Lingkar Filologi Ciputat : “Menyemai Moderatisme dari Naskah Kuno Islam Indonesia”

Lingkar Filologi Ciputat : “Menyemai Moderatisme dari Naskah Kuno Islam Indonesia”

Pondok Cabe (30/5), para pegiat Kajian Filologi Islam Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah sedang mengadakan perkumpulan. Di sebuah warung sederhana, untuk membicarakan hal yang luar biasa. Membentuk Lingkar Ciputat, khusus membahas terkait Filologi Islam. Kajin yang belum banyak tersentuh oleh kalangan Filolog Indonesia.

Kajian Filologi yang dulunya kurang diminati kalangan mahasiswa Islam di Indonesia, sekarang sudah mulai banyak yang tertarik. Terbukti, kelas Filologi Islam dibanjiri oleh mahasiswa. Oman Fathurahman, merupakan satu-satunya Guru Besar UIN Jakarta yang menggawangi perkembangan kajian verifikasi naskah kuno Islam. Bahkan dia bisa disebut sebagai profesor pertama yang menekuni Filologi Islam di lingkungan PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri).

Komunitas Lingkar Filologi Ciputat sendiri, merupakan salah satu inisiasi dari Prof Oman (Panggilan Oman Fathurahman). Dibantu dengan M. Adib Misbahul Islam, salah satu doktor Filologi Islam dan juga dosen Filologi di SPs UIN Syarif Hidayatullah. Komunitas ini bertujuan untuk menambah geliat kajian naskah kuno Islam di lingkungan Ciputat. Ada 6 Mahasiswa dengan latar belakang berbeda yang secara intens mengadakan Focus Group Discusion (FGD) mempersiapkan draft pembentukan komunitas Lingkar Filologi Ciputat, di ketuai oleh Muhammad Daud Bengkulah (Mahasiswa Asal Palembang).

Sebagai rencana awal, memulai Kajian Pertama dan sekaligus Peresmian Lingkar Filologi Ciputat, akan membahas sebuah Naskah Kuno dari Aceh yang ditulis oleh Abdurauf As-Sinkili (Abad 17), berjudul “Tanbihul Masyyi” (Pengingat Bagi Pejalan).

Kitab yang memberikan pandangan moderat terhadap  pandangan dua madzhab yang bisa dianggap sama-sama radikal. Konflik tasawuf dan syariat,  antara aliran Hamzah Fansuri terlalu mengembangkan paham “Wahdatul Wujud” (Manunggaling Gusti, jawa read) dengan Nurudin Ar-Raniri berpandangan “Mutasyadidun” yang telah menfatwa kafir terhadap pengikut Hamzah Fansuri, yang berarti halal darahnya. Sedangkan Abdurauf As-Sinkili mencoba untuk mengambil jalan tengah diantara keduanya. Tidak mengembangkan paham radikal, dengan menyeimbangkan antara tasawuf dan syariat, sehingga bisa sejajar dan saling melengkapi.

Diskursus diatas penting untuk dibahas, ditengah perbedaan paradigma dalam beragama yang sudah mulai mencekam akhir-akhir ini. Ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam Islam sedang mengalami kegaduhan. Saling menuduh bid’ah (sesuatu yang tercela), sesat, bahkan  kafir, sudah mulai kembali difatwakan secara luas di muka umum. Karna hal itulah, yang paling penting untuk pengkaji dan peneliti kajian naskah seperti ini, harus berusaha mengaitkan kajian klasik dengan isu kontemporer (kekinian). Sebagai kontribusi terhadap kebutuhan masyarakat masa kini.

Makanya, penelitian manuskrip Islam di Nusantara itu difungsikan sebagai bukti empirik, bahwa kita memang Islam yang toleran. Islam moderat yang mampu berdialog dengan keragaman, Islam yang mempu menghubungkan antara lokalitas dengan globalitas.

Nur Salikin

Dosen Mahad Aly Sa’idusshiddiqiyah, Jakarta.

Leave a Reply