ArtikelSejarah

SENJA TERAKHIR DI ANDALUSIA

MAHADALYJAKARTA.COM—Pernahkah kalian membayangkan sebuah peradaban yang begitu maju, damai, dan indah perlahan-lahan menghilang seperti cahaya senja yang tertelan malam? Bagaimana mungkin sebuah pusat ilmu pengetahuan dan pusat toleransi berubah menjadi reruntuhan yang sunyi? Dan apa yang yang akan terjadi jika Alhambra tak lagi milik mereka yang membangunnya dengan iman dan kecintaan?

Di balik reruntuhannya Alhambra yang megah, terbentang kisah agung yang mewarnai cakrawala Eropa. Jejak peradaban Islam di semenanjung Iberia tidak sekedar tercatat dalam sejarah, akan tetapi tertanam dalam berbagai macam bidang seperti puisi, arsitektur, bahkan dalam berbagai lukisan. Bagaimana tidak? Sebuah kota yang  begitu diidamkan kala itu, merupakan surga dunia dimana tiga agama Muslim, Yahudi, dan Kristen saling bahu-membahu dalam menghidupi Andalusia dengan berbekal keilmuan, kerjasama sosial, dan menjunjung tinggi nilai leluhur yang disepakati bersama. Namun, seperti senja yang perlahan memudar, kejayaan itu pun lenyap. Bukan hanya karena peperangan, tetapi karena runtuhnya ruh yang menyatukan masyarakat. 

Sejarah ini dimulai pada tahun 711 M ketika Thariq bin Ziyad dan pasukannya dari Afrika Utara menyebrangi Selat Gibraltar dan menaklukkan Raja Roderick dari bangsa Visigoth (Antonio 2016). Dengan keberanian dan keyakinan, Thariq membuka babak baru dalam sejarah di benua biru. Wilayah yang kemudian dikenal sebagai al-Andalus tidak sekedar menjadi wilayah kekuasaan Islam, melainkan berkembang menjadi pusat peradaban yang unik, yang memadukan mahakarya budaya, ilmu pengetahuan, dan spiritualitas yang menyatukan berbagai golongan dan keyakinan. Dalam waktu yang relatif singkat, Islam mengakar dan menyebar luas, mengubah wajah Spanyol menjadi pusat kecemerlangan intelektual dan seni. Kota-kota seperti Cordoba, Toledo, dan Granada tumbuh menjadi mercusuar peradaban di tengah Eropa yang kala itu masih tertinggal secara ilmiah dan sosial. 

Pada puncak kejayaannya, terutama di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah di Cordoba, al-Andalus menawarkan model kehidupan masyarakat yang harmonis dan maju. Jalan-jalan di Cordoba telah memiliki penerangan saat kota-kota besar Eropa masih gelap. Perpustakaan megah menyimpan ratusan ribu manuskrip dari seluruh penjuru dunia, dan lembaga-lembaga pendidikan menerima siswa dari beragam latar belakang etnis dan agama. Disinilah para pemikiran besar seperti Ibn Rushd (Averroes) sang ahli astronomi dan matematika, Ibn Sina (Avicenna) ahli kedokteran, Al-Khwarizmi (Algorizm) penemu angka 0 (nol) dan algoritma (Romlatul Wahidah 2025).

Peradaban ini tidak sekedar menyalin ilmu dari dunia luar, tetapi mengembangkan dan menyebarkannya kembali ke dunia Barat. Andalusia menjadi jembatan pengetahuan antara Timur dan Barat, di mana ilmu pengetahuan Yunani dan Romawi diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, disempurnakan, dan kemudian diterjemahkan kembali ke bahasa Latin. Tradisi pemikiran rasional dan humanis tumbuh subur, mendorong timbulnya Renaissance di Eropa beberapa abad kemudian. 

Kebudayaan di Andalus juga memunculkan arsitektur, seni, dan musik yang unik. Perpaduan unsur Arab, Persia, dan lokal menghasilkan gaya khas yang masih bisa kita lihat dalam kemegahan Alhambra. Istana ini bukan hanya sekedar bangunan yang megah, tapi pernyataan iman dan seni dalam wujud yang nyata. Kaligrafi Al-Qur’an menghiasi dindingnya, air mancur melambangkan kesucian, dan tata ruangnya mencerminkan keseimbangan antara duniawi dan spiritual.

