Ma’had Aly – Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana, apalagi setelah timbulnya kesadaran dari masyarakat pribumi terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Akibatnya muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan. Keterbelakangan baik secara mental maupun ekonomi akibat penjajahan maupun kukungan ekonomi telah menggugah kesadaran bangsa ini untuk memperjuangkan martabat masyarakat Indonesia.
Gerakan organisasi yang diawali dengan berdirinya Sarikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905, disusul dengan berdirinya organisasi Budi Utomo pada tahun 1908, dikenal dengan istilah “Kebangkitan Nasional”. Tidak ingin ketinggalan, dari kalangan pesantren yang selama ini kita lihat sangat gigih dalam melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, melalui jaringan pendidikan seperti berdirinya Madrasah Nahdlatul Wathan pada 1916 oleh Kiai Wahab Hasbullah.
Kemudian berdiri pula organisasi keagamaan yang diberi nama Nahdlatul Ulama. Yang melatarbelakangi berdirinya organisasi tersebut bermula dari keputusan seorang raja Ibnu Saud yang ingin menetapkan asas tunggal atau mazhab Wahabi di Makkah. Kalangan pesantren yang selama ini dikenal membela keberagamaan, menolak pembatasan bermazhab tersebut.
Ibnu Saud kemudian mengundang para pemuka agama untuk menghadiri acara kongres di Makkah. Sehingga pada pertemuan ke-5 kongres Al-Islam yang diselenggarakan di Yogyakarta memutuskan untuk mengirim beberapa utusan yang terdiri dari H.O.S Tjokroaminoto (pemimpin Sarekat Islam), KH. Mas Mansyur (Muhammaddiyah), KH. Wahab Hasbullah (tradisionalis), untuk menghadiri kongres di Makkah.
Kiai Wahab bersama ketiga rekannya akhirnya pulang terlebih dahulu, lantaran ide-ide yang beliau usulkan tidak diterima bahkan terkesan tidak dipedulikan. Ketika di Indonesia tak henti Kiai Wahab meluangkan pemikirannya untuk menyelamatkan negeri Arab dari madzab yang akan diberlakukan oleh raja Ibnu Saud. Pada akhirnya Kiai Wahab beserta beberapa rekannya mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Komite Hijaz, yang kemudian pada 31 Januari 1926 diubah namanya menjadi Nahdlatul Ulama.
Nahdlatul Ulama berasal dari bahasa Arab “Nahdlah” yang berarti bangkit atau bergerak, dan “Ulama”, jamak dari alim yang berarti mengetahui atau berilmu. Kata “nahdlah” kemudian disandarkan pada “ulama” hingga menjadi Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan ulama atau pergerakan ulama. Tujuan didirikannya NU ini untuk menjaga, memelihara kelestarian ajaran yang berpaham Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah agar tetap ada dan mengalir hingga akhir zaman.
Pada dasarnya ada dua pilar yang menjadi dasar atau tempat bagi NU menyalurkan tujuannya, yaitu madrasah atau pesantren dan masjid sebagai ladang pengkaderan ulama NU. Melalui pilar ini lah, NU mampu melakukan sepak terjangnya untuk bertahan serta mengembangkan tujuannya hingga menjadi ormas dengan pengikut terbesar di Indonesia kita ini.
Seperti yang dikutip oleh Marijan dari KH. Mustofa Bisri, bahwa ada tiga substansi di dalam NU ini yaitu, pertama dalam bidang-bidang hukum-hukum Islam, NU menganut salah satu ajaran dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), sedang di sini para Kiai NU menganut kuat madzhab Syafi’i. Kedua, dalam soal tauhid (kepercayaan kepada Tuhan), menganut ajaran Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidzi. Kemudian yang ketiga dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim Al-Junaidi.
Mengingat akan awal berdirinya NU ini adalah karena adanya perbedaan pendapat antar beberapa ulama. Hal yang paling menonjol pada saat itu ialah akan di berlakukannya paham Wahabi di kota Makkah, karena hal itu pula yang menimbulkan kekhawatiran para kiai tradisionalis Indonesia, hingga turut serta berjuang dalam mempertahankan keyakinan Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. Dalam menangani kasus ini kiai wahab Hasbullah bersama beberapa rekannya mendirikan beberapa perkumpulan sampai terbentuknya Organisasi Nahdlatul Ulama.
