Pada 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan dirinya sebagai negara merdeka. Namun belum genap usia satu bulan usia kemerdekaan, Indonesia langsung mendapat permasalahan yang cukup berat, yakni tentara sekutu yang di dalamnya ada tentara Belanda mendarat di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Bung Karno dan Bung Hatta berupaya melakukan diplomatik untuk mendorong tentara sekutu bekerja secara profesional untuk mengurus divisi pertahanan dan tidak dilibatkan dengan status kemerdekaan Republik Indonesia. Akan tetapi, upaya itu tidak membuahkan hasil. Bung Karno berupaya menganalisis, jika sampai terjadi peperangan secara matematis, tentara Indonesia tidak akan mungkin bisa mengalahkan sekutu, dikarenakan persenjataan mereka jauh lebih lengkap, dan keahlian militernya lebih memadai. Atas saran jendral besar Soedirman, Bung Karno diminta mengirim utusan khusus kepada Raisul Akbar Nahdlatul Ulama (NU) Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Tujuannya untuk meminta fatwa KH. Hasyim Asy’ari tentang hukum berjihad dalam Islam membela tanah air dari ancaman penjajah. Mengenai hal ini KH. Hasyim Asyari tidak langsung menjawab, lantas ia memanggil KH. Wahab Hasbullah dari Tambak Beras, Jombang. KH. Wahab Hasbullah diminta mengumpulkan ketua-ketua umum cabang NU di seluruh Jawa dan Madura. Bertujuan untuk membahas persoalan ini, tidak hanya itu KH. Hasyim Asyari juga meminta Kiai umum NU lainnya melakukan salat istikharah. Salah satunya ialah KH. Abas yang berasal dari Buntet, Cirebon Jawa Barat.
Pada 21 Oktober 1945 seluruh delegasi NU se-Jawa dan Madura telah berkumpul di kantor pusat Anshar di Jalan Bubutan Surabaya. KH. Hasyim Asy’ari memimpin langsung pertemuan tersebut dan kemudian di lanjutkan oleh KH. Wahab. Setelah melalui diskusi yang cukup panjang dan mendengarkan hasil istikharah para kiai utama NU. Keesokan harinya tepatnya pada tanggal 22 Oktober 1945 pertemuan ini menghasilkan tiga rumusan penting yang kemudian di kenal dengan istilah Resolusi Jihad NU.
Hanya berselang tiga hari pasca Resolusi Jihad NU di cetuskan, para sekutu mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dengan persenjataan lengkap. Mendengar kedatangan pasukan penjajah sudah datang, ribuan santri dan Kiai dari penjuru Jawa Timur bergerak menuju Surabaya. Situasi ini pun terus memanas dan tak terkendali. Resolusi Jihad NU telah memompa semangat masyarakat dan memicu terjadinya pertempuran hebat selama tiga hari di Surabaya tanggal 27 sampai 29 Oktober 1945.
Tentara Inggris cukup kewalahan menghadapi perlawanan rakyat Jawa Timur. Mereka lantas mendatangi Bung Karno ke Surabaya untuk diajak berunding melakukan gencatan senjata. Pada pagi hari tanggal 30 Oktober 1945 gencatan senjata ditanda tangani pemerintah Indonesia dan Inggris. Namun sore harinya terjadi insiden di Jembatan Merah yang menewaskan orang nomer satu tentara Inggris di Surabaya yaitu Jenderal Mallaby, meninggalnya sang jenderal gencatan senjata pun langsung berakhir. Kemudian posisinya diganti Jenderal Robert Mansel, ia mengancam laskar pejuang dan tentara Indonesia agar menyerahkan senjata kepada Inggris, paling lambat 10 November 1945. Jika tidak, tentara Inggris akan membunuh dan menghanguskan Surabaya. Mendengar ancaman itu para komandan, Laskar Hizbullah, Sabilillah Mujahidin dan para santri marah besar.
Seorang pemuda bernama Soetomo atau yang dikenal dengan Bung Tomo, sowan kepada KH. Hasyim Asy’ari. Ia meminta izin kepada KH. Hasyim Asy’ari untuk menyiarkan dan menyebar luaskan Resolusi Jihad melalui radio.
“Bismillahirrahmanirrahim “merdeka” sodara sodara penduduk kota Surabaya kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman bagi kita semua. Kita dipaksa untuk menyerahkan senjata senjata yang telah kita rebut dari tangan tentara Jepang, tetapi inilah jawaban kita selama Indonesia masih mempunyai tanah merah yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih. Maka selama itulah kita tidak akan menyerah kepada siapapun juga. Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar Merdeka.”
