Mulla Sadra: Filsuf Terasing dari Persia

Mulla Sadra: Filsuf Terasing dari Persia

MAHADALYJAKARTA.COM Mulla Sadra dalam kitab Asfar menyatakan, “Ketika orang bijak menemukan kebenaran, ia tidak akan memperhatikan pernyataan yang keliru (secara konteks) dan tidak ragu pula ia akan menentang kepercayaan kaum mayoritas. Demikian ia akan menumpahkan perhatian kepada kebenaran yang disampaikan bukan kepada siapa yang menyampaikan.”

Sejak Islam memasuki Persia, wilayah ini dikenal sebagai tempat lahirnya cendekiawan Islam di berbagai disiplin ilmu, baik ilmu-ilmu agama maupun sains kontemporer. Dari tempat inilah lahir pemikir-pemikir besar Islam pada abad pertengahan dan setelahnya, mulai dari Ibn Sina sampai al-Ghazali, dari Jalaluddin Rumi (yang belakangan pindah ke salah satu daerah di wilayah Turki) sampai Nasiruddin Thusi, dan dari Syamsuddin al-Syahrazuri sampai Qutubuddin al-Syirazi. 

Tradisi keilmuan Islam terus berlanjut di daerah ini. Pada masa dinasti Safawi (1501-1786 Masehi), di wilayah Persia terdapat beberapa kota besar yang menjadi pusat pengetahuan, sains, dan filsafat. Salah satu di antara kota-kota yang terkenal itu adalah Syiraz. Tidak mengherankan jika banyak ahli-ahli sains yang mendapatkan pendidikan di kota ini selama hampir dua abad. Selain itu kota Syiraz juga disebut sebagai pilar para sufi (the tower of Mystics), yakni istana para penganut tasawwuf karena pengaruh ajaran salah seorang sufi yang sangat besar, Husain ibn Mansur al-Hallaj. 

Di kota inilah Mulla Sadra dilahirkan pada tahun 1571 Masehi. Dia adalah anak tunggal dari salah seorang menteri provinsi Fars yang bernama Khwajah Ibrahim ibn Yahya al-Qawami. Nama asli Mulla Sadra adalah Sadruddin Muhammad. Namun, dia lebih sering dipanggil Sadruddin atau Sadra. Belakangan, Sadra kecil ini menjadi seorang filosof besar yang dikenal dengan nama Mulla Sadra atau Sadr al-Muta’allihin.

Guru pertama Mulla Sadra adalah Sayyid Baqir Muhammad Astarabadi atau Mir Burhan al-Din Muhammad Baqir Damad yang lebih dikenal dengan nama Mir Damad. Mir Damad lebih dikenal sebagai seorang filosof dan sufi yang menggabungkan pemahaman Aristoteles serta Neoplatonis dalam sebuah pandangan sufistik yang diadopsi dari pemikir-pemikir Islam sebelumnya.

Mulla Sadra juga banyak mempelajari filsafat peripatetik maupun tasawwuf dari gurunya yang lain, Mir Abul Qasim Findiriski. Beliau dikenal sebagai filosof peripatetik sekaligus seorang sufi yang juga sangat banyak berperan membantu Mulla Sadra dalam belajar. Mir Abul Qasim Findiriski juga sangat suka menulis puisi-puisi sufistik, karyanya yang terkenal adalah Resaleh-ye Sena’iyyeh. Beliau meninggal pada tahun 1641 Masehi.

Selain belajar filsafat dan tasawwuf, Mulla Sadra juga belajar khusus ilmu tafsir, hadits, dan fiqh (al’ulum al-naqliyyah) di bawah bimbingan Baha’ al-Din Muhammad al-Amili yang dikenal dengan nama Syekh Baha’i. Beliau dilahirkan pada 17 Muharram 953 Hijriah atau 20 Maret 1546 Masehi di sebuah desa dekat Balbak di Jabal Amil, Libanon. Silsilah beliau bersambung ke Haris Hamadani, salah seorang pengikut Imam ‘Ali r.a. yang sangat setia. Syekh Baha’i datang ke Persia pada tahun 966 Hijriah atau 1558 Masehi.

Ketika dinasti Safawi dipimpin oleh Syah Abbas I pada tahun 996 Hijriah atau 1589 Masehi, ibu kota yang semula berpusat di Qaswin dipindahkan ke Isfahan. Para guru Mulla Sadra juga ikut berpindah ke Isfahan. Sebagaimana tradisi pada waktu itu, para pelajar biasanya meninggalkan kampung halamannya untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, salah satunya Mulla Sadra yang pergi ke Isfahan mengikuti gurunya. Di kota inilah Mulla Sadra memperdalam ilmunya kurang dari sepuluh tahun.

