Ma’had Aly – Pendidikan merupakan upaya sadar yang dilakukan sepanjang hidup untuk mempersiapkan generasi yang memiliki derajat kemanusiaan yang tinggi dan mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah swt., sekaligus khalifah-Nya dimuka bumi, serta kreatif dalam melakukan berbagai aktifitas untuk mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pendidikan memiliki potensi penting yang harus mendapat perhatian sungguh-sungguh dari keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Dalam prosesnya, pendidikan haruslah bukan sekedar pengajaran yang hanya merupakan proses transfer ilmu, tetapi lebih pada proses penumbuhan kesadaran dan minat anak didik dalam mengaktualisasikan dirinya dengan tetap mengacu pada nilai-nilai luhur (great values) yang bersumber dari agama dan budaya bangsa. Pendidiklan pada hakikatnya mengembangkan potensi anak didik pada aspek jasmani, memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect), dan moral anak yang selaras dengan perkembangan alam dan masyarakatnya.
Dari berbagai macam cara pendidikan yang ada di Indonesia banyak sekali jenisnya dan terus melakukan pengembangan yang sesuai dengan kemauan pemerintah. Di kalangan tradisional pendidikan keagamaanlah yang semakin banyak terus dikembangkan melalui sebuah sistem yang bernama pesantren. Pesantren sendiri sudah sejak lama didirikan oleh para ulama’ Indonesia terdahulu, sejak zamannya Walisongo bahkan zaman ulama’ yang lebih sepuh lagi sampai saat ini pesantren masih tetap eksis dengan ciri khas kesederhanaan dan keagaman yang tetap melekat walau ditelan oleh masa.
Banyak sekali ulama’ pada zaman dahulu yang sangat berkontribusi besar dalam penyebaran agama Islam di Indonesia melalui berbagai macam cara yang dikembangkan oleh mereka sendiri salah satunya adalah pesantren. Misalnya pesantren Tebu Ireng yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari, seorang ulama’ abad 20-an yang namanya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Menurut A. Mujib dan kawan-kawan dalam bukunya Intelektualisme Pesantren menjelaskan bahwa KH. Hasyim Asy’ari sejatinya juga merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan pemikiran kependidikan. Oleh karenanya besar sekali pengaruh beliau dalam dunia pendidikan terutama dalam pendidikan Agama. Sehingga penyebaran Islam dikalangan orang-orang pribumi yang notabenenya berbeda budaya dan cara pandang tapi tetap bisa menerima ajaran agama islam dengan suka rela tanpa adanya paksaan dan pertumpahan darah.
Walaupun pada hakikatnya di dalam setiap perjuangan pasti ada saja kesulitan baik pertentangan dari kalangan masyarakat itu sendiri maupun dari kalangan haters elite yang sudah mengerti akan adanya suatu kebenaran yang telah hadir menghampirinya untuk menolongnya menuju cahaya yang terang dan penuh kebahagiaan, tapi karena keangkuhan dan kesombongannya yang sudah menguasai relung hati yang paling dalam, haters elite ini pun tetap memberikan penolakan kepada para ulama’ yang datang jauh-jauh dari negeri seberang untuk memperjuangkan agama Islam.
Ada banyak macam teori yang disampaikan oleh para pakar sejarah mengenai masuknya islam ke Indonesia. Menurut M. Harfin Zuhdi dan kawan-kawan dalam bukunya Islam Ahlussunnah Waljama’ah menjelaskan bahwa mengenai masuknya Islam di Indonesia paling tidak terdapat tiga teori yang dikembangkan oleh para ahli : “Teori Gujarat”, “Teori Persia”, dan “Teori Arabia”. Teori Gujarat dianut oleh kebanyakan ahli dari Belanda. Penganut teori ini memegang keyakinan bahwa asal muasal Islam di Indonesia dari anak Benua India, bukan dari Persia atau Arabia. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnapel dari Universitas Laiden, Belanda. Menurut Pijnapel, orang-orang Arab yang bermadzhab Syafii yang bermigrasi dan menetap di wilayah India kemudian membawa Islam ke Indonesia. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje.
