Eksistensi Wasiat Sunan Gunung Jati di Masyarakat

Eksistensi Wasiat Sunan Gunung Jati di Masyarakat

Ma’had Aly – Siapa yang tak kenal dengan Sunan Gunung Jati, sosok kharismatik yang selalu diingat di kalangan masyarakat karena perjuangan serta pengorbanannya dalam mensyiarkan ajaran Islam, khususnya di wilayah Jawa Barat meliputi Cirebon dan Banten. Sunan Gunung Jati tidak hanya mampu membawa masyarakat untuk mengikuti ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin dengan salah satu metode dakwah beliau melalui jalur pernikahan sehingga ajarannya mampu diterima masyarakat. Tidak hanya itu, Sunan Gunung Jati juga mampu meluluhkan hati dan jiwa rakyatnya melalui wasiat yang masih dilestarikan hingga saat ini.

Biografi Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati merupakan anggota Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa Barat, tepatnya di daerah Cirebon dan Banten. Adapun Jawa Barat merupakan daerah yang sering disebut daerah Sunda karena mayoritas penduduk Jawa Barat menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari.

Sunan Gunung Jati memiliki nama Syarif Hidayatullah yang lahir pada tahun 1450 M. Sunan Gunung Jati terlahir dari keluarga terhormat, ibunya bernama Nyai Rara Santang yang merupakan putri Prabu Siliwangi (Raja Pajajaran). Ayahnya bernama Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaludin Akbar yang merupakan Raja Mesir dan masih keturunan Nabi Muhammad saw. 

Pertemuan antara keduanya bermula ketika ibunda Sunan Gunung Jati (Rara Santang) bersama dengan paman Sunan Gunung Jati (Walang Sungsang) pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Di tengah perjalanan, tepatnya di pelabuhan Jeddah, Rara Santang dan Walang Sungsang bertemu dengan rombongan Syarif Abdullah. Dari pelabuhan tersebut Syarif Abdullah mengenal Rara Santang yang kemudian menjadi istri beliau.

Setelah melaksanakan ibadah haji, Syarif Abdullah melamar Rara Santang. Hal itu didiskusikan antara Rara Santang dengan Walang Sungsang, setelah mendapat kesepakatan antar keduanya, lamaran Syarif Abdullah diterima oleh Rara Santang. Saat hendak dilangsungkan pernikahan antara keduanya, Rara Santang meminta mas kawin yang tak biasa. Rara Santang menyampaikan kepada Syarif Abdullah, “Bila tuan suka padaku, saya meminta mas kawin bukan dirham atau emas maupun permata, saya meminta mas kawin semoga tuan kelak menyanggupi mempunyai putra yang menjadi imam di tanah Jawa, menjadi da’i agung waliyullah”.   

Mendengar permintaan tersebut, Syarif Abdullah merasa takjub dan heran melihat calon istrinya bukan seorang pecinta dunia. Namun hal ini juga membingungkan, bagaimana ia harus menanggapi permintaan mas kawin dari calon istrinya tersebut. Syarif Abdullah meminta petunjuk kepada Allah swt dan konon ia dibisiki oleh Nabi Khidir as agar menyanggupi permintaan tersebut. Akhirnya Syarif Abdullah menyanggupi permintaan tersebut dan dilangsungkanlah pernikahan antar keduanya. Dari pernikahan itu lahirlah sosok yang kelak menjadi tokoh penyebar Islam di tanah Jawa yaitu Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Salah satu strategi dakwah yang digunakan oleh Sunan Gunung Jati dalam memperkuat kedudukan, sekaligus memperluas hubungan dengan tokoh-tokoh berpengaruh adalah melalui jalur pernikahan. Dalam Babad Tanah Sunda telah tercatat bahwa Sunan Gunung Jati menikah tidak kurang dengan enam orang perempuan. Sunan Gunung Jati pertama kali menikah dengan Nyai Babadan, putri Ki Bedeng Babadan yang membuat pengaruhnya semakin luas dari Gunung Sembung hingga wilayah Babadan. Namun, sebelum dikaruniai putra, Nyai Babadan meninggal dunia. Selain itu, di Banten Sunan Gunung Jati juga menikahi Nyai Kawunganten setelah berhasil mengislamkan Ki Bedeng Kawunganten beserta rakyatnya. Dari pernikahan ini terlahir dua orang keturunan yaitu Ratu Winaon dan Pangeran Sabakingking (Sultan Hasanuddin). 

Dikisahkan bahwa Sunan Gunung Jati juga pernah menikah dengan seorang perempuan Cina bernama Ong Tien yang merupakan putri dari kaisar Cina dari dinasti Ming bernama Hong Gie. Dari pernikahannya tersebut Sunan Gunung Jati dikaruniai seorang putra, tetapi putranya meninggal saat masih bayi. Tidak lama setelah putranya meninggal, putri Ong Tien juga meninggal dunia. Syarif Hidayatullah kemudian menikah dengan Nyai Syarifah Baghdadi, adik dari Maulana Abdurrahman, yang dikenal dengan Pangeran Panjunan. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua orang putra yaitu Pangeran Jaya Kelana yang kemudian menikah dengan Ratu Pembayun, putri dari Raden Fatah (Sultan Demak) dan putra keduanya bernama Pangeran Bratakelana yang menikah dengan Nyai Ratu Nyawa. 