Namun, keemasan itu perlahan-lahan memudar. Dinasti Umayyah yang mulanya begitu kuat pun mengalami kemunduran ketika Abdurrahman III meninggal, kemudian digantikan oleh putranya yang masih kecil dan belum berpengalaman. Hal ini memicu perebutan kekuasaan oleh berbagai pihak. Pada abad ke-11, wilayah al-Andalus terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil (taifa) yang saling bersaing. Perpecahan ini membuka jalan bagi Reconquista yakni sebuah gerakan penaklukan kembali oleh kerajaan-kerajaan Kristen dari Utara. Namun, ironisnya sebagian taifa malah meminta bantuan pada kerajaan Kristen. 

Selama berabad-abad, kota-kota Muslim jatuh satu per satu. Kedatangan kekuatan luar seperti Dinasti Murabithun dan Muwahhidun dari Afrika Utara sempat memberikan kekuatan militer, tetapi gaya pemerintahan yang keras justru menimbulkan jarak antara penguasa dan rakyat Andalusia sendiri. Maka ketika pasukan Kristen menyerang, kekuatan Muslim terlalu lemah untuk bersatu menjadikan kekalahan begitu tampak jelas.

Granada menjadi benteng terakhir Islam di Eropa. Di bawah kekuasaan Dinasti Nasrid, Granada mempertahankan warisan peradaban Islam selama lebih dari dua abad. Namun, Kesultanan Granada juga sebenarnya berada di ujung tanduk akibat konflik internal dari keluarga kerajaan. Pada masa kepemimpinan Amir Ali Abi Al-Hasan, Kerajaan Granada mengalami kemunduran karena sang raja sangat suka berfoya-foya dan juga mengabaikan pertahanan dan ancaman dari kerajaan Kristen. 

Ia juga bersikap zalim kepada rakyatnya dengan mewajibkan berbagai pungutan dari rakyatnya. Selain itu ia merampas harta negara, korupsi serta kikir.Hal lain yang membuat Kesultanan semakin berantakan adalah perebutan kekuasaan oleh Abu Abdillah Muhammad XII Boabdil dengan pamannya, Muhammad XII Al-Zagal,

Dalam sebuah misi militer Amir Ali Abi Al-Hasan bersama dengan Muhammad XII Al-Zagal berhasil mengusir pasukan Raja Ferdinand. Bukannya merasa senang Muhammad XII Boabdil merasa dengki dan khawatir nama keduanya akan semakin populer di tengah rakyat. Ketika Al-Zagal naik tahta, kebencian dalam diri Boabdil tak lagi terbendung. Sang keponakan pun melemparkan serangan ke istana. Dami memenuhi ambisinya untuk menjadi seorang raja akhirnya ia bekerja sama dengan koalisi kerajaan-kerajaan Kristen. 

Situasi yang terjadi ini membuat sang Raja Aragon yakni Raja Ferdinand begitu gembira. Terlebih lagi, raja Kristen itu telah bersepakat dengan ratu dari Kerajaan Kastilia yakni Ratu Isabella. Sehingga mereka memanfaatkan situasi ini. Padahal, sering sekali terjadi konflik diantara keduanya, Bahkan satu sama lain saling memusuhi. Namun, dibawah keinginan yang sama akhirnya kedua kerajaan ini bersama demi menumpah pengaruh Islam di Semenanjung Iberia. 

Akhirnya Boabdil menerima bantuan dari Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Sebagai gantinya, ia berjanji akan menyerahkan kota jika berhasil menyingkirkan pamannya, al-Zagal. Perjanjian ini memicu perang saudara yang mempercepat runtuhnya Andalusia. Intrik politik memuncak ketika al-Zagal akhirnya terbunuh.  Pada tahun 1591, pasukan gabungan dari Aragon dan Castilia mulai menunjukkan maksudnya. Dengan kekuatan 50 ribu tentara, dua kerajaan ini mulai mengepung Granada. Sultan Boabdil yang sempat bersenang diri atas kejatuhan pamannya, akhirnya terseret dalam situasi yang merugikannya. 

