Akulturasi Islam dan Budaya Nusantara Dalam Sejarah Bangsa Indonesia

Akulturasi Islam dan Budaya Nusantara Dalam Sejarah Bangsa Indonesia

Islam adalah ajaran penuh dengan ketenangan, kedatanganya menjadi penerang dan penyejuk dahaga alam semesta. Kita sering menyebut Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin atau rahmat bagi semesta alam.

Demikian juga kehadiran Islam di Nusantara berjalan dengan jalan damai dan pasti tanpa gelombang penolakan atau demonstrasi. Kehadiran Islam di Nusantara menggunakan metode yang berbeda daripada metode penyebaran Islam di tempat-tempat lain. Hal ini terbukti efektif mengubah tatanan agama masyarakat di Nusantara.

Masyarakat Nusantara yang semula mayoritas beragama Hindu dan Budha berubah drastis menjadi mayoritas beragama Islam, tanpa ada ketegangan dan setetes darah pun yang tumpah.

Hal ini menarik untuk menjadi bahan kajian bersama, bukan sekadar fakta sejarah melainkan sebagai upaya mereguk hikmah-hikmah di masa lampau agar masyarakat di Nusantara (red: Indonesia) khususnya umat Islam dapat mengetahui jati diri keislamanya. Jati diri yang menegaskan bahwa karakteristik umat Islam di Indonesia adalah umat Islam yang ramah, penuh sopan santun, beradab, tidak grasa-grusu serta tidak kagetan. Karakteristik umat Islam yang semacam ini adalah substansi ajaran Islam, dan dalam ceramahnya K.H. Yahya Cholil Staquf menyebutnya sebagai “Islam sejati”.

Ada beberapa penyebab kehadiran Islam di Nusantara dapat diterima dengan baik tanpa ada peperangan dan ketegangan, salah satunya ialah adanya akulturasi Islam dan budaya Nusantara.

Pengertian akulturasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi.

Akulturasi Islam dan budaya Nusantara dapat diartikan percampuran antara ajaran atau nilai-nilai yang dibawa oleh Islam dengan budaya Nusantara, yang saling memengaruhi sehingga memberi dampak positif bagi tatanan kehidupan masyarakat di Nusantara, khususnya bagi eksistensi Islam di dalamnya. Salah satu contoh akulturasi Islam dengan budaya Nusantara adalah Masjid Menara Kudus.

Ustadz Rizem Aizid, dalam bukunya Sejarah Islam Nusantara menjelaskan bahwa Masjid Menara Kudus diambil dari nama orang yang membangunya, yakni Sunan Kudus. Masjid ini dibangun pada tahun 1549 Masehi atau 956 Hijriyah dengan menggunakan batu Baitul Maqdis dari Palestina sebagai batu pertamanya.  Oleh karena itu Masjid Menara Kudus disebut juga Masjid al- Aqsha.

Dari nama masjidnya sudah jelas kita pahami bahwa letak Masjid Menara Kudus berada di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, tepatnya di Desa Kauman, Kecamatan Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Masih dalam buku yang sama, Ustadz Rizem Aizid memaparkan dengan jelas ragam arsitektur yang ada di Masjid Menara Kudus. Di antaranya di bagian luar masjid terdapat pancuran untuk berwudhu sebanyak 8 pancuran, dan di bagian atas pancuran terdapat arca.

Konon, jumlah delapan pancuran yang ada adalah hasil dari adaptasi keyakinan Buddha, yakni “Delapan Jalan Kebenaran” atau Asta Sanghika Marga. Di sisi lain masjid ini juga terdapat sebuah menara yang sarat dengan gaya ornamen Hindu. Pada masa dakwah Sunan Kudus nuansa akulturasinya sangat kental terasa. Dalam kata lain, telah terjadi sebuah pola pribumisasi Islam di Nusantara. Membumikan Islam menjadi satu nafas dan senyawa dengan Nusantara, sehingga gesekan-gesekan dapat terelakan.

Satu hal yang menjadi pengamatan adalah keberanian akulturasi Sunan Kudus berada di ranah-ranah yang sakral, seperti masjid sebagaimana dijelaskan di atas. Ini adalah sebuah ijtihad yang menunjukan kematangan dan kebijaksanaan dalam berdakwah, yang perlu diteladani oleh setiap umat Islam di Indonesia

Terobosan-terobasan akulturasi di atas sangat menarik perhatian, khususnya dalam penggalian jejak-jejak dan metode penyebaran Islam di Nusantara. Betapa tidak, kehadiran Islam yang akhir-akhir ini dipersepsikan miring menggunakan jalan kekerasan dan ketegangan, akhirnya terbantahkan dengan adanya bukti-bukti penyebaran Islam di masa lampau yang penuh kearifan. Di mana metode penyebaran Islam zaman dahulu di Nusantara khususnya, ternyata berjalan dengan damai, tidak menciptakan ketegangan (chaos). Sebab kehadiranya tidak memberanguskan culture (budaya) masyarakat setempat yang sudah ada sejak lama.