Setelah Mulla Sadra sudah menyelesaikan pendidikannya pada umur kurang lebih 29 tahun, dia kemudian meninggalkan kota Isfahan. Salah satu alasan Mulla Sadra meninggalkan Isfahan adalah karena perlawanan kelompok Akhbariyyun yang terkenal sangat literal dan konservatif dalam memahami ajaran-ajaran agama. Mulla Sadra memutuskan meninggalkan kehidupan masyarakat dan mengasingkan dirinya di sebuah desa kecil bernama Kahak yang berdekatan dengan kota Qom. Di tempat inilah Mulla Sadra menjalankan disiplin spiritual dan pendalaman hakikat kebatinan sekitar lima belas tahun lamanya dengan meninggalkan kegiatan belajar mengajar dan menulis.

Akhirnya, di sisa pengasingan ini Mulla Sadra kemudian mulai kembali menulis. Menurut sejarah, pada waktu inilah Mulla Sadra memulai bagian pertama dari kitab terbesarnya yang berjudul al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyyah al-Arba’ah atau al-Asfar yang mulai ditulis sekitar tahun 1628 Masehi. Setelah menyelesaikan menulis kitab, Mulla Sadra akhirnya kembali ke Syiraz (diperkirakan setelah tahun 1630 Masehi) dan mulai mengajar di tempat yang telah disediakan oleh pemerintah di kota tersebut. 

Namun, Mulla Sadra menghadapi penentangan sangat keras dari kelompok yang pernah menolak kehadirannya. Akan tetapi, di dalam keadaan seperti itu, Mulla Sadra justru menghabiskan waktunya untuk menulis dan menyempurnakan pemikiran filsafatnya. 

Corak dari pola pikir Mulla Sadra secara ringkas sebenarnya menitikberatkan kepada eksistensialisme atau kewujudan substansial. Yang mana, eksistensialisme ini jika dikaji akan mengundang kesamaran dan ambiguitas dalam wujud, harmonisasi perubahan, dan dinamika substansial yang tak terelakkan. Kemudian Mulla Sadra pun menawarkan penyelesaian problematika hal-hal yang sehubung dengan eksistensial ini melalui pendekatan iluminasi, peripatetik, filsafat neoplatonis, pola pikir Aristoteles, dan dzauq atau rasa penalaran rasionalitas yang dikombinasikan secara bersamaan (Al-Jam’u).

Mulla Sadra menghabiskan hidupnya di beberapa tempat. Selain di Syiraz, Isfahan, Qom, dan Kahak, dia juga pernah ke beberapa kota di Irak, Masyhad, dan Makkah. Dan akhirnya, dalam perjalanan hajinya yang ketujuh, Mulla Sadra jatuh sakit di kota Basrah, Irak. Tidak lama berselang, dalam sakit yang dideritanya, Mulla Sadra kembali kepada Allah Swt. pada tahun 1640 Masehi (1050 Hijriah), atau dalam sumber lain dikatakan tahun 1636 Masehi (1045 Hijriah) atau 1637 Masehi. Mulla Sadra dimakamkan di kota Najaf, tempat di mana Amirulmukminin Imam ‘Ali r.a. juga dimakamkan.

REFERENSI:

Sadruddin Asy-Asyirazi, Al-Hikmah Al-Muta’aliyah fi Al-Asfar Al-‘Aqliyah Al-Arba’ah, (Lebanon: Darul Ihya At-Turats, 1981)

Khalid Al-Walid, Tasawuf Mulla Sadra, (Bandung: Muthahhari Press, 2005)

M. Kamal, Mulla Sadra’s Transcendent Phillosophy, (Aldershot: Ashgate Publishing Limited, 2006)

M. Kamal, Menuju Kesempurnaan: Pemikiran Mulla Sadra, Terj. Mustamin Al-Mandary, Sunt. Dimitri Mahayana, (Jakarta, Penerbit Safinah, 2003)

Yahya Ibnu Habasy As-Suhrawardi, Hayakil An-Nur, (Mesir: Mathba’ah As-Sa’adah)

Kontributor: Daffa Claudio Irvansyah, semester V

Penyunting Bahasa: Isa Saburai

Leave a Reply