Perang Tabuk adalah perang antara kaum muslimin melawan pasukan Romawi, orang-orang Romawi telah dibuat takut dan terpecah belah karena Rasulullah Saw beserta para sahabat sudah lebih dulu datang dan berdiam di Tabuk. Tentu saja hal ini mengangkat pamor militer Islam di kawasan Jazirah Arab dan sekaligus mendulang kepentingan politik yang sangat besar. Peperangan ini berakhir dengan perjanjian perdamaian antara kedua belah pihak. Yuhannah bin Ru’bah selaku pimpinan Ailah datang menemui Rasulullah Saw untuk membuat perjanjian. Dia datang beserta penduduk Jarba’ dan Adzra’, menyatakan siap membayar jizyah, akan tetapi mereka tidak bersedia masuk Islam. Berbagai kabilah yang dulu tunduk pada Romawi, kini berada dibawah kekuasan kaum Muslim. Kekuasaan pemerintahan Islam pun kian meluas hingga berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan bangsa Romawi. Peperangan ini juga menjadi yang terakhir diikuti Rasulullah Saw.
Dalam Perang Tabuk terjadi pada hari yang sangat panas, menempuh perjalanan yang sangat jauh dan bertepatan dengan buah-buahan di Madinah yang mulai renum. Oleh karena itu, Rasulullah merasa perlu penyampaikan pidato dengan amat semangat, dengan kata-kata yang bermakna luas kandungannya, dan memberi peringatan ancaman. Pemberitahuan ini dimaksudkan agar orang-orang dapat mempersiapkan bekal dengan sebaik-baiknya. Sahabat Rasulullah membantu Saw dalam mempersiapkan segala sesuatunya termasuk kebutuhan logistik. Rasulullah Saw menyeru kaum muslimin untuk menyumbangkan harta benda mereka guna membantu mereka yang dalam kesulitan bekal. Mulai dari Abu Bakar yang memberikan semua hartanya sebesar 4.000 dirham. Hingga membuat Rasulullah Saw bertanya: “Apakah kau menyisakan sesuatu untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab “Ya, aku menyisakan Allah dan Rasul-Nya. Umar bin Khatab menyerahkan separuh hartanya, begitupun Ustman bin Affan yang juga menginfakkan 10.000 dinar dan 300 unta dengan seluruh perangkat pelananya. Para sahabat lain pun tak ingin ketinggalan memberikan hartanya sesuai kemampuannya.
Padahal pada waktu itu keadaan para sahabat sedang susah, sehingga seekor unta harus dikendarai oleh 18 orang sahabat secara bergantian. Oleh sebab itu, perang ini pun disebut sebagai Jaysyul-Usrah yaitu pasukan kesulitan. Betapa tabahnya para sahabat dalam melaksanakan perintah Rasulullah Saw dan mengharap ridha Allah dari peperangan ini. Sebab saat bepergian mereka ke medan perang bertepatan dengan masa panen. Awal mula terjadinya peperangan ini, ketika kabar berita Raja Romawi akan menyerang Madinah dengan pasukannya yang sangat besar melalui Syam sampai kepada Rasulullah Saw. Terhadap berita ini, maka pada hari kamis tanggal 5 bulan Rajab tahun kesembilan Hijriyah, Beliau berangkat dari madinah untuk melawan serangan ini.
Rasulullah Saw berangkat dari Madinah ke Tabuk dengan membawa 30.000 prajurit. Akan tetapi banyak juga yang tidak ikut berperang, kurang lebih ada delapan puluh orang yang terdiri dari orang-orang munafik dan orang-orang Mukmin. Mereka yang tidak ikut berperang berbondong-bondong datang menemui Rasulullah Saw untuk menjelaskan dan mengemukakan berbagai alasan. Bahkan untuk meyakinkan Rasulullah Saw memperkuat alasan, mereka berani bersumpah. Rasulullah Saw dengan saksama mendengarkan berbagai alasan yang mereka ungkapkan. Cukup lama beliau menyimak setiap kalimat yang mereka lontarkan. Kemuliaan akhlak Rasulullah Saw terlihat disini, tetap tenang, tanpa marah-marah, tidak juga mendendam meski sudah dikecewakan orang-orang munafik tersebut. Dengan besar hati, Rasulullah Saw menerima alasan yang mereka sampaikan. Tak hanya itu, bahkan beliau juga berdo’a memintakan ampunan atas kesalahan yang mereka perbuat. Rasulullah Saw tahu mereka orang munafik, tapi ia tidak memperdulikannya. Beliau menyerahkan apa yang terpendam atau yang tersembunyi dalam hati mereka kepada Allah swt.
