Sultan Agung: Raja Mataram Pertama Berkebudayaan Adiluhung

Sultan Agung: Raja Mataram Pertama Berkebudayaan Adiluhung

Setelah mangkatnya Sultan Hadiwijaya pada tahun 1582 M. Kesultanan Mataram mulai dibangun oleh Danang Sutawijaya yang kemudian terkenal dengan gelar Panembahan Senapati. Panembahan Senapati yang merupakan putra dari Ki Ageng Penembahan adalah raja pertama dari Kerajaan Mataram. Setelah 15 tahun memimpin yakni pada tahun 1586 M. sampai 1601 M. tampuk kekuasaan digantikan oleh putranya yaitu Raden Mas Jolang atau yang terkenal dengan gelar Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati Ing Ngalaga Mataram atau Pangeran Seda Ing Krapyak. 

Raden Mas Jolang memimpin Mataram kurang lebih pada tahun 1601 M. sampai 1613 M. setelah lengser keprabon (turun tahta) putra dari Raden Mas Jolang yang bernama Raden Mas Rangsang yang menggantikan kedudukannya menjadi raja di Mataram. Raden Mas Rangsang sendiri adalah putra Raden Mas Jolang dengan istrinya yang bernama Dyah Banowati. 

Semasa menjabat sebagai raja, Raden Mas Rangsang lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Menurut H.J. De Graaf gelar sultan pada Raden Mas Rangsang didapatkannya melalui Syarif Mekkah. Adapun mengenai proses penerimaan gelar sultan pada Raja Mataram atau Raden Mas Rangsang yang di kemudian dikenal dengan nama Sultan Agung, dalam buku milik De Graaf, diceritakan bahwa pada tanggal 20 Oktober 1638 M. 

Raden Mas Rangsang mengirimkan utusan kepada orang-orang Inggris yang berada di Banten dengan membawa hadiah berupa sebilah pedang dan keris. Utusan tersebut membawa pesan sang raja, yaitu sebuah permintaan agar orang-orang Inggris itu bersedia membawa utusan raja yang akan melakukan perjalanan ke Mekkah sebagai penumpang di kapal Inggris. Sebagai jawabannya, orang-orang Inggris dari Banten mendatangi Mataram pada awal tahun 1639 M. untuk membicarakan kesepakatan-kesepakatan dan detail keberangkatan utusan raja ke Mekkah. 

Pada pertengahan 1639 M. utusan raja itu mulai berlayar dari Banten menuju Mekkah lewat India, sesampainya di India perjalanan dilanjutkan dengan menumpang kapal milik orang-orang Islam. Saat pulang dari Mekkah sang utusan raja juga melalui rute yang sama. Sesampainya di Banten, para utusan raja itu kembali ke Mataram pada 27 Januari 1641 M. Perjalanan mereka dikawal oleh Kiai Narantaka atas perintah Sultan Banten. Setelah sampai di Mataram, utusan raja mempersembahkan gelar baru dari Syarif Mekkah untuk Raden Mas Rangsang, gelar tersebut adalah Abdullah Muhammad Maulana Matarani. 

Menurut para sejarawan, Sultan Agung merupakan raja terbesar di Mataram. Sultan Agung membawa Kerajaan Mataram berada di puncak kejayaannya. Mulai pada tahun 1615 M. banyak daerah-daerah baru yang takluk di bawah kekuasaan Mataram seperti Wirasaba (Maja Agung, Jombang). Kemudian dilanjutkan pada tahun berikutnya, yaitu 1616 M. Lasem dan Pasuruan takluk di bawah panji-panji Mataram. Sementara pada tahun 1617 M. Sultan Agung menumpas pemberontakan Adipati Pajang kemudian menaklukkannya, tetapi Adipati Pajang dan Panglimanya berhasil melarikan diri ke Surabaya. 

Pada tahun 1620 M. pasukan Mataram mulai mengepung Surabaya secara periodik dan pasukan Mataram membendung Sungai Mas untuk menghentikan suplai air. Lantas Sultan Agung mengirim Tumenggung Bahureksa (Bupati Kendal) untuk menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah Barat Daya). Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki Juru Mertani) untuk menaklukkan Madura pada tahun 1624 M. Pulau Madura yang sebelumnya terdiri dari banyak kadipaten, akhirnya dapat disatukan di bawah kepemimpinan Pangeran Cakraningrat 1.  

Setelah melakukan ekspansi ke berbagai wilayah di Jawa Timur dan berhasil menjadikan daerah-daerah tersebut tunduk pada kekuasaan Mataram maka pada April 1628 M. Sultan Agung memerintahkan Kiai Rangga (Bupati Tegal) untuk menyampaikan tawaran damai kepada VOC di Batavia dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Karena tawaran ini ditolak maka Sultan Agung menyatakan perang melawan VOC. 

Sultan Agung mengirimkan pasukan pertamanya ke Batavia yakni pada 27 Agustus 1628 M. yang dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa, kemudian pasukan kedua menyusul pada Oktober 1628 M. yang dipimpin oleh Pangeran Mandurareja. Apabila ditotal jumlah pasukan Mataram saat itu adalah 10.000 orang. Perang besar antara pasukan Mataram dan VOC yang berlangsung di Batavia pun tidak bisa dihindari. Akan tetapi, karena kurang perbekalan maka pasukan Mataram mengalami kekalahan. 

