Mutiara di Kota Lasem: KH. Ma’shum Lasem

Mutiara di Kota Lasem: KH. Ma’shum Lasem

MAHADALYJAKARTA.COM – Tokoh ulama penyebaran agama Islam periode ke enam abad ke 20 itu sangatlah banyak, dan mereka merupakan tokoh yang sangat berjasa dalam penyebaran agama islam di Nusantara khususnya di tanah Jawa, dan kali ini penulis akan membahas tokoh ulama yaitu KH. Ma’shum Lasem.

KH. Muhammadun atau yang biasa dipanggil dengan KH. Ma’shum atau Mbah Ma’shum merupakan anak bungsu dari pasangan KH. Ahmad dan Qosimah. Mbah Ma’shum lahir sekitar tahun 1868. Dua saudara Mbah Ma’shum adalah Nyai Zainab dan Nyai Malichah. Beliau adalah pendiri pondok pesantren Al Hidayah, Lasem, Rembang, Jawa Tengah ini merupakan ayahanda dari KH. Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta, sang Rais Aam PBNU periode 1981 – 1984 M. Silsilahnya Mbah Ma’shum masih punya hubungan darah dengan Sultan Minangkabau, bersambung hingga ke Rasulullah SAW. KH. Ma’shum menikah dua kali, nama istri pertama tidak diketahui, sedangkan istri kedua adalah Nyai Nuriyah. Putra KH. Ma’shum yang terkenal adalah KH. Ali Maksum, yang kelak menjadi pemimpin Pesantren Munawwir Krapyak, Yogyakarta, dan menjadi salah satu tokoh NU yang terkenal di tingkat nasional. Sejak muda, KH. Ma’shum sudah hidup zuhud. Beliau sempat menjadi pedagang baju hasil jahitan Nyai Nuri,  berjualan nasi pecel, lampu petromak, sendok, garpu, konde dan peniti. Sembari berdagang beliau juga menyempatkan diri untuk mengajar umat dan secara rutin berkunjung ke Tebuireng untuk mengaji kepada Kyai Hasyim Asy’ari, walau dari segi usia KH. Ma’shum lebih tua.

Sejak kecil, ayah Mbah Ma’shum menitipkan Mbah Ma’shum kepada KH. Nawawi, Jepara, untuk mempelajari ilmu agama. Karena sejak kecil dia telah ditinggal wafat oleh ibunya. Pengembaraannya mencari ilmu ketika masih muda tidak sebatas di Lasem, melainkan sampai ke Jepara, Kajen (KH. Abdullah, KH. Abdul Salam, dan KH. Siroj), Sarang Rembang (KH. Umar Harun), Solo (KH. Idris), Termas (KH. Dimyati), Semarang (KH. Ridhwan), Jombang (KH. Hasyim Asy’ari), Bangkalan (KH. Kholil), hingga Makkah (KH. Mahfudz At-Tarmasi), dan kota-kota lain. Saat menempuh pendidikan di Syaikh Mbah Kiai Kholil Bangkalan, kemuliaan Mbah Ma’shum sudah dirasakan oleh Syaikh Mbah Kiai Kholil Bangkalan

Dikisahkan, sehari sebelum kedatangan Mbah Ma’shum ke Bangkalan, Mbah Kholil menyuruh para santri membuat kurungan ayam. Kata Mbah Kholil, “Tolong aku dibuatkan kurungan ayam jago. Besok akan ada ayam jago dari tanah Jawa yang datang kesini” Begitu Mbah Ma’shum datang, yang saat itu usianya sekitar 20an tahun, beliau langsung dimasukan ke kurungan ayam itu. Mbah Ma’shum hanya 3 bulan di Bangkalan. Ketika hendak pulang, Mbah Kholil memanggilnya dan didoakan dengan doa sapu jagad. Lalu, saat Mbah Ma’shum melangkah pergi beberapa meter, beliau dipanggil lagi oleh Mbah Kholil dan didoakan dengan doa yang sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.

Dan KH. Ma’shum berhenti berdagang setelah bermimpi bertemu Rasulullah SAW beberapa kali, di mana Kanjeng Rasul menasihatinya agar meninggalkan perdagangan dan beralih menjadi pengajar umat. Mimpi itu terjadi di beberapa tempat di stasiun Bojonegoro, saat antara tidur dan terjaga, beliau berjumpa Kanjeng Rasul yang memberinya nasihat La khayra illa fi nasyr al-ilmi (Tiada kebaikan kecuali menyebarkan ilmu). Beliau juga bermimpi bersalaman dengan Kanjeng Rasul, dan setelah bangun tangannya masih berbau wangi. Beliau juga bermimpi bertemu Nabi sedang membawa daftar sumbangan untuk pembangunan pesantren, dan berpesan kepada KH. Ma’shum, “Mengajarlah dan segala kebutuhanmu Insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah SWT.” Ketika dikonsultasikan dengan Kyai Hasyim Asy’ari, yang biasa memanggil KH. Ma’shum dengan sebutan Kangmas Ma’shum karena sudah amat akrab, mengatakan mimpi itu sudah jelas dan tak perlu lagi ditafsirkan. Setelah mimpi-mimpinya itulah beliau menetap di Lasem dan istiqamah mengajar.

Sebelum mendirikan pesantren, beliau berziarah dulu ke beberapa makam Wali Allah, seperti makam Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas, Sapuro, Kabupaten Pekalongan. Setelah itu Mbah Ma’shum keliling kota meminta sumbangan, dan berhasil mendapatkan sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membangun pesantren.