Islam justru mengakomodir budaya yang ada, menjadi sebuah kesatuan dan kekuatan untuk menata peradaban. Dengan kata lain, Islam merangkul segala macam kebudayaan lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dibanding harus menyaksikan setetes darah tumpah sia-sia, kehadiran Islam di Nusantara lebih memilih jalan rahmah dalam penyebaranya.

Sebagaimana disebutkan dalam kaidah Ushul Fiqih دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ, menolak mafsadah itu lebih didahulukan daripada menarik maslahah.

Contoh lainya disebutkan oleh K.H. Ahmad Baso dalam bukunya Islam Nusantara, yaitu tradisi halal bi halal. Menurut beliau, tradisi halal bi halal merupakan ijtihad ulama Nusantara untuk membangun guyub dan kebersamaan usai Hari Raya Idul Fitri. Halal bi halal adalah istilah Arab, tapi orang Arab sendiri tidak memahami maknanya. Bahkan tidak ditemukan di kamus Arab manapun. Istilah tersebut hanya bisa dipahami jika merujuk kepada sejarah pencetusanya.

Sejarah pencetusan istilah halal bi halal dijelaskan oleh K.H. Masdar Farid Mas’udi dalam tulisanya di website NU Online. Dalam tulisan beliau dijelaskan, pencetus istilah halal bi halal  adalah K.H. Abdul Wahab Chasbullah. Kisahnya pada tahun 1948 pasca kemerdekaan Indonesia, para elit politik saling bertengkar. Tidak mau duduk dalam satu forum sementara itu pemberontakan terjadi di mana-mana, seperti DI/TII dan PKI Madiun. Dipertengahan bulan Ramadhan Bung Karno memanggil K.H. Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan saranya dalam mengatasi situasi politik Indonesia yang sedang tidak sehat.

Singkat cerita, K.H Wahab Chasbullah memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahmi, agar para elit politik berkumpul menjadi satu. Sebab saat itu mendekati Hari Raya Idul Fitri, di mana semua umat Islam di sunnahkan bersilaturahmi.

K.H. Wahab Chasbullah mengusulkan nama acara silaturahmi itu dengan istilah halal bi halal. Sebuah istilah Arab yang sebenarnya terdengar asing oleh orang Arab. Karena istilah itu tidak dapat dimaknai secara bahasa melainkan secara filosofis.

Menurut K.H. Wahab Chasbullah, ketegangan yang terjadi di antara para elit politik itu dikarenakan mereka saling menyalahkan satu sama lain, dan saling menyalahkan itu merupakan perbuatan dosa. Dan dosa itu haram, maka harus ada upaya penghalalan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Begitulah kiranya makna halal bi halal yang memiliki catatan sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Sejak saat itu setiap instansi pemerintah menyelenggarakan tradisi halal bi halal, agar suasana di pemerintahan tetap kondusif dan tentunya tetap menjaga ikatan silaturahmi.

Walaupun tradisi semacam ini sebenarnya pertama kali diadakan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara 1, atau dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Di mana beliau saat itu mengumpulkan seluruh punggawa dan prajurit di Balai Istana untuk melakukan sungkeman setekah Hari Raya Idul Fitri. Namun saat itu istilah halal bi halal belum muncul.

Menurut K.H. Masdar Farid Mas’udi istilah halal bi halal ditinjau dari aspek historis dapat dianalisis dalam dua hal, pertama, halal bi halal bermakna thalabu halal bi thariqin halal, artinya mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Kedua, halal yujza’u bi halal, pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.

Tentunya dalam masalah ini ranahnya sudah bukan lagi mengenai penyebaran Islam di masa lampau, karena pencetusan istilah halal bi halal terjadi pasca kemerdekaan. Namun hal yang dapat diambil sebagai ibrah adalah Islam yang dihadirkan di Nusantara sejak masa Sunan Kudus sampai masa pemerintahan Indonesia pasca kemerdekaan adalah Islam yang penuh dengan kearifan dan menawarkan solusi yang menyejukan, tidak menimbulkan perpercahan, tetapi justru mengikis perpecahan, dan menyatukan yang tercerai berai.

Dan tentunya tradisi halal bi halal ini lagi-lagi adalah buah pikir ulama Nusantara yang berani memunculkan sebuah akukturasi Islam dengan budaya lokal demi terciptanya solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi.

Umat Islam Indonesia yang terbiasa melanggengkan silaturrahim antar sanak famili, dan ajaran silaturrahim juga sejatinya merupakan ajaran Islam dengan istilah halal bi halal yang sekilas orang menganggap dari bahasa Arab, padahal orang Arab sendiri tidak mengerti maknanya. Akulturasi semacam ini yang sempat disinggung di atas disebut pribumisasi Islam di Nusantara.

Sejarah ini penting dikemukakan agar umat Islam saat ini dan di Masa depan dapat mengenal jati diri atau karakteristik Islam di Indonesia sejak masa awal penyebarannya hingga kini, dan juga agar umat Islam di Indonesia dapat meneladani para pendahulunya ketika mendakwahkan Islam.

 

Oleh : Muh. Jirjis Fahmy Zamzamy, Semester III

Leave a Reply