Ma’had Aly – Al Mutawakkil ‘Alallah III, merupakan putera dari Khalifah al Mustamsik. Pada tahun 1508 M, ia diangkat menjadi khalifah Abbasiyah setelah ayahnya yang bernama Khalifah al Mustamsik diturunkan dari jabatannya. Khalifah al Mutawakkil lebih cenderung kepada Ahlus Sunnah. Hal ini dilakukannya dengan cara banyak membantu mereka yang memiliki akidah dan pandangan Ahlus Sunnah. Ia juga disebut sebagai khalifah pembela Ahlu Sunnah, denganmencabut aturan yang mengharuskan setiap orang untuk mengatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk. Perintah ini disebarkan ke seluruh wilayah kekuasaannya pada 234 H. Pada masa awal kepemimpinannya, terjadi Perang Chaul antara pasukan Mesir dengan tentara Portugis, yang dikomandoi oleh Lourenco de Almeida. Dalam pertempuran ini, Lourenco de Almeida terbunuh dan pasukan Mesir berhasil mengalahkan mereka.Pada tahun berikutnya, kembali terjadi pertempuran yang dinamakan Perang Diu karena terjadi di sekitar Pelabuhan Diu. Dalam perang ini, Mesir dapat dikalahkan dan hasilnya pelabuhan ini direbut oleh pasukan musuh yang dipimpin oleh Francisco de Almeida dari Kesultanan Gujarat.
Beberapa tahun setelah perang tersebut, pasukan Mesir kembali dibuat menderita malapetaka setelah Alfonso de Albuquerque merebut kota Aden, Yaman. Kemudian Sultan al Ashraf Qansuh al Ghawri mempersiapkan armada baru untuk mengusir musuh dan berusaha melindungi para pedagang yang berasal dari India. Akan tetapi, sebelum menyelesaikan semua rencana itu, Mesir telah kehilangan kedaulatannya setelah wilayah Laut Merah serta Mekkah dan Semenanjung Arabia berhasil dikuasai oleh tangan Kesultanan Utsmaniyah.
Peperangan dengan Sultan Ottoman ini dimulai pada tanggal 23 Agustus 1514 M yang ditandai dengan adanya peperangan antara Sultan Selim I (1512-1520 M) dari Kesultanan Utsmaniyah dengan Shah Ismail (1502-1524 M) dari Dinasti Safawiyah di Persia. Dinasti Safawiyah merupakan dinasti yang pernah berkuasa dikawasan Islam Persia. Namanya diambil dari nama seorang tokoh yaitu Syaikh Shafial Din yang merupakan nenek moyang keenam dari Shah Ismail. Dalam peperangan ini, pada tahun 1515 M pasukan Persia berhasil dikalahkan sehingga menjadikan Turki Utsmaniyah semakin berkuasa dan kemudian berhasil menduduki ibukota Ismail, Tabriz, Mesopotamia, dan sebagian wilayah Armenia.
Menurut Philip K. Hitti dalam Histiry of Arabs menyatakan bahwa, pada musim semi tahun berikutnya, Sultan al Ashraf Qansuh al Ghawri beregerak menuju kota Aleppo dengan dalih sebagai penengah diantara konflik antara Turki Utsmaniyah dan Persia. Akan tetapi, realitanya mereka malah membantu sekutunya, pasukan Persia. Dalam hal ini, mereka memberi kesan dengan membawa Khalifah al Mutawakkil beserta kepala qadhi-nya agar mereka seolah-olah datang kepada hadapan Turki Utsmaniyah dengan membawa misi perdamaian. Akan tetapi, Sultan Selim berhasil mengetahui tipu muslihat Sultan al Ashraf dan mengetahui tujuan yang sebenarnya berkat hasil dari pengintaian yang dilakukan oleh agen mata-matanya. Dan ketika utusan Sultan al Ashraf datang ke bumi perkemahan Sultan Selim, jenggotnya dicukur dan dikirim kembali dengan menunggangi keledai dan deklarasi perang dan para pengirim utusan juga dibunuh seluruhnya. Maka, tak ada opsi apapun bagi Sultan al Ashraf selain perang melawan pasukan Turki Utsmaniyah.
