelah penaklukkan itu, kekhalifahan Bani Umayyah kemudian mengganti nama Spanyol dengan nama Andalusia, dan menjadikan salah satu provinsi dari kekhalifahan Bani Umayyah.

Namun, setelah runtuhnya pemerintahan Bani Umayyah muncullah keretakan yang terjadi dalam umat Islam. Sebagian wilayah akhirnya memisahkan diri dari kepemerintahan Bani Abbasiyah. Di antara negeri-negeri yang memisahkan diri adalah Bani Umayyah di Andalusia (138 H/755 M), Bani Midrar di Sajalmasah, Maroko (140 H/757 M), Rustumiyah di Aljazair (160 H/776 M), Adarisah di Marakisy (172 H/788 M) dan Aghalibah di Qayrawan (184 H/800 M).

Mengkutip dari buku Sejarah Islam yang ditulis oleh Ahmad al ‘Usairy, Islam kemudian mengalami perpecahan yang diakibatkan runtuhnya Kekhalifahan Dinasti Umayyah dan kepemimpinan Bani Abbasiyah. Akibatnya, banyak yang memisahkan diri dari kepemerintahan Bani Abbasiyah lalu mendirikan kerajaan kecil. Salah satunya adalah Kekhalifahan Umayyah di Andalusia.

Kisah awal mula berdirinya Dinasti Umayyah Andalusia ini berawal dari pelarian yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Muawiyah bin Hisyam bin Abdul Malik al-Umawi, dari usahanya menghindari kejaran yang dilakukan orang-orang Bani Abbasiyah setelah runtuhnya kerajaan Bani Umayyah di Damaskus. Dia melarikan diri ke daerah Andalusia dan kemudian dikenal dengan julukan Abdurrahman ad-Dakhil.

Saat menginjakkan kaki di daratan Andalusia, terjadi sebuah konflik perebutan kekuasaan yang melibatkan al-Mudhariyah dan Yamaniyah. Kekuasaan berada di tangan Yusuf al-Fihri yang berasal dari Mesir. Orang-orang Yaman pun bersatu di bawah komando Abdurrahman ad-Dakhil. Terjadilah pertarungan antara kedua belah pihak di kota Cordova selama setahun. Akhirnya, Abdurrahman ad-Dakhil berhasil mengalahkan mereka pada tahun 138 H/756 M, sekaligus pengukuhan berdirinya Dinasti Umayyah. Karena pengaruh dan dukungan terhadapnya semakin besar, maka dia pun memiliki ambisi untuk menguasai kembali daerah Syam (Syria) dari kekuasaan Bani Abbasiyah.

Mengetahui hal ini, Abu Ja’far al Manshur beberapa kali mengirimkan pasukannya untuk mengalahkan Abdurrahman ad-Dakhil. Namun dari semua usaha serangan itu, mereka mengalami kegagalan untuk dapat  mengalahkan Abdurrahman Ad-Dakhil dan pasukannya. Karena itu, Khalifah Abu Ja’far al Manshur menjuluki Abdurrahman ad-Dakhil dengan julukan Shaqr Quraisy, karena dia sangat kagum kepadanya kemudian berhenti menyerangnya. Usaha yang sama juga dilakukan oleh Khalifah al-Mahdi, namun kegagalan juga menyertainya dalam usahanya mengalahkan Abdurrahman ad-Dakhil. Setelah itu, mereka juga membiarkannya.

Abdurrahman ad-Dakhil akhirnya wafat pada tahun 172 H/788 M setelah menjadikan Cordova sebagai pusat pemerintahan Dinasti Umayyah di Andalusia. Kekuasaannya setelah itu dilanjutkan oleh al-Hakam ibn Hisyam. Setelah itu, akhirnya muncullah Khalifah Abdurrrahman an-Nashir III yang berkuasa dari tahun 300-350 H/912-961 M. Dia diangkat sebagai khalifah ketika Andalusia berada dalam goncangan hebat dari pemberontak. Setelah menaklukkan para pemberontak, kemudian dia menyerang kerajaan-kerajaan Kristen dan berhasil memenanginya dengan telak.

Abdurrahman an-Nashir seringkali memimpim tentara Islam. Dia kalah saat menghadapi pasukan Kristen pada perang Parit (308 H/920 M). Namun, kemudian dia berhasil menguasainya kembali. Pada masa kekuasaannya, Andalusia berada dalam kemajuan yang cukup pesat dalam bidang peradaban, politik dan pembangunan sehingga mendapatkan respect dari banyak pihak.

Mengkutip dari buku Sejarah Politik Islam karya dari Prof Dr. Didin Saefuddin Buchori, MA, bahwa di bidang ilmu dan kebudayaan, Andalusia seakan menjadi guru bagi bangsa Eropa. Karena dari sinilah muncul banyak ilmuwan yang ahli dibidangnya masing-masing. Di antaranya Ibnu Bathutah (Geografi), Ibnu Khaldun (Sosial, Ekonomi dan Sejarah), Ibn Bajjah, Ibn Thufayl, Ibn Rusyd dan al Bitruji (Filsafat). Kemasyhuran ilmuwan Muslim ini menembus jauh ke ujung dunia yang lain.