Selain ke makam Habib Ahmad, beliau juga sering mendatangi haul Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi (Habib Ali Kwitang), Jakarta, dan ke makam Mbah Jejeruk (Sultan Mahmud) di Binangun Lasem. Setiap kali berziarah ke makam Mbah Jejeruk ini Mbah Ma’shum selalu membaca Shalawat Nariyah 4444 kali dalam sekali duduk. KH. Ma’shum juga istiqamah mengamalkan doa Nurun Nubuwwah selepas shalat Subuh dan Ashar. Setelah beberapa lama mengembangkan pondok pesantren, pesantrennya kemudian dinamakan Pesantren al-Hidayat. Tetapi agresi Belanda tahun 1949 membuat Mbah Ma’shum harus mengungsi, dan pesantren mengalami masa vakum sampai situasi tenang dan aman kembali. 

KH. Ma’shum selama mengajar banyak berperan aktif langsung dalam pendidikan santrinya. Beliau juga memiliki kebiasaan mengajar beberapa kitab yang diajarkan terus-menerus berulang-ulang artinya jika kitab itu khatam, maka akan dimulai lagi dari awal. Di antaranya adalah pelajaran al-Qur’an, Fathul Qarib, Fathul Wahhab, Jurumiyah, Alfiyah, al-Hikam ibn Athaillah, dan Ihya Ulumuddin.

Ketika beliau sudah berusia lanjut, kebanyakan santri yang datang kepadanya umumnya punya tujuan utama tabarrukan, atau mengambil barokah spiritualnya. Dalam mengajar santri KH. Ma’shum amat disiplin dan istiqamah, sebab istiqamah adalah lebih utama ketimbang seribu karamah.

KH. Ma’shum adalah salah satu dari tiga pendiri NU Lasem selain Kyai Baidlowi Abdul Aziz dan Kyai Kholil Masyhuri. Sebagai kiai NU beliau juga gigih berjuang mendukung membesarkan NU bersama Kiai-Kiai lainnya. Beliau amat mencintai organisasi ini, sehingga beliau menyatakan tidak ridho jika anak keturunannya tidak mengikuti NU.

Bahkan KH. Ma’shum sendiri selalu didatangi oleh banyak kiai jika ada urusan penting di tubuh NU untuk meminta nasihat dan doanya. Misalnya ketika hangat-hangatnya pembentukan Jam’iyyah Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyah, KH. Ma’shum termasuk yang setuju dan bahkan menjadi salah satu “petinggi” organisasi tarekat itu, walaupun beliau sendiri tidak mengamalkan praktik-praktik tarekat. Karena beliau sudah menggunakan tarekat langsung dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW, yakni berupa Hubb al-Fuqara wa al-Masakin (mencintai kaum fakir miskin).  Selain itu banyak pula tokoh lain yang sowan kepada beliau guna meminta doa restu. Hal ini juga dilakukan oleh Profesor KH. Mukti Ali saat diangkat menjadi menteri agama. KH. Ma’shum bersedia mendoakan Mukti Ali jika dia mau mengikuti sarannya, yang salah satunya menunjukkan kebesaran jiwanya “Engkau jangan sekali-kali membenci NU. Sebab membenci NU sama dengan membenci aku karena NU itu saya yang mendirikan bersama-sama ulama lain. Tetapi engkau pun jangan membenci Muhammadiyah. Jangan pula membenci PNI dan partai lain. Kau harus dapat berdiri di tengah-tengah dan berbuat adil terhadap mereka.” Ketika pecah huru-hara PKI KH. Ma’shum terpaksa melakukan perjalanan dari kota ke kota, karena beliau termasuk tokoh yang di incar hendak dibunuh oleh PKI.

Tanggal 14 Rabiul Awal 1392 H atau 28 April 1972 M kesehatan Mbah Ma’shum turun drastis. Hingga pada akhirnya beliau masuk rumah sakit dr. Karyadi Semarang pada tanggal 17 September 1972 M selama 10 hari. Tanggal 12 Ramadhan 1392 H atau 20 Oktober 1972 M Mbah Ma’shum menyempatkan untuk sholat Jum’at di masjid Jami’ Lasem. Saat hari itu juga beliau tutup usia pada pukul 2 siang. Kepergian beliau sangat dirasakan oleh semua kalangan, mulai dari pejabat tinggi, para kyai, keluarga, masyarakat dan para santri. Upacara pemakaman beliau dibanjiri oleh para pelayat dari berbagai daerah.

Berdasarkan literasi yang telah diuraikan, maka penulis dapat mengambil kesimpulan, bahwasanya . KH. Ma’shum Lesem adalah ulama yang sangat juhud dalam hidupnya dan beliau sangat gigih dalam mencari ilmu hingga beliau dapat mendirikan pesantren yang bermanfaat bagi umat dan bangsa Indonesia

Referensi:

Winarsih Partaningrat Arifin, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu, Bagian II: Jaringan Asia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama, 1996)

Humaidy Abdussami dan Ridwan Fakla, Biografi 5 Rais ‘Am Nahdladul Ulama: KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Ali Maṣhum, KH. Achmad Siddiq (Yogyakarta: LTN NU & Pustaka Pelajar, 1995)

Absul Aziz Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesia: Riwayat, Perjuangan, Do’a dan Hizib, (Yogyakarta: Kutub, 2008)

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002)

Fahmi D Saifudin, Kembali Ke Pesantren: Kenangan 70 Tahun KH. Achmad Sjaichu,  (Depok: Yayasan Islam Al-Hamidiyah, 1991)

Kontributor: Muhammad Faras Muazdib, Semester IV

Leave a Reply