Teori kedua tentang masuknya Islam di indonesia adalah teori Persia. Pembangun teori ini di indonesia adalah Hoesin Djajadiningrat. Teori ini menitik beratkan pandanganya kepada kesamaan kebudayaan masyarakat Indonesia dengan Persia. Pandangan ini agak mirip dengan pandangan Morrison yang melihat masuknya Islam di indonesia dari sisi kesamaan Madzhab, meski berbeda asal muasalnya.
Kesamaan kebudayaan yang dimaksud dalam teori Persia ini adalah: Pertama, peringatan 10 Muharam sebagai peringatan untuk Sayidina Husein. Kedua, ada kesamaan ajaran wahdatul wujud Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar dengan ajaran sufi Persia, al-Hajjaj (w. 922 M). Ketiga, penggunaan istilah Persia dalam tanda bunyi harakat dalam pengajian al-Quran, seperti jabar (Arab: fathah), dan masih banyak lagi.
Teori ketiga yakni adalah teori Arabia. Teori ini sebenarnya merupakan koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia. Diantara para ahli yang menganut teori ini adalah T. W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, Naquib al-Attas, A. Hasyimi, dan Hamka. Kedua terakhir adalah ahli dari Indonesia.
Arnold menyatakan bahwa para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah, atau pada abad VII dan VIII Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan sejarah, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia.
Dari berbagai macam teori yang telah kami paparkan diatas kita boleh saja mempercayai teori manapun sesuai dengan kemantapan kita dalam melihat data yang ada. Lagi pula itu semua hanya sebuah teori yang disampaikan oleh para ahli. Karena pada intinya kenapa Islam bisa sampai masuk ke Indonesia adalah berkat rahmat dari Allah swt. Yang menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin sehingga Alhamdulillah kita semua masih bisa merasakan dan mendapatkan kenikmatan Iman, Islam, dan Ihsan.
Terlepas dari semua teori diatas, banyak sekali ulama’-ulama’ yang sudah sangat masyhur dikalangan umat Islam Indonesia: ada Syekh Jumadil Kubro, Syekh Ibrahim Asmorokondi, Syekh Ali Rahmatullah, Syekh Ali Murtadlo, dan jajaran Walisongo lainya yang memberikan pengaruh sangat besar terhadap perkembangan Islam. Akulturasi budaya adalah cara yang digunakan oleh para Walisongo untuk menyebarkan Islam dengan sebuah penyampaian yang mampu menusuk kedalam relung hati yang paling dalam, karena dengan menggabungkan dua budaya yang berbeda menjadi satu lebih mudah rasanya untuk memberikan sebuah ajaran baru tetapi tetap tidak merusak budaya yang sudah melekat pada masyarakat Indonesia kala itu.
Dengan keahlian yang dimiliki oleh para wali dalam mengambil hati masyarakat, terlebih dari kalangan bawah yang akhirnya merasa terangkat derajatnya karena kesetaraan yang diajarkan oleh Islam yang menjelaskan bahwa sebenarnya semua manusia itu sama dimata Allah swt. yang membedakan adalah taqwanya, banyak sekali orang-orang yang berbondong-bondong masuk Islam dan terealisasikanlah bentuk dari Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Pendidikan yang diajarkan oleh para wali pun terus berkembang seiring berjalannya waktu dengan menanamkan prinsip yakhsallah sebagai pedoman pertama di dalam sebuah tarbiyah yang diambil dari ayat al-Quran: “انما يخسى الله من عباده العلماء” hingga sekarang prinsip yakhsallah masih terus dipegang kuat oleh para ulama’ penerus yang tetap melanjutkan perjuangan dalam menyebarkan agama Islam melalui pendidikan baik dikalangan pesantren maupun masyarakat luas.
Oleh Zidan Auva Billah, Semester IV