Sikap Rasulullah Saw tampak berbeda kepada orang-orang Mukmin yang tidak ikut berperang yang lurus hatinya, akan tetapi hatinya dihalangi udzur. Seperti diketahui, ada tiga orang yang tidak Mukmin yang tidak terlibat dalam perang Tabuk. Ketiga orang tersebut adalah Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ dan Hilal bin Umayyah. Ketiganya datang menemui Rasulullah Saw yang sedang duduk bersama sahabat untuk meminta izin, maaf dan menjelaskan alasan mengapa tidak ikut dalam peperangan.
Secara lahiriah, Rasulullah Saw menerima alasan mereka. Beliau memperkenankan mereka memperbarui baiat dan memohon ampun kepada mereka, sedangkan urusan batin mereka, beliau serahkan kepada Allah Swt. Sewaktu giliran Ka’ab bin Malik menghadap Rasulullah Saw, ia justru mengatakan yang tak sepantasnya disampaikan. Tak hanya ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ dan Hilal bin Umayyah juga melakukan hal serupa. Sejak saa itu Rasulullah Saw melarang kaum muslimin untuk berbicara dengan ketiga orang tersebut yang sama-sama absen dalam perang Tabuk. Kaum muslim mulai menjauhi mereka. Tak boleh satu orang pun orang muslimin berbicara kepada mereka. Mereka diasingkan. Sebuah sanksi moral dan sosial yang teramat sangat menyiksa.
Bumi yang sangat luas begitu terasa sangat sempit bagi mereka. Segala sesuatu yang lapang sangat terasa sempit bagi mereka bertiga. Mereka benar-benar dalam tekanan berat. Hukuman ini berlangsung selama lima puluh malam. Murarah bin Rabi’ dan Hilal bin Umayyah meratapi kesalahanya dengan memilih berdiam diri dirumah masing-masing sambil terus-menerus menangis, sementarra Ka’ab bin Malik memilih keluar rumah melakukan aktivitas seperti biasa. Saat ka’ab hendak menunaikan shalat jum’at tak seorangpun sudi bicara kepada Ka’ab. Tak hanya itu, mereka bahkan disuruh Rasulullah Saw untuk menjauhi istri-istri mereka selama 40 hari. Dunia terasa gelap dan pekat. Mereka menanti-nanti Allah Swt menurunkan wahyu-Nya supaya hukuman tersebut segera selesai.
Siang berganti malam, wahyu yang dinanti tak kunjung datang. Hingga akhirnya saat genap 50 hari masa hukuman mereka berlangsung, Allah Swt menurunkan ayat tentang pertobatan mereka. Kemudian Rasulullah Saw memberi tahu kaum muslimin kalau Allah Swt yang maha mulia lagi Maha Agung telah menerima taubat mereka. Kabar itu disampaikan beliau selepas menunaikan shalat subuh.
Kaum berdatangan muslimin mengucapkan selamat kepada mereka atas diterima taubatnya. Bahkan ada yang rela datang menunggang kuda, ada juga yang nekat naik gunung untuk mengucapkan selamat, sehingga suara lebih cepat sampai dari pada larinya kuda. Kemudian Ka’ab memutuskan pergi menemui Rasulullah Saw, sepanjang perjalanan banyak kum muslimin yang memberinya ucapan selamat, sempai akhirnya ia memasuki masjid. Ternyata Rasulullah Saw sedang duduk dikelilingi para sahabat. Salah sorang sahabat yaitu Thalhah bin Ubaidilllah berdiri menyambut dengan menyalami kedatangannya sambil mengucapkan selamat atas diterima taubat Ka’ab. Ketika Ka’ab mengucapkan salam kepada Rasulullah Saw, beliau bersabda dengan wajah berseri-seri karena gembira. Kemudian mereka berbincang-bincang mengenai kabar bahagia tersebut, bahkan Ka’ab bermaksud menyerahkan seluruh harta-bendanya sebagai sedekah untuk mendapat keridhaan Allah Swt dan Rasul-Nya. Akan tetapi, Rasulullah Saw menyarankan untuk menyisakan sebagian, namun Ka’ab bersikukuh keras ingin menyerahkan seluruhnya, ia merasa sangat bersyukur atas diterima taubatnya. Selanjutnya Allah Swt menurunkan ayat yang artinya:
“Sesungguhnya Allah Swt telah menerima taubat Nabi Saw, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, Maka Allah Swt menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah Swt menerima taubat mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah Swt, dan hendaklah kamu bersama orang-orang benar” (QS Al-Taubah [9]: 117-119).
