Bercermin pada Sosok Ibundanya Kota Makkah: Sayyidah Hajar Al-Mishriyyah

Bercermin pada Sosok Ibundanya Kota Makkah: Sayyidah Hajar Al-Mishriyyah

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung pada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Qs. Ibrahim [14]: 37)

MAHADALYJAKARTA.COM – Demikian petikan doa Nabi Ibrahim as. yang diabadikan dalam Al-Qur’an setelah meninggalkan istrinya (Hajar) bersama putranya (Ismail) yang masih bayi di tengah tanah nan tandus lagi tak berpenghuni. Memang, tak ada role model (sosok teladan) yang melewati perjalanannya dengan cara berleha-leha tanpa uji dan coba. Begitupun dengan Ibunda Hajar, sosok cermin yang sedang dan akan kita bahas, hingga kemudian Makkah, air zam-zam, dan sa’i adalah menjadi tanda kehadiran dirinya. Tapi apakah kau tahu dari mana asal-usul Ibunda Hajar? Apakah kau tahu bagaimana respon yang ia berikan saat sang suami meninggalkannya bersama putra mereka yang masih bayi? Apakah kau tahu bagaimana kisah hidup, penderitaan, dan pengorbanannya?

Asal-usul

Hajar bukan berasal dari negeri Arab, bukan juga dari Palestina. Ia adalah anak dari seorang Raja Maghreb. Riwayat lain menyatakan bahwa ia adalah putri seorang Raja San’a yang negerinya ditaklukan oleh Raja Mesir nan zalim. Ayahnya dibunuh oleh raja zalim tersebut dan seluruh rakyatnya dijadikan budak, termasuk Hajar pun ikut ditawan menjadi seorang budak. 

Dulu, ketika masih tinggal bersama ayahnya, ia sering diajak ke kampung-kampung untuk menyelesaikan beberapa urusan yang berhubungan dengan rakyat. Hajar cakap menulis dengan pena, ia menguasai irigasi dan keterampilan berbicara di depan publik, juga memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi. Takdir meluncur begitu deras pada Hajar, dari seorang anak raja menjadi seorang budak.

Selama menjadi budak, Hajar mendapat perlakuan berbeda dari budak lainnya karena identitasnya yang merupakan keturunan dari seorang raja. Oleh sebab itu, Hajar mendapatkan pendidikan di asrama khusus untuk belajar ilmu dan keterampilan menjadi pelayan raja dan para pembesar kerajaan. Allah yang mengatur penyelamatan Hajar dari kekejaman raja zalim, dengan mengirimkan pasangan suami istri yang tak lain adalah Nabi Ibrahim as. dan Sayyidah Sarah ke negeri itu.

Pada waktu itu, Ibrahim dan Sarah sedang dalam perjalanan hijrah ke Syam. Kabar kecantikan Sarah menyebabkan raja zalim menginginkan Sarah menjadi selirnya. Tapi, Allah melindungi Sarah dari kejahatan raja zalim itu. Setiap kali tangan raja zalim bermaksud menyentuh Sarah, tiba-tiba menjadi kaku dan tidak bisa bergerak. Hal ini berulang hingga tiga kali, raja zalim pun menjadi takut dan meminta pengawalnya untuk menyingkirkan Sarah. Bahkan, raja zalim itu menyuruh pengawalnya agar memberi hadiah kepada Sarah berupa seorang pelayan bernama Hajar, beberapa ekor hewan ternak dan beberapa harta lainnya.

Setelah itu, Ibrahim dan Sarah yang kini juga ada Hajar bersama mereka, melanjutkan perjalanan ke Syam (sekarang meliputi empat negara yaitu Palestina, Yordania, Lebanon dan Suriah). Sarah mengenalkan Hajar pada nilai-nilai kebaikan dan ketuhanan yang membawa percikan iman di dada Hajar. Di rumah Ibrahim, Hajar merasa dekat dengan sumber-sumber kebaikan, ia mendengarkan apa saja yang dikatakan dan didakwahkan oleh Ibrahim. Ajaran-ajaran Ilahi yang menyemaikan benih keimanan terus tumbuh subur. Dengan kecerdasan yang tinggi, Hajar mampu memahami shuhuf-shuhuf Ibrahim (lembaran-lembaran wahyu dari Allah yang diberikan kepada Nabi Ibrahim as.).

Pada suatu hari, Sarah berkata kepada Ibrahim, “Allah tidak mengaruniaimu anak dariku, maka suruhlah Hajar masuk, mudah-mudahan Allah memberimu anak melaluinya”. Sarah menghadiahkan Hajar kepada Ibrahim, untuk dinikahinya. Kemudian Hajar hamil dan melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Ismail. Ibrahim dan Sarah sangat gembira atas kelahiran anak itu. Namun, perempuan tetaplah perempuan, kegembiraan Sarah tidak bertahan lama karena sifat cemburu mulai bergejolak dalam dirinya.

Tentang Ibunda Hajar, Kota Makkah, dan Air Zam-zam

Ibnu Katsir dalam ‘Qashashul Anbiya’-nya menuturkan bahwasannya tak lama setelah Hajar melahirkan Ismail, kecemburuan Sarah semakin menjadi. Sarah meminta kepada Ibrahim untuk menyingkirkan Hajar dan bayinya, agar tak terlihat lagi oleh Sarah. Setelah meminta petunjuk kepada Allah, Ibrahim membawa Hajar dan putranya (Ismail) pergi menuju suatu tempat yang sudah diperintahkan oleh Allah dan menempatkannya di tempat tersebut. Tempat yang saat itu dalam kondisi tandus lagi kering, tidak ada tumbuh-tumbuhan lagi tempat bernaung, tempat itu kini dikenal dengan nama Makkah. Ada yang mengatakan bahwa Ismail saat itu masih menyusu (menetek) pada ibunya, Hajar.

Ketika Ibrahim hendak meninggalkan mereka, Hajar segera menyusul dan menarik baju Ibrahim seraya bertanya, “Wahai Ibrahim kemana engkau hendak pergi? Kau tinggalkan kami di sini, padahal kami tidak mempunyai bekal yang memadai.” Ibrahim tidak menjawabnya. Hajar terus saja mengulang pertanyaannya, tetapi Ibrahim tetap diam saja. Hajar yang berusaha mengerti dan memahami bahwa suaminya tidak mungkin berbuat jahat dan juga pasti selalu melakukan sesuatu atas petunjuk Allah, mencoba mengubah pola komunikasinya. Hajar mengubah pola komunikasinya dari pola komunikasi sebagai istri kepada suami menjadi pola komunikasi sebagai hamba Allah. Ia pun berujar, “Apakah Allah yang memerintahkan hal ini kepadamu?”

“Ya,” begitulah jawab Ibrahim pada akhirnya, yang kemudian ia pergi tanpa berani menoleh lagi.

Hajar berkata, “Kalau begitu, Allah tidak akan menyia-nyiakan kami selamanya.” Sungguh, sebuah jawaban yang melambangkan totalitas seorang hamba yang mendalam kepada Allah, keimanan yang tinggi, dan kepasrahan pada takdir yang telah digariskan.

Setelah Ibrahim pergi, Hajar mulai menyusui Ismail sementara ia sendiri minum dari air yang tersedia. Ketika air dalam bejana sudah habis, Hajar kehausan, begitu juga Ismail. Sebagai seorang ibu, Hajar tentu tak tega melihat putranya terus menangis dan juga terlihat lemas karena kehausan. Ia pun segera berusaha mencari air. Ia sampai di bukit Shafa yang letaknya paling dekat dari tempatnya berada, ia naik dan berdiri di atasnya melepas pandangan ke segenap penjuru, berharap menemukan air atau melihat seseorang yang melintas. Namun, hasilnya nihil. Hajar pun turun dari bukit Shafa hingga ketika sampai di tengah-tengah lembah, ia mengangkat bagian bawah bajunya. Hajar terus berusaha sekuat tenaga hingga ia berhasil melewati lembah. Selanjutnya, ia mendaki bukit Marwah dan berdiri di atasnya. Namun, hasilnya masih sama saja. Hajar masih tak putus asa, meski angin pasir menyilet wajahnya, batu-batu cadas Shafa dan Marwah menggores tangan dan kakinya, kulitnya melepuh didera angin gurun, ia tetap berlari antara kedua bukit itu hingga tujuh kali. Sebab itu, ia adalah orang pertama yang melaksanakan sa’i. Dalam pelaksanaan ibadah haji, berlari antara bukit Shafa dan Marwah sampai tujuh kali (sa’i) merupakan salah satu rukun ibadah haji sebagai pengingat penderitaan dan pengorbanan Hajar. Juga peringatan untuk kita agar setiap menghadapi sesuatu kiranya harus bergerak dan berusaha, jangan diam mematung saja. Barulah berpasrah kepada Allah Swt.

Setelah kali ketujuh Hajar berlari, di dekat kaki Ismail, Allah pancarkan air zam-zam. Setelah itu, Hajar membendung air dengan kedua telapak tangannya hingga membentuk kolam kecil dan mengucapkan kata-kata ‘zam-zam’ (yang berarti berkumpullah).

Baca Juga:

Sejarah dan Keunikan Air Zamzam

Tentang Peristiwa Penyembelihan Ismail

Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (Qs. As-Shaffat [37]: 102)

Pendidikan seperti apa yang telah diberikan Hajar pada Ismail sehingga ia memiliki sifat yang begitu mulia dan utama seperti ini?

Meskipun Ibrahim bertahun-tahun meninggalkan mereka, tak sedikit pun ada dendam dalam diri Hajar. Peristiwa yang direkam dalam surat As-Shaffat di atas juga yang selalu dibahas ketika hari raya Idul Adha itu kiranya sudah cukup menjadi bukti akan hal tersebut. Ketersambungan tauhid dan risalah Allah yang tertanam dalam jiwa Ismail tentu berkat kekuatan dan keteguhan Hajar.

Tidak seperti yang dikatakan oleh para orientalis bahwa Hajar adalah korban penindasan laki-laki atas perempuan, yang hanya difungsikan sebagai alat memproduksi anak, yang disia-siakan, yang dibuang. Seandainya Hajar adalah korban, lalu mengapa ia berhasil mendidik Ismail hingga sedemikian rupa? Peran Ibrahim yang mengajarkan shuhuf Ibrahim, ketika mereka masih tinggal berdekatan, memberikan bekal sempurna pada Hajar untuk mendidik Ismail. Hajar mampu ‘berinteraksi’ dengan ilmu yang diajarkan Ibrahim pada setiap malam dan mampu menguasainya dengan cepat. Setiap mendapat kesulitan, Hajar mencari referensi dari apa yang pernah diajarkan Ibrahim padanya dulu.

Ketiadaan fisik ayah bagi Ismail diisi oleh Hajar, yang memang mempunyai keterampilan multitasking. Hajar sungguh garang dalam menaklukan batu cadas Shafa dan Marwah, tetapi ia juga begitu lembut ketika menyusui Ismail. Orang-orang dari Bani Jurhum (mereka singgah ketika mengetahui ada air zam-zam dan memutuskan menetap di sana bersama Hajar dan Ismail) juga meminta pendapat dan jalan keluar pada Hajar bila mengalami perselisihan dan kebuntuan. Hajar mampu tampil sebagai pemimpin. Ayahnya lah yang mengajarkan Hajar tentang life skill, tetapi untuk visi akhirat, Ibrahimlah yang telah mengajarkannya secara utuh.

Dalam peristiwa ini, Hajar juga telah membuktikan salahnya stigma bahwa perempuan itu penggoda dan mudah tergoda. Ia bahkan sebaliknya, sangat digdaya menghadapi rayuan maut setan yang memanfaatkan naluri keibuannya untuk menolak perintah Allah.

Sayyidah Hajar adalah simbol kesetaraan ras dan kedudukan sosial, ia yang dikenal sebagai hamba sahaya telah menjadi inspirasi abadi bagi dunia, kekuatan imannya, kedahsyatan lakon hidupnya, dan keluarbiasaan karakternya. Makkah yang penuh berkah, zam-zam yang terus melimpah, sa’i dan lempar jumrah sampai kelahiran Muhammad Rasulullah saw., adalah tak lepas dari keberadaannya. Tanpa pengorbanan, kasih sayang, dan pendidikan rabbaniyahnya, Ismail kecil mungkin tak akan menjadi anak yang berbudi dan berbakti di usia belia.

Semoga Allah memperkenankan kita semua dapat meneladani sosok Ibunda Hajar, kekuatan akidahnya, keimanan dan ketaatannya, tawakkalnya, semangatnya, juga kematangan jiwanya.

Salawat dan salam semoga tercurah kepada para nabi, keluarganya, dan orang-orang beriman yang mengikuti jejak mereka.

Wallahu a’lam.

Referensi:

Ahmad al-Usairy, At-tarikh al-Islami/SEJARAH ISLAM: Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Terj. Samson Rahman, Sunt. Harlis Kurniawan, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2004).

Dian Yasmina Fajri, HAJAR: Perempuan Pilihan Langit, (Jakarta: Gema Insani, 2015).

Ibnu Katsir, Qashashul Anbiya/Kisah Para Nabi, Terj. Saefullah MS, Sunt. Ikhlas Hikmatiar, (Jakarta: Qisthi Press, 2015).

Syamsul Huda, dkk., Feminisme dalam Peradaban Islam, (Surabaya: Pena Cendekia, 2019).

Muhammad Roihan Nasution, ULUMUL QUR’AN: Kajian Kisah-kisah Wanita dalam Al-Qur’an, (Medan: Perdana Publishing, 2019).

Shodiq Elhamba, GAGAL MENJADI BIDADARI: Tampilan Luar Menjadi Nomor Satu, (Yogyakarta: Madani Kreatif, 2022).

Sibel Eraslan, Zemzem’in Annesi: Hazreti Hacer/HAJAR: Rahasia Hati Sang Ratu Zamzam, Terj. Aminahyu Fitriani, Sunt. Bunda Ina, (Jakarta: Kaysa Media, 2015).

Kontributor: Mamluatul Hidayah, Semester V

Editor: Dalimah NH

Leave a Reply