Dema Amali melalui Departemen Keperempuanannya sukses mengadakan Talkshow ‘Para Puan Berbincang’. Kegiatan ini ditujukan untuk dapat menjadi sarana komunikasi, kolaborasi, dan diskusi mahasantri putri Ma’had Aly se-Indonesia, dimana direncanakan talkshow ini akan diselenggarakan hingga lima seri berturut-turut dalam tenggat waktu satu bulanan secara virtual melalui google meet.
Dimulai pada bulan Juni, seri pertama talkshow ini mengangkat tema “Potensi dan Strategi Mahasantri Ma’had Aly dalam Merespon Isu Perempuan dan Sosial”. Menghadirkan dua pembicara, yakni Hilyatul Aulia Munir (alumni Ma’had Aly Kebon Jambu) dan Rosyida Chaulatul Jannah (mahasantri putri Ma’had Aly Zamachsyari, Jawa Timur). Diikuti oleh para mahasantri Ma’had Aly khususnya mahasantri putri seluruh Indonesia, tak terkecuali mahasantri Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta, talkshow seri pertama tersebut terlaksana pada Jum’at (10/06/22).
“Mengapa isu perempuan ini sangat penting direspon oleh Mahasantri Ma’had Aly? Karena kita selalu merasakan sendiri bahwa perempuan selalu di nomor duakan di sekitar kita. Mungkin di Indonesia tidak mendeskriminasikan perempuan tetapi budaya-budaya yang ada itu masih kental sehingga perempuan menjadi di nomor duakan,” tutur Hilyatul Aulia Munir yang berkesempatan menjadi narasumber pertama itu.
Alumni Ma’had Aly Kebon Jambu yang juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Dema Amali di periode 2019-2020 itu menegaskan bahwa penting sekali bagi mahasantri untuk merespon isu-isu terhadap perempuan. Banyak sekali yang meyuarakan seorang perempuan yang berpendidikan tinggi, memiliki ilmu yang tinggi merupakan sesuatu yang dapat melanggar dari syariat. Padahal dalam agama Islam tidak ada yang melarang perempuan untuk berpendidikan tinggi serta memiliki ilmu yang tinggi. Isu tersebut merupakan suatu anggapan masyarakat yang salah, sehingga isu tersebut sudah menjadi budaya di masyarakat. Menurutnya, edukasi-edukasi ataupun informasi-informasi yang didapat masyarakat mungkin masih jauh dari pemahaman dalam konteks agama yang sebenarnya, oleh sebab dari itu penting bagi mahasantri untuk merespon atau memberi pemahaman kepada masyarakat.
“Selama ini kenapa perempuan banyak korban diskriminasi atau korban ketidakadilan? Salah satu pemicunya adalah wacana agama yang banyak beredar dalam hadits bahwa (misalnya tentang) perempuan itu tidak boleh berjalan tiga hari tanpa didampingi oleh mahromnya, penghuni terbanyak di neraka adalah perempuan,” tambah mahasantri yang akrab disapa Hilya itu.
Melanjutkan pemaparannya, penulis buku Santriwati Berbicara itu menjelaskan bahwa pada kenyataannya banyak hadits-hadits tersebut terlihat menyudutkan perempuan, seakan bahwa perempuan pantas didiskriminasikan, padahal tidak demikian. Hilya menuturkan bahwa untuk menyikapi hal tersebut, mahasantri hendaknya bisa lebih bijak dan mengetahui isi dalam hadits secara jelas dengan mendalami tafsirannya. Dengan begitu, mahasantri akan mampu merespon setiap persoalan dan berperan di masyarakat dengan kekuatan terbesar sebagai santri yang menjunjung tinggi tradisi pesantren dan kitab kuning yang memang sangat diperlukan untuk memahami hadits-hadits yang perlu untuk ditafsiri lebih dalam lagi.Selain itu, turut hadir mahasantri putri Ma’had Aly Zamchsyari, Rosyida Chaulatul Jannah sebagai narasumber kedua yang menegaskan bahwa, “Perempuan itu harus berani menyuarakan isu-isu yang memang sudah menjadi budaya sangat kental di masyarakat, dengan modal berani, isu yang ada di masyarakat ini akan sedikit terurai”.
Wakil Bendahara Dema Amali periode 2019-2022 itu menuturkan bahwa awal dari budaya terkesampingkannya perempuan di Indonesia adalah ketika para penjajah melarang perempuan untuk memiliki pendidikan yang tinggi, dan itu merupakan sebuah rancangan penjajah. Penjajah mengira perempuan itu memiliki kekuatan yang bisa menghancurkan negara, kalau perempuannya baik maka negara pun akan baik, karena dari perempuanlah lahir generasi-generasi yang bisa mengembangkan negara ini. Penjajah takut jika perempuan memiliki kecerdasan. Menurut Rosyida, walaupun kini Indonesia telah merdeka, namun budaya-budaya pemahaman masyarakat yang salah tentang perempuan masih saja ada.“Harapannya mahasantri bisa merespon dengan baik terhadap isu-isu itu, menghilangkan budaya-budaya yang memang salah kaprah. Dengan melakukan perubahan yang baik dan benar dan anggapan bahwa (perempuan) unggul dari laki-laki adalah sebuah pelanggaran terhadap syariat,” tandasnya.
Dema Amali merupakan forum komunikasi dan konsolidasi Dewan Mahasantri se-Indonesia yang berada di bawah naungan Asosiasi Ma’had Aly Indonesia (Amali) dan telah mendapatkan SK dari Kementerian Agama RI. Sedangkan, Amali (Asosiasi Ma’had Aly Indonesia) merupakan forum yang dibentuk dalam rangka memfasilitasi hubungan kerja sama dan menyamakan pandangan antar Ma’had Aly se-Indonesia.
Pewarta: Rinanda Salsa Sabila, Semester IV.