MQKN 2023 dan Rekontekstualisasi Nahwu Pesantren
Mendengar istilah lomba, boleh jadi yang terlintas di benak orang adalah kompetisi dan berebut kemenangan. Siapa yang juara, dialah bintangnya. Bagi yang kalah, dia harus menerima “kegagalannya”. Namun tidak demikian dalam lomba baca kitab. Soal menang-kalah memang bagian dinamika di dalamnya, tapi di balik itu ada banyak hal, terutama dan yang terpenting adalah shilatul afkār (silaturahmi intelektual) antar santri dari macam ragam latar belakang pesantren.
Musabaqah Qira’atil Kutub Nasional (MQKN) yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Subdit Pendidikan Diniyah dan Ma’had Aly (PDMA) telah menjadi ajang lomba baca kitab kuning akbar tingkat nasional yang dihelat sejak tahun 2004. Pada tahun ini, 2023, MQKN kembali dihelat dengan mengusung tema “Rekontekstualisasi Turas untuk Peradaban dan Kerukunan Indonesia.”
Perlukah Rekontekstualisasi?
Mengapa turats atau kitab kuning perlu direkontekstualisasi? Tentu jawabannya adalah karena kitab kuning memiliki potensi untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat modern, terutama kalangan muda perkotaan. Mereka seringkali tertarik untuk belajar agama melalui potongan konten yang tersebar di media sosial. Namun, seringkali konten-konten tersebut merujuk pada sosok publik figur yang sebenarnya tidak memiliki kapasitas dan keilmuan yang memadai untuk menyampaikan pesan-pesan ajaran agama dengan baik.
Dalam konteks ini, rekontekstualisasi kitab kuning dapat menjadi solusi. Kitab kuning dapat disajikan dalam bentuk yang lebih relevan dengan kebutuhan dan minat masyarakat modern. Melalui pendekatan yang tepat, potongan konten kitab kuning dapat disesuaikan dengan bahasa dan konteks zaman sekarang, sehingga lebih mudah dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, rekontekstualisasi kitab kuning juga dapat menjadi upaya untuk merajut kerukunan dan harmoni, serta memelihara keberagaman dalam kehidupan masyarakat yang toleran dan damai. Dengan menerapkan prinsip moderasi beragama, kitab kuning dapat menjadi sumber pengetahuan yang memberikan pemahaman yang inklusif bagi seluruh elemen bangsa. Hal ini sangat penting dalam menghadapi arus polarisasi dan gerakan politik identitas yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan Indonesia.
Dalam rekontekstualisasi kitab kuning, perlu dilakukan dengan hati-hati dan dilibatkan para ulama dan ahli agama yang memiliki pemahaman mendalam tentang kitab kuning itu sendiri. Dengan pendekatan yang tepat, kitab kuning dapat memberikan nilai-nilai agama yang kuat, sumber inspirasi moral, dan panduan bagi masyarakat modern yang beragam.
Urgensi Kitab Kuning
Kitab kuning di lingkungan pesantren memiliki posisi sangat penting. Setidaknya karena beberapa alasan. Pertama, pemeliharaan warisan keilmuan. Kitab Kuning adalah kumpulan kitab klasik yang menyimpan warisan intelektual Islam yang kaya. Pesantren memiliki peran penting dalam memelihara dan meneruskan warisan ini dari generasi ke generasi. Kitab Kuning memuat pengetahuan yang mendalam tentang ajaran Islam, termasuk aqidah, fiqh, tasawuf, dan ilmu-ilmu agama lainnya.
Kedua, sumber pemahaman keagamaan asli dan autentik. Kitab Kuning membantu memastikan pemahaman yang asli dan autentik terhadap ajaran Islam. Kitab-kitab ini berdasarkan kepada karya-karya ulama terkemuka dan berpengaruh dalam sejarah Islam. Pengajaran Kitab Kuning di pesantren memungkinkan peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang dasar-dasar ajaran agama Islam.
Ketiga, merawat kekayaan sumber daya. Kitab Kuning menjadi sumber daya penting dalam pesantren. Peserta didik dapat mengakses berbagai kitab klasik yang memberikan informasi dan panduan mengenai berbagai aspek kehidupan beragama. Kitab-kitab ini menjadi rujukan utama bagi ulama dan santri dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan dan dalam memperdalam pemahaman agama.
Keempat, konsistensi dengan Identitas pesantren. Kitab Kuning merupakan bagian integral dari identitas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional. Eksistensi Kitab Kuning di pesantren memperkuat karakter dan keunikan pesantren sebagai pusat keilmuan Islam yang didasarkan pada tradisi yang kaya dan sejarah panjang.