Wasiat Sunan Gunung Jati

Dalam perjalanan dakwahnya, Sunan Gunung Jati banyak mengukir sejarah dan selalu diingat oleh masyarakat hingga saat ini. Syarif Hidayatullah atau sering kita sebut dengan Sunan Gunung Jati sebelum wafatnya, beliau memberikan wasiat kepada anak cucu keturunannya. Wasiatnya berupa ajaran akhlak, ketakwaan serta keyakinan. Mengenai wasiat yang diberikan oleh Sunan Gunung Jati, terdapat dua wasiat yang masih dilestarikan dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat hingga sekarang. Wasiat ini ditulis dalam bahasa Jawa Cirebon dan menyiratkan sebuah makna yang mampu mengetuk hati masyarakat sehingga wasiat tersebut dapat bertahan dan diamalkan hingga saat ini.

Dua wasiat tersebut yaitu:

Ingsun titipna tajuq lan fakir miskin” (saya titip tajuq dan fakir miskin), artinya saya menitipkan langgar (mushala) dan fakir miskin. Tajuq yang dimaksud bukan sekadar mushala untuk beribadah saja, namun juga tempat yang digunakan untuk memperdalam ilmu agama. Dilihat dari sejarah dimulainya dakwah Sunan Gunung Jati di Cirebon, beliau mendirikan mushala sebagai sentra tempat dakwah ajaran Islam kepada penduduk Cirebon saat itu. Tajuq yang dimaksud ialah tempat yang digunakan sebagai tempat belajar dan mengajar masyarakat, baik mengenai ilmu umum maupun ilmu agama, seperti sekolah, pondok pesantren dan tempat-tempat lainnya yang digunakan untuk menimba ilmu.

Kemudian kata “fakir miskin” dapat diartikan sebagai seseorang yang memiliki keterbatasan dalam masalah ekonomi serta memerlukan bantuan dari orang lain. Dari kata tersebut dimaksudkan agar kita sebagai manusia hendaknya saling membantu dan bersedekah pada orang yang membutuhkan. Selain itu, kata fakir miskin juga dapat diartikan kepada seseorang yang sedang dalam proses belajar (menuntut ilmu), seperti pelajar, santri dan mahasiswa yang berniat belajar dan memerlukan bantuan untuk memperlancar proses belajarnya. Jadi tak heran jika masyarakat sangat peduli terhadap para santri dan pelajar.

Wasiat kedua Sunan Gunung Jati adalah “sugih bli rerawat, mlarat bli gegulat”  yang memiliki arti menjadi orang kaya bukan untuk kepentingan pribadi serta menjadi orang miskin bukan untuk menjadi beban orang lain. Dari wasiat tersebut dapat diambil pelajaran bahwa sekalipun menjadi orang kaya dan melimpah segalanya, harta yang kita miliki tidaklah untuk diri sendiri, melainkan untuk kemaslahatan umat. Maksudnya kita diwajibkan untuk bersedekah, membagi sebagian dari harta yang kita miliki kepada orang lain yang berhak menerimanya. Sunan Gunung Jati menganjurkan rakyatnya untuk membayar zakat bagi yang mampu sebagai ganti dari pembayaran upeti. Kemudian harta yang diperoleh dari pembayaran zakat tersebut dipergunakan untuk kepentingan umum dan didistribusikan kepada rakyat yang berhak menerimanya. 

Selanjutnya yaitu kata “mlarat bli gegulat” yang memiliki arti menjadi orang miskin bukan untuk merepotkan orang lain. Dari wasiat ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa sekalipun menjadi orang miskin, tetap mau berusaha dan tidak berpangku tangan hanya mengharap belas kasihan dan pemberian dari orang lain. 

  

 

Referensi

Agus Sunyoto. 2016. Atlas Wali Songo. Tangerang Selatan: Pustaka Ilman.

Zainal Abidin Bin Syamsudin. 2018. Fakta Baru Wali Songo.  Pustaka Imam Bonjol.

Rahimudin Nawawi AL- Bantani. 2017. Kisah Kisah Ajaib Wali Songo. Jakarta: PT. Bumi Semesta Media.

Hendy Muhammad. 2015. Sejarah Dakwah Sunan Gunung Jati dan Wali Sekitarnya. Indramayu: Al- Woif Publishing. 

Ridin Sofwan. 2000. Islamisasi Di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Fajar Offset. 

EH, “Dua Wasiat Utama Sunan Gunung Jati yang Selalu Diingat Saat Ramadan” https://m.tribunnews.com/ramadan/2019/05/12/dua-wasiat-utama-sunan-gunung-jati-yang-selalu-diingat-saat-ramadan. diakses pada 14 oktober pukul 22:54 WIB.

Oleh : Mia Dwi Afitri, Semester VI

Leave a Reply