Setelah pemerintahan Bani Umayyah di Andalusia mulai retak, Muncullah negeri-negeri kecil yang mereka sebut dengan Muluk Thawaif. Di antaranya terdapat negeri Dzu an-Nun (Toledo), Az-Zairiyah (Granada), Bani al-Afthas, Al-Jahrawiyah, Al-Hamudiyah (Cordova dan Malaga), Al-Hudiyah, Al-Amirriyah (Almeria), dan Al-Ibadiyah. Semua negeri-negeri kecil ini sangat lemah, saling berperang dan terpecah belah. Kondisi ini berlangsung selama kurang lebih seratus tahun. Akhirnya, Raja Spanyol berhasil menguasai mereka dan Seville, salah satu negeri Islam terbesar di Andalusia.

Maka akibat pengaruh itu, Al-Mu’tamid bin Iyad meminta bantuan kepada Yusuf bin Tasyafin, raja Barbar pertama yang menjadi pemimpin Al-Murabithun di Maghrib (Maroko). Dia akhirnya berhasil menaklukkan orang-orang Kristen di bawah komando Raja Alfonso VI pada perang Zalaqah yang terjadi pada tahun 479 H/1086 M. Dia berhasil menguasai Andalusia dan menyatukannya di bawah pemerintahan Dinasti Al-Murabithun. Wilayah kekuasaannya berada pada cakupan dari timur wilayah Tunis ke barat hingga Lautan Atlantik, di sebelah utara Laut Tengah hingga selatan di wilayah perbatasan Sudan. Setelah itu dia membangun kota Marakisy, yang kemudian dijadikan sebagai pusat pemerintahan oleh anaknya, Khalifah Ali bin Yusuf. Dia melanjutkan jihad ayahnya dan berhasil mengalahkan tentara Kristen pada perang Iqlisy (502 H/1108 M).

Setelah itu, pemerintahan ini mengalami kemunduran dan akhirnya dikalahkan oleh orang-orang Muwahiddun pada tahun 541 H/1147 M. Pemerintahan Al-Muwahiddun dimulai sejak kemunculan Muhammad bin Tumart. Dia memulai orasi di Aghmat dan menyerukan untuk meruntuhkan kerajaan Al-Murabithun. Dia digantikan oleh Abdul Mu’min bin Ali yang berhasil mengusir Al-Murabithun pada tahun 541 H/1147 M. Tokoh yang paling menonjol adalah Ya’qub bin Yusuf yang berhasil mengalahkan pasukan Kristen Andalusia pada tahun 591 H/1194 H. Namun tak lama kemudian, kaum Muwahiddun kembali berhasil dikalahkan pada perang Hish al ‘Iqab (609 H), sehingga membuat posisi mereka semakin melemah. Puncaknya setelah terjadi perang saudara dari tahun 609-668 H/1212-1269 M. Kejadian ini dimanfaatkan dengan baik oleh orang-orang Spanyol sehingga kaum Salib akhirnya berhasil menguasai sebagian besar kota di Andalusia.

Setelah kekuasaan kaum al-Muwahiddun di Andalusia melemah, pemerintahan ini menjadi terpecah belah akibat perang saudara tersebut. Didukung dengan semakin kuat dan kerasnya tekanan orang-orang Kristen terhadap mereka. Akhirnya, muncul salah satu tokoh yang bernama Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf dari Bani Nashruddin (635-671 H) dan berhasil menguasai Granada.

Pada masa itu, kota-kota yang lain telah berhasil dikuasai orang-orang Kristen. Dimulai dengan jatuhnya kota Cordova, Valencia, Daniah, Jiyan, Syatibah, Seville, Marasiyah (Murcia), dan sebagainya dalam kisaran waktu 633-665 H. Dari semua itu, hanya tersisa kota Granada yang masih dikuasai kaum Muslimin.

Muhammad ibn Ahmar berhasil memenangkan pertarungan dengan pasukan Ferdinand III, raja Castilla. Kemudian, anak keturunannya melanjutkannya atas kekuasaan kota Granada selama 250 tahun. Namun, pada akhirnya kekuasaan mereka mulai melemah dan akhirnya dikalahkan dan diusir oleh pasukan Kristen pada tahun 897 H/1492 M. Salah satu dari penyebab kekalahan ini adalah pengkhianatan yang dilakukan oleh penguasa mereka sendiri, yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ali (892-897 H). Ia mengkhianati negeri dan rakyatnya sendiri, ketika bergabung dengan pasukan Ferdinand III lalu ikut perang bersama mereka. Setelah mengalami kemenangan, dia mengirimkan utusan untuk mengucapkan selamat kepadanya. Namun, pasukan Kristen menyerang dan merampas harta kekayaannya hingga akhirnya dia lari ke Afrika dan hidup sebagai peminta-minta.

Setelah jatuhnya Granada ke tangan orang-orang Kristen sekaligus menjadi titik akhir dari kiprah kekuasaan Kaum Muslimin selama kurang lebih sembilan abad di daerah Andalusia. Setelah itu, proses kristenisasi dilakukan oleh kaum Kristen di Andalusia dan mencoba untuk menghapus peradaban Islam yang pernah berkembang dan bahkan maju di daratan Andalusia.

Referensi;

Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbarmedia, 2016).

Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009).

Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta; Teras, 2012)

Oleh : Ma’mun Fuadi, Semester V

Leave a Reply