Intelektual Quotient Vs Emotional Quotient

Intelektual Quotient Vs Emotional Quotient

Sebuah kecendrungan klasik sepanjang sejarah manusia bahwa konflik-konflik intelektual besar acapkali terjadi karena adanya pemisahan, sebutlah misalnya, iman yang terpisah dengan rasio, serta EQ yang tercerai dari IQ[1].

Para cendikiawan telah mengahabiskan waktu lebih dari dua puluh tahun untuk meneliti permasalahan seputar; sistem kemanusiaan, pembelajaran transformasi, dan keefektifan pribadi. Sebutlah Robert K Cooper PhD[2], dengan pendapatnya yang mengutip kata-kata Robert Frost[3] : “Apa yang mereka tinggalkan di belakang dan acapkali mereka lupakan adalah aspek yang disebut oleh Robert Frost sebagai aspek ‘hati’.”

Hal ini diperkuat oleh pendapat seorang psikologi dari Yale, Robert Stenberg, ia seorang ahli dalam bidang Successful Intelligence yang mengatakan: “Bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa, kita telah memilih penguasa yang buruk.”

Pakar tersebut juga mengemukakan beberapa hal lain, sebagai berikut: “Salah satu sikap paling membahayakan yang telah dilestarikan oleh budaya kerja modern saat ini adalah, bahwa kita tidak boleh memercayai suara hati dalam situasi apapun. Kita dibesarkan untuk meragukan diri sendiri, untuk tidak memperdulikan intuisi serta mencari peneguhan dari luar bagi berbagai hal yang kita perbuat. Kita dikondisikan untuk mengandaikan bahwa orang lain lebih tahu daripada kita dan dapat memberitahu kebenaran sejati dengan lebih jelas dibanding yang dapat kita ketahui sendiri. Hal ini akan mendapat pengokohan bukti dari survey yang dilakukan terhadap ribuan eksekutif, manajer dan wiraswastawan yang berhasil menunjukan bahwa sebagian besar di antara mereka (para eksekutif, manajer dan usahawan) menggantungkan diri pada dorongan suara hati  sebagai sumber kecerdasan emosi dalam hampir semua keputusan dan interaksi yang diambilnya selama bertahun-tahun.”

Hal yang bertolak belakang dengan sistem pendidikan kita selama ini terlalu menekankan pentingnya nilai akademik, kecerdasan otak (IQ) saja. Mulai dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai ke bangku kuliah, jarang sekali dijumpai pendidikan tentang kecerdasan emosi yang mengajarkan: intergritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi, padahal justru inilah yang terpenting. Kita bisa saksikan bersama hasil bentukan karakter serta kualitas sumberdaya manusia era 2000 yang begitu rentan, juga krisis ekonomi 2005 yang dimulai dengan kenaikan BBM hingga 60%. Yang paling jelas ketika monetary crisis melanda Indonesia tahun 1997, hal tersebut ditandai oleh krisis moral atau buta hati di mana-mana. Meski memiliki pendidikan tinggi, pada hakikatnya mereka hanya mengandalkan logika dan mengabaikan suara hati. Kini banyak di antara mereka terperosok, karena dulunya adalah orang-orang yang telah mengabaikan suara hati yang menjadi dasar kecerdasan emosi atau EQ, dan terbukti kalau suara hatilah yang memberikan informasi yang benar.[4].

Bahaya terbesar yang dihadapi umat manusia pada zaman sekarang bukanlah ledakan bom atom, tetapi perubahan fitrah. Unsur kemanusiaan dalam diri manusia lah yang sebenarnya sedang mengalami kehancuran sedemikan cepat, sehingga yang tercipta sekarang ini adalah ras-ras non manusia atau tepatnya mesin berbentuk manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Mereka ibarat menjual ‘sesuatu’ namun mereka sendiri yang harus membayar harga ‘sesuatu’, hal tersebut diamati secara cerdas  oleh Ali Shariati (pakar sosiologi) tentang orang yang buta hati, (tidak punya hati) atau bahasa modernnya memiliki EQ rendah.