Pada tanggal 24 Agustus 1516, kedua pasukan bertemu di Marja Dabik, yang berada di sebelah utara kota Aleppo. Dalam perang ini, Sultan al Ashraf memasang strategi dengan memasang komando pasukan kiri yang dipercayakan kepada Khair Bey, seorang gubernur Aleppo yang cerdik. Dan disaat perang berkecamuk, Sultan al Ashraf terjatuh dari keduanya karena penyakit ayan. Dan seketika, pasukan Turki Utsmaniyah tampil lebih unggul dari pasukan Mesir. Hal ini didukung dari senjata perang yang dilengkapi pasukan artileri, pasukan pemanah, dan senjata jarak jauh. Dan hasilnya pasukan Turki Utsmaniyah berhasil mengungguli pasukan Mesir.
Sultan Selim kemudian memasuki kota Aleppo dengan penuh kemenangan dan disambut oleh masyarakat sebagai pembebas dari sisa-sisa kekuasaan Mamluk. Sultan Selim memperlakukan khalifah dengan ramah. Dalam benteng kota, ia menemukan harta benda yang melimpah dan bernilai jutaan dinar yang disimpan oleh Sultan al Ashraf dan para bangsawan Mesir.
Pada pertengahan bulan Oktober, Sultan Selim bergerak maju menuju Damaskus. Para tokoh pemimpin Damskus ada yang datang menemuinya dan adapula yang melarikan diri ke Mesir. Kemudian, kekuasaan wilayah Suriah diambil alih oleh Kesultanan Turki Utsmaniyah. Sejak Suriah berhasil dikuasai, Kesultanan Turki Utsmaniyah ini kemudian menyapu wilayah bagian selatan hingga ke Mesir. Dan disini, al Ashraf Tuman Bay II (1516-1517 M) telah diangkat menjadi Sultan Mesir. Pada tanggal 12 Januari 1517, kedua pasukan bertemu diluar kota Kairo. Sultan Tuman Bay berhasil dikalahkan dan kemudian melarikan diri kepada pemimpin Baduy. Akan tetapi, ia dikhianati dan kemudin dibunuh oleh mereka. Kemudian mayatnya digantungkan pada tanggal 14 April 1517 M di salah satu pintu gerbang utama kota Kairo. Maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Mamluk.
Sultan Selim kemudian memasuki kota Kairo. Para khatib-khatib shalat jum’at di Mesir melantunkan do’a untuk Sultan Selim dan menjunjung tinggi namanya. Dan dari sini wilayah kota Mekkah dan Madinah otomatis menjadi wilayah kekuasaan Sultan Selim. Setelah tinggal di lembah Nil beberapa saat hingga musim gugur, ia kemudian kembali ke Konstantinopel. Dalam hal ini, Khalifah al Mutawakkil III ikut serta dalam perjalanan menuju Konstantinopel. Ia bersedia menyerahkan jabatan kekhalifahan lengkap dengan segala wewenang dan hak istimewanya kepada Sultan Selim. Ia juga menyerahkan simbol Burdah Nabi kepadanya. Ia sempat beberapa lama tinggal di Istanbul, namun kemudian dipulangkan ke Mesir.
Adapun sebab-sebab keruntuhan Kesultanan Mamluk adalah;
- Tidak adanya perkembangan senjata dan strategi perang, karena masih berpegang teguh pada pasukan berkuda. Berbeda jauh dengan Turki Utsmaniyah yang sudah cukup maju.
- Banyaknya fitnah, instabilitas dan sengketa diantara Mamluk sehingga menimbulkan instabilitas dalam pemerintahan.
- Kebencian rakyat kepada para sultan Mamluk yang memposisikan diri sebagai aristokrat yang tinggi.
- Banyak penguasa Mamluk Burji yang bermoral rendah dan tidak menyukai ilmu pengetahuan.
- Kemewahan dan kebiasaan berfoya-foya di kalangan penguasa, sehingga mengakibatkan pajak dinaikkan dan kemudian berdampak pada semangat kerja yang menurun dan perekonomian negara yang tidak stabil.
