Raden Syahid: Dakwah Wali Mantan Bromocorah

Raden Syahid: Dakwah Wali Mantan Bromocorah

Sunan Kalijaga memiliki nama Raden Syahid, Raden Said, Joko Said, Syeikh Malaya, Lokajaya. Sunan Kalijaga memiliki nama asli Raden yang merupakan putra seorang bangsawan, Tumenggung Wilwatikta, Bupati Tuban. Nama ibundanya bernama Dewi Nawangrum. Beliau adalah keturunan Jawa asli. Beliau diperkirakan lahir pada tahun 1470-an M. Tapi ada yang mengatakan bahwa Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1430. Sunan Kalijaga mempunyai istri yaitu Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, dari pernikahannya dikarunai tiga anak yaitu diantaranya Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Sofiah, dan Dewi Rokayuh. 

Mengenai gelar “Kalijaga” terdapat banyak pendapat dari berbagai pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari bahasa Jawa asli, yaitu kali dan jaga. Kali yang berarti sungai, sedangkan jaga berarti menjaga. Jadi dapat disimpulkan bahwa “Kalijaga” artinya menjaga sungai. Pemaknaan ini berasal dari sebuah riwayat bahwa Raden Syahid pernah berkhalwat setiap malam disebuah sungai dalam hutan yang sepi didaerah Cirebon, sehingga beliau diberi gelar sunan Kalijaga.

Ada juga pendapat lain bahwa penamaan Kalijaga itu karena pertemuannya dengan Sunan Bonang. Pada saat itu ketika Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Bonang, membuat Sunan Kalijaga tercerah hidupnya dan ingin menjadi muridnya. Dengan demikian Sunan Bonang merupakan guru spiritual pertama bagi Raden Syahid. Tapi Sunan Bonang tidak mau menerimanya dengan syarat dia sanggup menjaga tongkatnya yang telah ditancapkan ditepi sungai. Dengan setia, Raden Syahid menjaga tongkat itu. Menepati janjinya, karena itu beliau disebut Kalijaga yang berarti penjaga kali atau sungai. Di waktu muda, Sunan Kalijaga pernah mengalami masa suram yang kisahnya sangat legendaris sehingga beliau terkenal sebagai Lokajaya. Masa hidup Raden Sahid disebut mengalami tiga masa pemerintahan, akhir masa Majapahit, zaman Kesultanan Demak dan Kesultanan Pajang. Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M, kemudian disusul Kesultanan Demak berdiri tahun 1481-1546 M, dan disusul Kasultanan Pajang yang diperkirakan berakhir tahun 1568.

Ketika Raden Syahid lahir di Tuban, keadaan Majapahit mulai surut. Beban upeti Kadipaten terhadap pemerintah pusat semakin besar sehingga masa remaja Raden Syahid dipenuhi dengan keprihatinan. Akhirnya Raden Syahid memilih jalan menjadi cluring. Mula-mula ia datang ke gudang Kadipaten dan membongkarnya, mengambil bahan makanan dan membagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan secara diam-diam. Penerimaan bahan makanan itu juga tidak tau siapa pemberi makanan itu. Namun suatu hari ketika Raden Syahid sedang beraksi tertangkap basah oleh intaian penjaga keamanan Kadipaten. Ia dibawa kepada Adipati Tumenggung Wilwatikta.

Sang ayahanda malu terhadap tindakan anaknya, keluarga Kadipaten merasa tercoreng. Diusirnya sang putra dari Istana, tetapi pengusiran tersebut tidak membuat Raden Syahid jera. Dia justru merampok, membegal orang-orang kaya disekitar Kadipaten. Hasil rampokannya dibagikan kepada fakir miskin. Akhirnya ia tertangkap lagi, kali ini ia diusur dari wilayah Kadipaten. Ia melangkahkan kakinya entah kemana tapi yang jelas ia tidak berhenti dengan aksi cluringnya. Sampai suatu hari di hutan ia melihat seorang lelaki tua, ia pikir bisa mengambil harta kakek tersebut. Ternyata yang ia jumpai adalah Sunan Bonang, dari pertemuan ini Raden Syahid menyatakan ingin menjadi murid beliau.

Raden Mas Syahid diangkat menjadi salah satu anggota dewan Wali Sanga yang sangat akrab ditelinga Islam Jawa. Pada awal penyebarannya beliau sudah mengetahui kondisi masyarakat yang menganut Hindu-Budha. Akhirnya beliau mempunyai ide penyebaran Islam dilakukan lewat media wayang kulit. Pada tahun 1443 Sunan Kalijaga membuat wayang kulit yang terbuat dari kulit kambing. 

Sebelum Islam masuk Jawa, wayang purwa biasa dilakonkan digunakan untuk mendidik budi pekerti dan moralitas orang Jawa. Yang menjadi pokok ceritanya adalah kisah Ramayana dan Mahabarata. Dengan kedua kisah itulah ajaran moral dan kepahlawanan tertanam. 

Awalnya apa yang dikembangkan Sunan Kalijaga tidak mendapat dukungan dari beberapa wali seperti Sunan Giri yang berpendapat bahwa wayang itu hukumnya haram, karena bentuknya menyerupai manusia. Akhirnya terjadi debat perbedaan pendapat. Sunan Kalijaga mengemukakan jalan keluar yang bijaksana. Gambar wayang dimodifikasi, hidung dibuat panjang, begitu pula kaki dan tangannya, kepala menyerupai binatang. Para Wali pun setuju dengan gagasan tersebut, yang kemudian para wali bahkan membantunya dengan menciptakan gamelan. Maka jadilah wayang menjadi media dakwah yang efektif. 

Dimana dalam pementasan wayang induk cerita tetap dari India, yaitu berasal dari kisah Ramayana dan Mahabarata, tetapi makna kisah itu dimasukan nila-nilai Islam. Seperti Pandawa beranggotakan lima orang dan penegak kebenaran itu diangkat oleh Sunan sebagai lambang “Rukun Islam” yang lima. Dharmakusuma sebagai putra pandu yang pertama diberi jimat yang disebut “Kalimasada” alias kalimat syahadat.

Sunan Kalijaga tidak pernah meminta upah disetiap pertunjukan wayang kulitnya. Ia hanya meminta penonton untuk mengikutinya mengucapkan dua kalimat syahadat. Dengan kalimat syahadat ia baru mau dipanggil untuk melakukan penggelaran wayang. Pertunjukan wayang juga diselenggarakan dalam rangka meramaikan suatu pesta atau upacara peringatan. 

Refrensi: 

Achmad Chodjim, Sunan Kalijaga Mistik Dan Makrifat, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2013).

Masykur Arif, Kumpulan Karamah Dan Ajaran Wali Sanga, (Yogyakarta: Safirah, 2014) 

Agus & Wahyudi, Sejarah Ajaran Makrifat Jawa, (Yogyakarta: DIVA Press, 2012)

Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, (Tangerang Selatan: Pustaka IIMAN, 2016) 

Samsul Munir Amin, Sejarah Dakwah, cet kedua, (Jakarta: Amzah, 2015) 

Kontributor: Hadistsya Aulia Azis, Semester IV 

Leave a Reply