Berdasarkan survei di Amerika Serikat tahun 1918 tentang IQ, ditemukan ‘paradoks’ membahayakan, sementara skor IQ anak-anak makin tinggi, kecerdasan emosi mereka justru turun. Hal yang lebih mengkhawatirkan lagi, data hasil survei besar-besaran  tahun 1970 dan 1980 terhadap para orang tua dan guru. Mereka mengatakan bahwa anak-anak generasi sekarang lebih sering mengalami masalah emosi ketimbang generasi terdahulunya. Secara pukul rata, anak-anak sekarang tumbuh dalam kesepian dan depresi, mudah marah dan lebih sulit diatur, lebih gugup dan cenderung cemas, implusif dan agresif. Survei tersebut kemudian berlanjut dengan penelitian terhadap ratusan ribu pekerja, dari juru tulis hingga eksekutif puncak. Penelitian ini mencakup perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat hingga perusahaan kecil, bahkan wirausahawan. Dalam pengkajiannya ditemukan bahwa inti kemampuan pribadi dan social yang sama, terbukti menjadi inti utama keberhasilan (Kecerdasan Emosi).

Kemampuan akademik, nilai rapor, predikat kelulusan pendidikan tinggi tidak bisa menjdi tolok ukur seberapa baik kinerja seseorang dalam pekerjaannya atau seberapa tinggi sukses yang mampu dicapai. Banyak contoh di sekitar kita membuktikan bahwa orang yang memiliki kecerdasan otak saja, memiliki gelar tinggi, belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Seringkali justru yang berpendidikan formal lebih rendah, banyak yang ternyata mampu berhasil. Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ), padahal diperlukan pula bagaimana mengembangkan kecerdasan emosi seperti; ketangguhan, inisiatif, optimisme atau kemampuan beradaptasi. Saat ini begitu banyak orang berpendidikan yang tampak begitu menjanjikan, mengalami kemandekan dalam kariernya. Lebih buruk lagi, mereka tersingkir akibat rendahnya kecerdasan emosi.

Hasil penelitian Daniel Goleman[5] (2000) menyimpulkan :

  1. Kecerdasan emosi (EQ) menentukan 80% pencapaian kinerja individu dan organisasi; IQ (kecerdasan pikiran) hanya 20% saja menentukan kinerja.
  2. Orang yang memiliki kecerdasan emosi baik, akan mampu menggunakan otaknya dan kecerdasan pikiran (IQ) secara optimal; sebaliknya, orang yang kecerdasan emosinya buruk tidak mampu menggunakan otak dan IQ dengan optimal.[6]

 

Footnote

[1] Ari Ginanjar Agustian, ESQ Emotional Spiritual Quotient, (Jakarta: ARGA, 2005), h. 36.

[2] Robert K. Cooper, seorang sarjana independen yang telah menghabiskan lebih dari dua puluh tahun meneliti kepemimpinan, ilmu kesehatan, perubahan transformasional, dan efektivitas organisasi. Dia adalah CEO Advanced Intelligence Technologies, sebuah perusahaan konsultan dan pelatihan eksekutif dan organisasi yang berkantor pusat di Ann Arbor, Michigan, dan San Francisco. Dia telah mengajar di Program Eksekutif Stanford dan Forum Master: Yayasan Kepemimpinan, dan berfungsi sebagai anggota staf pengajar tambahan di Ph.D. program di Union Institute Graduate School di Cincinnati, di mana ia meraih gelar doktor dalam bidang kesehatan dan psikologi (diakses dari https://www.amazon.com/gp/product/0399524045/ref=dbs_a_def_rwt_bibl_vppi_i0 pada tanggal 9 November 2018 pukul 12:11).

[3] Robert Lee Frost (Maret 26, 1874 – Januari   29, 1963) adalah seorang penyair Amerika. Karyanya awalnya diterbitkan di Inggris sebelum diterbitkan di Amerika. Dikenal karena penggambaran realistik kehidupan perdesaannya dan komando pidato bahasa Amerika, Frost sering menulis tentang pengaturan dari kehidupan pedesaan di New England pada awal abad kedua puluh, menggunakan mereka untuk memeriksa tema sosial dan filosofis yang kompleks (diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Robert_Frost pada tanggal 9 November 2018 pukul 12:19).

[4] Ari Ginanjar Agustian, ESQ Emotional Spiritual Quotient, h. 38.

[5] Daniel Goleman (lahir 7 Maret 1946) adalah seorang penulis dan jurnalis sains. Selama dua belas tahun, ia menulis untuk The New York Times , melaporkan ilmu otak dan perilaku. Buku Emotional Intelligence -nya tahun 1995 berada di daftar penjual terbaik New York Times selama satu setengah tahun, buku laris di banyak negara, dan dicetak di seluruh dunia dalam 40 bahasa (diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Daniel_Goleman pada tanggal 9 November 2018 pukul 22:10).

[6] Idayustina, Emotional  Intelligence (EI), h. 2 (pdf)

Oleh: Abdul Aziz, Semester III

Leave a Reply