- Sultan Mamluk Burji tidak lagi berpegang teguh pada agama Allah dan jauh dari syariat Islam.
Beliau wafat pada tahun 1543 M. Dengan demikian Kekhalifahan Bani Abbasiyah berakhir pada dirinya. Tongkat kekuasaan kemudian beralih ke Sultan Selim dari Dinasti Turki Utsmaniyah.Dengan hancurnya kekuasaan Mamluk dan berkembangnya kekuasaan bangsa Turki di Bosporus, maka fokus kekuatan Islam diarahkan ke Barat. Sejak saat itu, realitanya pusat peradaban dunia telah berpindah ke wilayah Barat, berkat penemuan Benua Amerika dan Tanjung Harapan yang akhirnya membuka rute-rute baru dalam perdagangan dunia.
Dalam sejarah Islam, Khalifah Sultan dari Konstantinopel menjadi raja yang paling kuat, yang mewarisi tidak hanya kekhalifahan kekuatan Baghdad, akan tetapi juga kekaisaran Byzantium. Akibatnya, dengan adanya penemuan rute itu kembali menenggelamkan negara-negara yang ada di kawasan Mediterania Timur. Dan sejak saat itu juga, sejarah kekhalifahan Arab dan dinasti-dinasti muslim yang didirikan pada kurun masa abad pertengahan telah berakhir dan digantikan dengan sejarah modern kerajaan-kekhalifahan Utsmani.
Sedangkan menurut Muhammad Khudori dalam buku Bangki dan Runtuhnya Daulah Abbasiyah menjelaskan bahwa mengenai kematian Mutawakkil ini ada yang berpendapat bahwa ia dibunuh. Hati para pembesar Turki tidak tenang dengan keberadaan al-Mutawakkil. Mereka telah memiliki persepsi bahwa al-Mutawakkil ingin membuat perangkap-perangkap untuk berlepas diri dari mereka satu demi satu. Mereka merasa khawatir. Menteri al-Mutawakil Ubaidillah bin Khaqan dan wakilnya, al-Fath bin Khaqan, tidak mendukung al-Muntaṣir sebagai putra mahkota dan lebih cenderung kepada al-Mu᷾tȃz. Al-Mu᷾tȃz menghasut ayahnya agar benci kepada alMuntaṣir hingga al-Mutawakkil hampir memecat al-Muntaṣir dari jabatan putra mahkota, karena peristiwa itulah muncul dua musuh mereka, yaitu para panglima Turki dan putra mahkota.
Oleh karena beliau banyak yang membenci beliau pun dibunuh, dengan rencana yang telah disiapkan oleh para pembencinya, Pelaksanaan rencana mereka dipimpin oleh Bugha as-Ṣaghȋr yang dikenal dengan as-Syarabi. Ia menyiapkan beberapa orang yang diketuai Baghir at-Turki pasukan penjaga al-Mutawakkil as-Syarabi ditemani sepuluh orang pasukan. Mereka memasuki istana dengan pedang-pedang yang terhunus, al-Mutawakkil telah terpengaruh oleh minuman (khamar). Salah seorang dari mereka langsung menebasnya dengan pedang, kemudian diikuti oleh yang lain al-Mutawakkil saat itu ditemani al-Fath bin al-Khaqan yang juga ikut dibunuh.
Referensi
Muhammad Syeikh al-Khudari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah Abbasiyah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016.
K. Hitti, Philip. History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dkk, Sunt. Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Zaman, 2018.
Hepi Andi Bastoni, “Daulah Abbasiyah: Al-Mutawakkil, Khalifah Pembela Ahlus Sunnah AL MUTAWAKKIL III; Pembela Ahlu Sunnah” https://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/04/27/lkaz4h-daulah-abbasiyah-almutawakkil-khalifah-pembela-ahlus-sunnah.
http://pdfrepository.uinjkt.ac.id/. Ipan Maspupan-Fah.pdf. Diakses pada Kamis, 09 Mei 2019 pukul 10.23 WIB.
Oleh : Munir Akbar, Semester IV
Hi! I simply wish to give you a big thumbs up for your excellent information you have got right here on this post. I am returning to your site for more soon.
Thanks a lot