Padahal sebelum berdirinya NU, di Indonesia sudah ada beberapa Organisasi Islam yang berdiri seperti, organisasi Sarekat Islam (SI) yang awal namanya adalah Sarekat Dagang Islam, aktivitas organisasi ini tidak menyentuh soal-soal yang berhubungan dengan pembauran dalam konsep-konsep keagamaan, karena mereka lebih tertarik pada aktivitas politik. Selanjutnya pada bulan Februari 1923 berdiri pula organisasi Islam yang diberi nama dengan Persatuan Islam (Persis). Namun organisasi ini mulai menampakkan pemikiran-pemikiran yang tidak kompromistis akan tetapi mampu menarik simpati beberapa kaum Intelektual Islam.
Sehingga NU berusaha dengan sekuat tenaga mengembalikan paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah, di tengah masyarakat yang mulai meyakini pemikiran pembaharu-pembaharu Islam itu. Bermodalkan dengan dakwah yang pernah dilakukan oleh Walisongo yang berhasil menyatukan adat istiadat budaya saat itu dengan pemahaman Islam. NU berupaya menebar benih-benih islam dalam wajah yang familiar atau mudah dikenali oleh seluruh masyarakat Indonesia, serta menghindari pendekatan negasional.
Pada akhirnya, dengan sikap penyesuaian diri yang lahir dari adanya kesadaran untuk saling menghargai perbedaan atau keanekaragaman budaya yang ada merupakan salah satu landasan kokoh bagi pola pikir, sikap, dan perilaku yang lebih cepat menerima terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, orang tidak harus diperlakukan secara manusiawi hanya lantaran beragama Islam, tetapi lebih didasari pemahaman bahwa nilai kemanusiaan memang menjadi milik setiap orang.
Pada masa pra kemerdekaan NU tampil sebagai organisasi yang disegani oleh penjajah. Sehingga kekuatan Ulama yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU) mampu menjembatani kepentingan Islam dan juga kepentingan bangsa Indonesia yang menjadi pilar pengantar terhadap lahirnya negara kesatuan republik Indonesia. Nahdlatul Ulama memutuskan dirinya menjadi partai politik hanya karena menghadapi komunis. Sebab kuatnya komunis sebagai partai politik membutuhkan pola yang sama. Nahdlatul Ulama dengan suara yang keras akhirnya mampu mempertahankan dasar negara pancasila.
Dengan kebijakan pemerintah yang kuat, posisi Nahdlatul Ulama dengan kelompok Islam lainnya kembali sebagai organisasi sosial keagamaan dan sepakat mendirikan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Secara sosial tetap menjadi perhatian Nahdlatul Ulama dan secara politik partai tersebut menjadi rode politik Nahdlatul Ulama. Pada masa Orde Baru ini peran NU di dunia perpolitikan lumayan meningkat, akan tetapi pada masa reformasi NU mengembalikan dirinya ke Khittah, yakni kembali kepada organisasi keagamaan dan tidak berpihak kepada partai politik yang ada.
Telah kita ketahui bersama, peran NU bagi bangsa Indonesia ini sangatlah besar. Meski akhir-akhir ini seringkali NU menuai kontra dari kaum sebelah lantaran banyak mengajarkan hal-hal bid’ah dan dianggap melenceng. Namun semua hal itu tidak mampu mengurangi semangat persatuan masyarakat NU sedikitpun, justru hal itu dianggap sebagai bumbu-bumbu kehidupan oleh kaum NU sendiri.
Referensi
Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95), 2002.
Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan, (Jakarta: PT.
Logos Wacana Ilmu), 1999.
Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, (Yogyakarta: L’Harmattan Archipel), 1999.
Humaidi Abdusami, Ridwan Fakla AS., 5 Rais ‘Am Nahdlatul Ulama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar), 1995.
Wawan H. Purwanto, Nahdlatul Ulama Menembus Batas Negara dan Peradaban, (Jakarta: CMB Press), 2010.
Oleh : Alviatun Khoiriyah, Semester VI