Kegagalan atas serangan pertama ke Batavia, Sultan Agung kembali melancarkan serangan kedua. Pada perang kali ini pasukan Mataram dipimpin oleh Adipati Ukur, mereka berangkat pada Mei 1629 M. adapun pasukan kedua di bawah pimpinan Adipati Juminah berangkat pada Juni 1629 M. Jumlah pasukan Mataram pada serangan kedua ini adalah sekitar 14.000 orang. Akan tetapi, pasukan Mataram kembali menelan kegagalan karena kalah canggih dalam hal persenjataan dan ada pasukan Mataram yang berkhianat menunjukan gudang perbekalan pasukan ke musuh, sehingga gudang perbekalan yang berada di Tegal dibakar habis oleh VOC. 

Meskipun kalah dua kali dalam pertempuran melawan VOC di Batavia, tetapi usaha ini telah menimbulkan rasa hormat para penguasa pribumi luar Jawa. Salah satu strategi yang berhasil dijalankan Sultan Agung adalah berhasil membendung Sungai Ciliwung dan mengotorinya, sehingga menimbulkan wabah kolera yang akhirnya menewaskan banyak orang dari kalangan musuh, salah satunya adalah Jenderal J.P. Coen. Berkat komitmen kuat untuk mengusir kolonial (VOC) dari tanah air, Sultan Agung diangkat menjadi Pahlawan Nasional, meski mengalami kegagalan dalam penyerangannya. 

Masa keemasan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung tidak hanya dari segi perluasan wilayah, ada salah satu kebijakan Sultan Agung yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh masyarakat Jawa. Sultan Agung menaruh perhatian yang tinggi akan kebudayaan di Mataram, sehingga ia melakukan pembaharuan sistem penanggalan. Mataram yang sebelumnya menganut sistem kalender saka, ketika Sultan Agung memimpin memutuskan secara resmi tidak lagi menggunakan kalender saka. 

Sultan Agung meresmikan dibuatnya sistem penanggalan baru yang angka tahunnya melanjutkan angka tahun saka, tetapi dalam pengambilan perhitungannya diambil dari kalender hijriyah yaitu sistem bulan. Kalender itu berlaku mulai 1 Muharam 1403 atau 1 Suro 1555 dan tahun tersebut sekarang lebih dikenal dengan tahun Jawa. Ini merupakan suatu prestasi Sultan Agung, penciptaan kalender ini adalah upaya pemersatu rakyat Mataram. 

Melalui Sultan Agung, Mataram mampu menjadi kerajaan besar yang tidak hanya memiliki nama berkat kesuksesannya melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah lain. Akan tetapi, Mataram juga dibangun melalui kebudayaan adiluhung. Di lingkup istana Mataram, Sultan Agung menerapkan pemakaian bahasa Bagongan bagi kalangan bangsawan dan pejabat demi terciptanya rasa persatuan antara penghuni istana. Bahkan Bahasa Sunda juga mengalami perubahan ketika Mataram menguasai Jawa Barat. Hal ini ditandai adanya Bahasa Sunda halus yang sebelumnya bahasa-bahasa halus seperti itu hanya dikenal di Jawa Tengah. 

Perhatian Sultan Agung tidak hanya berhenti pada kebudayaan saja, bahkan Sultan Agung juga tertarik dengan penciptaan karya sastra. Berkat kepiawaiannya di bidang karya sastra, Sultan Agung mengubah Serat Sastra Gendhing. Suatu karya sastra yang sarat akan ajaran sufistik Jawa dengan menitikfokuskan pada hubungan kosmis yakni antara manusia dan Tuhan. Serat Sastra Gendhing bukan hanya membahas mengenai ajaran sufistik Jawa, tetapi juga membahas filosofi Jawa yang bisa digunakan para pemimpin dalam menjalin hubungannya dengan Tuhan, Sang Maha Pemimpin. Serat Sastra Gendhing terdiri dari pupuh Sinom, pupuh Asmaradana, pupuh Dhandanggula, dan pupuh Durma. Karya Sultan Agung ini merupakan salah satu bukti peranan sufisme dalam proses penyebaran Islam di Jawa. 

Pada masa Sultan Agung pula tata hukum Kerajaan Mataram dirubah menggunakan tata hukum Islam. Peradilan pradata Hindu diganti menjadi peradilan surambi karena peradilan ini bertempat di serambi Masjid Agung. Perkara kejahatan yang menjadi urusan peradilan ini ditetapkan berdasarkan Kitab Kisas yaitu kitab undang-undang hukum Islam pada masa Sultan Agung. Penghulu tidak hanya menjabat sebagai mufti, tetapi juga menjabat sebagai penasihat hukum Islam dalam sidang peradilan, juga berperan sebagai qadi atau hakim, sebagai imam masjid, sebagai wali hakim, dan amil zakat. 

Sultan Agung wafat pada tahun 1646 M. dan dimakamkan di Imogiris, sekarang masuk pada wilayah Bantul. Sepeninggal Sultan Agung, tampuk pemerintahan Mataram dilanjutkan oleh putranya yakni Raden Mas Sayidin (Arya Prabu Adi Mataram) atau yang terkenal dengan gelar Susuhunan Amangkurat Agung atau terkenalnya Amangkurat 1.

Referensi:

  1. Falsafah Kepemimpinan Jawa. Sri Wintala Achmad 
  1. Atlas Walisongo. Agus Sunyoto 
  1. Kekhalifahan Turki Usmani di Nusantara. Deden Herdiansyah 
  1. Puncak Kekuasaan Mataram; Politik Ekspansi Sultan Agung. H.J. De Graaf 
  1. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI & XVII. Drs. M. Yahya Harun 
  1. Sejarah Islam Asia Tenggara. Dr Hj. Helmiati, M.Ag. 

Kontributor: Rangga Azareda Dwi Fananta, Semester IV

Leave a Reply