Sedangkan, orang-orang yang tidak bisa berangkat karena ada halangan, Allah Swt berfirman, yang artinya: “Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit, dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas Allah Swt dan Rasul-Nya” (QS. At-Taubah [9]: 91). Ayat-ayat ini memberikan kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang jujur. (Ibnu Hisyam, Zad al-Ma’ad, HR. Bukhari, HR. Muslim dalam Sirah Nabawi dan Fathul Bari).
Rasulullah Saw kembali dari Tabuk ke Madinah pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriyah. Karena berbagai peristiwa terjadi pada tahun tersebut. Pertama, Najasyi Ashamah bin Abhar, Raja Habasyah, meninggal pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriyah. Rasulullah menshalatkannya secara ghaib di Madinah. Kedua, putri Rasulullah Saw Ummu Kultsum juga meninggal pada bulan Syawal tahun ke-9 Hijriyah. Rasulullah Saw menshalatkannya dan menguburkannya di Baqi’. Rasulullah Saw sangat sedih atas kematian putrinya. Kemudian beliau berkata kepada Utsman bin Affan, “Andaikata aku memiliki putri yang ketiga, pastilah aku akan menikahkannya denganmu. Ketiga, pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-9 Hijriyah, Abdullah bin Ubay meninggal. Lalu Rasulullah Saw menshalatkannya. Umar bin Khattab berupaya mencegah Rasulullah Saw agar tidak menshalatkannya. Namun, Rasulullah Saw tidak menggubrisnya. Barulah setelah itu turun Firman Allah Swt tentang larangan menshalatkan orang-orang munafik.
Dari perang Tabuk ada beberapa hikmah yang bisa kita ambil. Pertama, jihad melawan musuh-musuh Islam dimedan perang juga membutuhkan harta untuk menopang kekuatan pasukan. Itulah yang dilakukan sahabat ketika menginfakkan harta-bendanya menjelang keberangkatan ke perang Tabuk. Jihad berperang dan mengangkat senjata sangat terkait dengan pendanaan dan harta, maka wajib bagi kaum muslimin secara keseluruhan untuk memberikan harta mereka hingga terkumpul dana yang mencukupi biaya oprasional peperangan. Masing-masing sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Kedua, Perang tabuk mengajarkan kita tentang bahaya kemunafikan terhadap Islam disetiap masa. Seorang muslim harus membuktikan keislamannya dengan jihad dan ujian untuk membedakan mana yang benar dan mana yang dusta, mana Mukmin yang tulus dan mana yang munafik. Kaum muslimin harus mewaspadai orang-orang munafik seribu kali lipat dari pada musuh yang datang dari luar, karena mereka itu ibarat musuh dalam selimut. Kaum muslimin juga harus dengan cepat menumpas kemunafikan ketika benih-benihnya sudah mulai tumbuh.
Referensi:
- Kathur suhardi, Terjemah Sirah Nabawiyah, Jakarta Timur: Pustaka Al-kautsar, 2017
- Ahmad Hatta, dkk, Kisah Agung Muhammad Saw, Jakarta Timur: Maghfirah Pustaka, 2018
- Fuad Syaifudin Nur, Terjemah Fikih Sirah, Jakarta Selatan: Penerbit Hikmah, 2010
- Irwan Raihan, Terjemah Tahdzib Ibnu Hisyam, Solo: Al-Qowam, 2015
- H. Samson Rahman, Terjemah Sirah Nabawiyah, Jakarta Timur: Akbar Media, 2012
Kontributor: Ahmad Zainul Hadi Asyhar, Semester V