Pertempuran pada 10 November 1945 tentara Indonesia membuat malu tentara Inggris, target mereka menguasai Surabaya dalam waktu tiga hari ternyata gagal. Bahkan di hari kedua, tentara Inggris kehilangan Jendral Robert Mansell, artinya dalam satu bulan menghadapi santri-santri Surabaya tentara Inggris telah kehilangan dua jenderal terbaiknya.
Perang Surabaya berlangsung selama tiga minggu. Takbir dan pekik merdeka menggema selama pertempuran berlangsung. Meski pada akhirnya Surabaya jatuh ke tentara Inggris, namun Inggris mengalami kerugian yang cukup besar. Ribuan serdadu terlatihnya tewas, termasuk 300 serdadu murka Inggris dari India dan Pakistan yang membelok ke Indonesia setelah tahu lawan mereka adalah para ulama Islam dan santri yang sedang berjihad membela negaranya. Korban di pihak Indonesia sendiri sekitar 60.000 tentara, laskar, para santri suka relawan gugur sebagai syuhada. Dalam peristiwa ini Bung Tomo mendapat dukungan penuh dari para Kiai dan santri serta masyarakat sipil bersatu padu melawan penjajah. Hal ini membuktikan bahwa dirinya tidak berjuang sendirian, di belakangnya ada ratusan Kiai dan ribuan santri turut andil melawan penjajah.
Dengan lahirnya Resolusi Jihad, semangat umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan semakin terbakar. Kemudian tanggal 10 November 1945 diputuskan sebagai Hari Pahlawan, Dan juga Resolusi Jihad lahir sebagai jawaban atas ketidakpastian yang melanda para pemimpin Indonesia dalam menghadapi penjajah. Bahkan para Kiai dan santri juga menjadi determinan bangkitnya perjuangan. Tanpa Resolusi Jihad NU tidak akan ada peristiwa heroik 10 November 1945 yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Rupanya kegigihan perjuangan KH. Hasyim Asy’ari tersebut cukup menjadi alasan untuk diberi penghargaan sebagai Pahlawan Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno.
Adapun peranan KH. Hasyim Asy’ari dalam perspektif sejarah menunjukan kontribusi KH. Hasyim Asy’ari dalam perjuangan menegakkan keadilan kebenaran dan amar ma’ruf nahi munkar. Sebagai ulama yang kharismatik, KH. Hasyim Asy’ari menentang adanya penjajahan Belanda terutama dikalangan anak muda dan juga KH. Hasyim Asy’ari mengajak mereka untuk berjihad dan menolak kerja sama dengan Belanda. Jihad yang dilakukan KH. Hasyim Asy’ari ini terbukti sangat efektif dalam membakar patriotisme umat Islam sehingga para penjajah lenyap dari negara ini. Selain itu KH. Hasyim Asy’ari adalah sosok ulama yang berada di garda terdepan dalam melakukan pemberdayaan umat dan menggugah kesadaran kolektif agar tidak mudah bertekuk lutut dihadapan penjajah. Semua itu dilakukan beliau demi kecintaanya kepada bangsa dan nilai-nilai luhur yang terdapat dalam ajaran Islam.
Namun tidak hanya itu saja, KH. Hasyim Asy’ari merupakan tokoh muslim yang memiliki jiwa pemimpin, pendidik, pejuang, dan kecerdasan intelektual yang sangat tinggi. Maka tidak heran pada tanggal 17 November beliau dijadikan sebagai Pahlawan Nasional. Pemikiran-pemikirannya tidak hanya dipatuhi oleh kalangan muslim saja, akan tetapi kalangan nasionalis juga meminta nasehat kepadanya.
Referensi:
Ahmad Baso, KH.Hasyim Asy’ari Pengabdian Seorang Kiyai Untuk Negeri, 2017.
Muhammad Rijal Fadli dan Bobi Hidayat, KH. Hasyim Asy’ari dan Resolusi Jihad dalam Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945, Lampung; CV. Laduny Aifatama, 2018.
Amirul Ulum Muassis NU: Manaqib 26 Pendiri Nahdlatul Ulama, Yogyakarta: CV. Global Press, 2020
Ferry Taufiq, Pekik Takbir Bung Tomo Perjalanan Hidup Kisah Cinta dan Perjuangannya, Yogyakarta: Araska, 2020
Sunarto, SANG KIYAI Sejarah Perjuangan dan Peran Pendidikan Islam Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, Pekalongan: PT Nasya Expanding Management 2020
Kontributor: Saraswati Sapta, Semester III
Editor: Dalimah NH