Hadapi Tantangan dan Peluang Era Millenial, Ma’had Aly Jakarta Tingkatkan Kajian Islam

Hadapi Tantangan dan Peluang Era Millenial, Ma’had Aly Jakarta Tingkatkan Kajian Islam

Demi meningkatkan kualitas keilmuan mahasantri di era millenial, Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta mengundang Prof. Dr. JM. Muslimin, MA, Direktur Program Magister Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai narasumber dalam studium generale yang bertemakan “Peluang dan Tantangan Mahasantri Kajian Islam Era Millenial”, Sabtu siang (24/08). Dihadiri seluruh mahasantri dan jajaran pimpinan serta civitas akademika, agenda berlangsung penuh antusiasme mahasantri. Studium generale ini diadakan guna memperkenalkan, melihat peluang serta tantangan terkait kajian Islam pada para mahasantri, begitu menurut Mudir II Ma’had Aly Jakarta, Ustadz Nur Salikin. Ia menukil sebuah kalimat bahwa tidak akan pernah muncul suatu kebangkitan tanpa adanya pengetahuan tentang sejarah.

Selanjutnya menurut narasumber Prof. Dr. JM Muslimin, MA, dahulu santri dinilai tidak memiliki keahlian, tak tahu peradaban dan kuno juga tak mampu mengikuti perkembangan zaman. Namun kini santri telah banyak yang berpikiran maju, paham akan peradaban dan inovatif. Beliau tekankan pada para mahasantri untuk tidak terpaku pada sejarah peradaban Islam di kawasan Timur Tengah saja, namun juga harus melakukan research tentang perjuangan santri dan kiai dalam memperjuangkan kemerdekaan NKRI. Menurutnya, santri adalah pewaris perjuangan para kiai terdahulu yang turut memperjuangkan kemerdekaan. Jika saja tiada pesantren, mungkin Islam hilang dari bumi Indonesia, tambahnya.

IT (Information and Technology) di zaman sekarang merupakan instrumen untuk mencapai segala tujuan manusia. Kabar gembira bagi mahasantri yang mayoritas kini telah melek teknologi agar mampu menggunakan kelebihan itu untuk mensukseskan proses belajar mereka sebagai generasi millenial, bukan untuk disalahgunakan sehingga timbul permasalahan. Santri yang hidup di zaman millenial ini wajib menuntaskan belajarnya, mereka adalah orang-orang yang tak padam semangat guna terus belajar dan meningkatkan kualitas diri.

Beliau mengutip QS al-Kahfi:13 “Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.”

Ia menyebut santri yang hidup di pesantren layaknya pemuda ashabul kahfi yang difirmankan Allah swt. dalam al-Qur’an. Para mahasantri hidup layaknya di gua (red-pesantren), guna menimba ilmu dan mengabdikan diri sehingga keluar dari pesantren seperti bangkit kembali karena keilmuannya, baik tentang kajian kitab yang banyak orang lupa akan itu, dan mengerti tentang sejarah perjuangan bangsanya.

Di sesi tanya jawab, beberapa pertanyaan datang dari mahasantri, salah satunya terkait kajian Islam terkhusus dakwah di era millenial ini. Beliau memberi kesimpulan teoritis bahwa “metode lebih penting dari materi”. Sejarah menurut banyak orang adalah cerita dongeng sebelum tidur, hal itu menjadikan sejarah sebagai kajian ilmu yang monoton sehingga perlu adanya inovasi baru dalam metode penyampaiannya, sama halnya dakwah. Inovasi ini bisa dilakukan dengan menerapkan metode audiovisual learning, student active learning, atau outdoor activities learning dengan menyesuaikan pihak-pihak yang dijadikan objek dakwah atau pembelajaran sejarah tersebut. Pada akhirnya, mahasantri era millenial wajib untuk terus melakukan inovasi di samping terus mencari peluang mengembangkan kemampuan diri dan meningkatkan kreativitas guna menghadapi semakin kompleksnya tantangan ke depan dan seiring perkembangan kemajuan zaman. (Lyda)

Leave a Reply