Rekontekstualisasi Nahwu Pesantren
Barangkali jargon ash-sharfu ummul ‘ulūm wan naḥwu abūhā (sharaf adalah ibu dari segala ilmu, sedangkan nahwu adalah bapaknya) tidak asing bagi para santri (dan alumni pesantren). Biasanya para guru di pesantren akan menyampaikan kutipan ini kepada para santri saat pembalajaran nahwu dan sharaf agar peserta didik semangat dalam mempelajari ilmu gramatika bahasa Arab ini.
Posisi nahwu dan sharaf memang menjadi pondasi bagi para santri sebelum mempelajari kitab yang beragam dan bermacam disiplin di lingkungan pesantren. Agaknya sangat mustahil kita bisa memahami kitab fiqh, aqidah, tasawuf, hadis, tafsir, dan sebagainya tanpa didasari penguasaan nahwu-sharaf yang baik. Ibarat seorang koki, ilmu gramatika bahasa Arab adalah seperangkat alat masaknya. Bagaimana mungkin koki bisa memproduksi makanan yang lezat tanpa fasilitas masak yang dibutuhkan?
Di lingkungan pesantren tradisional (salaf), sebagaimana juga berlaku di kebnayakan mata pelajaran lainnya, metode pembelajaran nahwu-sharaf menitikberatkan pada hafalan. Dari seperti kitab Al-Ajurumiyah untuk tingkat dasar, ‘Imrithi untuk tingkat menengah, dan Alfiyah untuk tingkat atas, semuanya berbasis hafalan.
Prinsip ini sebagaimana salah satu adagium yang juga akrab di lingkungan pesantren, “al-hāfizh hujjah alā man lam yaḥfazh, (orang yang hafal menjadi argumen terhadap orang yang tidak hafal). Berangkat dari prinsip ini maka tradisi menghafal mata pelajaran menjadi bagian integral di lingkungan pesantren.
Di tengah tuntutan zaman seperti sekarang, masih perlukah hafalan dalam pembejaran nahwu-sharaf? Mengingat generasi hari ini lebih tertarik dengan bahan ajar yang sederhana dan bisa dipahami dengan lebih cepat. Jelas upaya rekontekstualisasi metodologis seperti ini perlu, akan tetapi metode hafalan sebagai ciri khas dan budaya pesantren tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Perlu dilakukan adaptasi tanpa menghilangkan tipologi akademik pesantren. Sebagaimana jargon yang karib di telinga kita, “almuḥāfadzatu ‘alal qadīmish shaliḥ wal akhdzu bil jadīdil ashlaḥ” (merawat tradisi lama yang baik dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik).
Metode hafalan, termasuk kitab-kitab nahwu-sharaf yang dijadikan kurikulum di lingkungan pesantren, harus terus dijaga, tapi untuk menjawab tuntutan zaman pesantren juga harus terus berinovasi menyajikan metode pembelajaran terbaik. Kabar baiknya, kesadaran inovatif ini sudah dimiliki oleh para kiai dan pesantren itu sendiri. Buktinya, banyak bermunculan metode pembelajaran nahwu-sharaf kreatif.
Untuk menyebutkan beberapa diantaranya ada metode Amtsilaty KH Taufiqul Hakim, pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah Jepara, Jawa Tengah dan metode al-Miftah lil Ulum di Madrasah Diniyah Putri Pondok Pesantren Misbahul Hidayah Suboh Situbondo, dan masih banyak lagi. Kemunculan sejumlah metode ini merupakan upaya rekontekstualisasi metode pembelajaran nahwu-sharaf dengan tetap menjaga mata pelajaran kitab kuning yang eksis di pesantren.
Pada momen MQKN 2023 yang akan dihelat di Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur pada 10 Juli mendatang, untuk kitab nahwu Kemenag melombakan Matn al-Ājurrūmiyah karya Abu Abdillāh Muhamad ash-Shanhājī untuk tingkat ula, al-‘Imrīthī karya Syarf ad-Dîn Yahyâ al-‘Imrīthī untuk tingkat wustha, dan Syarh Ibn ‘Aqīl ‘alā Alfiyah Ibn Mālik karya Bahā’ ad-Dîn Abdullāh Ibn ‘Aqāl serta Jāmi’ al-Durūs karya Syekh Mushthafā al-Ghulāyaynī.
Semoga upaya ini mampu menjadikan kitab nahwu yang sudah sejak dulu menjadi kurikulum pesantren terus terawat, sekaligus memacu para santri untuk melakukan rekontekstualisasi metodologis pembelajaran nahwu di pesantren secara inovatif dan kreatif. Pemanfaatan perangkat digital juga perlu dimaksimalkan untuk menjawab tantangan zaman.
Muhamad Abror
Mahasantri Mahad Aly Jakarta