Di ujung tahun 1491, ratusan ribu prajurit Muslim gugur dalam mempertahan benteng kerajaan terakhir. Tepat pada tanggal 2 Januari 1492, Muhammad XII Boabdil akhirnya mengibarkan bendera putih. Raja terakhir Bani Nasr itu menyerah kepada Aragon dan Castilia dengan menyerahkan kunci kerajaan Islam terakhir kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dengan menjanjikan rakyat Muslim masih dapat tinggal disana(Drayson 2017). Namun, hal ini menyebabkan trauma bagi umat Muslim karena dengan jatuhnya kerajaan ini berakhirlah pula kekuasaan Islam di semenanjung Iberia setelah hampir delapan abad. Juga menjadi penutupan tirai terakhir bagi sebuah peradaban Islam.

Jatuhnya Granada adalah awal penderitaan baru bagi umat Islam dan Yahudi di Andalusia. Perjanjian penyerahan  yang awalnya menjanjikan kebebasan beragama dan perlindungan bagi Muslim hanya bertahan sementara. Wilayah-wilayah Islam seperti Toledo, Cordoba, dan Sevilla sudah lebih dulu jatuh akibat konflik internal para elit Muslim. Reconquista bukan hanya penaklukan militer, tetapi juga proyek sistematis untuk menghapus jejak Islam. Bahasa Arab dilarang, Masjid-masjid mulai dihancurkan dan diubah menjadi Katedral, sekolah-sekolah Islam dibubarkan, dan ribuan manuskrip dibakar, simbol dari pemusnahan pengetahuan dan identitas. Umat Islam dipaksa masuk Kristen dan hidup sebagai Converso, yang mempertahankan iman secara sembunyi-sembunyi. Akhirnya antara 1609 dan 1614, mereka diusir secara massal dari Spanyol, Maka lengkaplah hilangnya tidak hanya kekuasaan, tetapi juga warisan budaya, tradisi, dan peradaban(Rais, Hanum Salsabiela dan Almahendra 2022). 

Kini, Alhambra berdiri sebagai saksi bisu atas kegemilangan dan kehancuran itu. Ribuan wisatawan mengagumi keindahannya, namun hanya sedikit yang memahami makna di balik ukiran-ukiran kaligrafi yang menyanjung nama Tuhan. Pilar-pilarnya pernah menyaksikan bait-bait syair, diskusi filsafat, dan munajat panjang para pecinta ilmu dan pencari cahaya. Namun kini, gema langkah-langkah para pelancong menggantikan dzikir dan diskusi ilmu yang dulu menghidupkan tempat itu.

Hilangnya al-Andalus bukan sekadar kisah sejarah, tapi pelajaran bahwa peradaban tak akan bertahan tanpa pondasi iman. Ketika kekuasaan menjauh dari spiritualitas dan ambisi pribadi mengalahkan idealisme. Meski kekuatannya runtuh, warisan al-Andalus tetap hidup dalam pemikiran Barat, seni, arsitektur, dan semangat hidup berdampingan. Ia menjadi simbol dari potensi besar yang lahir dari keberagaman dan keterbukaan. 

Referensi:

Antonio, M. S., & Tim. 2016. Ensiklopedia Peradaban Islam Andalusia (R. H. Sofyan Nurkaib & Zaid, Eds.). Jakarta Selatan: Tazkia Publishing.

Drayson, E. 2017. The Moor’s Last Stand: How Seven Centuries of Muslim Rule in Spain Came to an End. Profile Books.

Menocal, M. R. 2015. Surga di Andalusia. Noura Books.

Rais, H. S., & Almahendra, R. 2022. Sangkakala di Langit Andalusia (T. Rahmawati, Ed.). Jakarta: Republika Penerbit.

Wahidah, R. 2025. Refleksi Sejarah Peradaban dan Pemikiran Islam: Daulah Umayyah, Abbasiyah, dan Era Kebangkitan Islam. Penerbit DKBM Indonesia.

Kontributor: Hasna Aziizah Shaoumi

Editor: Kurniawati Musoffa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *