Imam Abdullah bin Kadi Abdus Salam: Ulama Nusantara Perintis Islam di Afrika Selatan
MAHADALYJAKARTA.COM—Dalam sejarah penyebaran Islam di luar dunia Arab, peran ulama dari Asia Tenggara seringkali terabaikan. Padahal, kontribusi mereka dalam menyebarkan Islam ke wilayah diaspora sangat besar, terutama dalam konteks kolonialisme dan perlawanan kultural. Salah satu tokoh penting dalam sejarah ini adalah Imam Abdullah bin Kadi Abdus Salam, atau yang lebih dikenal sebagai Tuan Guru. Sebagai ulama yang berasal dari Kesultanan Tidore dan dibuang ke Tanjung Harapan oleh kolonial Belanda, Tuan Guru memainkan peran besar dalam membentuk identitas Islam di Afrika Selatan. Artikel ini mencoba mengungkap secara komprehensif perjalanan hidup, perjuangan, dan warisan Tuan Guru.
Tuan Guru lahir sekitar tahun 1712 di Tidore, sebuah kesultanan Islam di Kepulauan Maluku. Ia berasal dari keluarga bangsawan dan religious, ayahnya adalah seorang qadi’ (hakim agama) dan ulama yang memiliki pengaruh di lingkungan istana. Sejak muda, Tuan Guru mendapatkan pendidikan agama yang mendalam, meliputi tafsir Al-Qur’an, fikih, tasawuf, dan hadits.
Sebagai bagian dari elite Islam lokal, ia terlibat dalam politik kesultanan yang bersinggungan dengan kepentingan kolonial Belanda. Dalam konteks ini, para ulama dan bangsawan yang menunjukkan sikap perlawanan terhadap dominasi Belanda menjadi sasaran utama represif. Pada tahun 1780, Tuan Guru ditangkap oleh VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dan diasingkan ke Cape of Good Hope, bersama tiga tokoh lainnya.
Setibanya di Afrika Selatan, Tuan Guru dipenjara di Robben Island, sebuah pulau penjara yang kelak terkenal karena menjadi tempat pemenjaraan tokoh anti-apartheid Nelson Mandela. Namun, penjara ini tidak memadamkan semangat keilmuannya. Justru, dalam pengasingan ini ia menulis beberapa karya besar.
Yang paling terkenal adalah tafsir Al-Qur’an yang ditulis dari hafalan, karena ia tidak diizinkan memiliki mushaf saat itu. Ia juga menulis karya teologis dalam bahasa Arab dan Arab Melayu, termasuk Ma’rifat wa al-Iman, yang membahas akidah, syariat, dan etika Islam. Tulisan-tulisan Tuan Guru menjadi rujukan utama pendidikan Islam di Afrika Selatan selama lebih dari satu abad.
Setelah dibebaskan dari penjara pada tahun 1793, Tuan Guru menetap di Bo-Kaap, daerah yang kini dikenal sebagai pusat komunitas Cape Malay. Ia mulai mengajar secara informal di rumah-rumah penduduk dan menarik banyak murid dari kalangan budak dan keturunan budak. Tuan Guru percaya bahwa pendidikan adalah sarana emansipasi (pembebasan) spiritual dari penindasan kolonial.
Pada tahun 1794, bersama komunitas Muslim setempat, ia mendirikan Masjid Auwal, masjid pertama di Afrika Selatan. Masjid ini tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat pendidikan dan advokasi sosial. Ia mengajarkan fiqih, Al-Qur’an, akhlak, dan bahkan menulis ulang naskah-naskah Islam klasik agar dapat diakses masyarakat awam.
Penting dicatat, bahwa banyak muridnya berasal dari komunitas budak yang telah dibebaskan. Dalam konteks ini, ajaran Islam yang dibawa Tuan Guru menjadi sarana afirmasi identitas dan pembebasan spiritual, suatu bentuk resistensi kultural terhadap sistem sosial kolonial.
Tuan Guru berperan penting dalam pembentukan identitas Muslim Cape Malay, komunitas Muslim tertua di Afrika Selatan. Melalui bahasa Arab Melayu (Jawi), ia menjembatani akses ilmu agama kepada masyarakat non-Arab dan non-Indonesia. Dalam masyarakat multietnis dan multi bahasa seperti Cape Town kala itu, penggunaan Arab Melayu memudahkan internalisasi (pemahaman) ajaran Islam.
Komunitas Cape Malay mengadopsi (menerapkan) tata cara ibadah, pakaian, dan tradisi keislaman yang diperkenalkan oleh Tuan Guru dan pengikutnya. Ia memperkenalkan struktur organisasi keagamaan informal, termasuk sistem imam, guru, dan madrasah. Dalam konteks kolonial, hal ini merupakan langkah penting dalam mengorganisir komunitas Muslim agar mampu bertahan secara kolektif.
Warisan Tuan Guru melampaui batas geografis dan masa hidupnya. Hingga kini, karya-karya tulisnya masih dijadikan objek studi, tidak hanya di Afrika Selatan, tetapi juga di kalangan peneliti sejarah Islam Asia Tenggara. Ia menjadi bukti bahwa ulama Nusantara memiliki peran penting dalam penyebaran Islam global, terutama di kawasan diaspora.
Masjid Auwal masih berdiri sebagai simbol ketahanan komunitas Muslim. Di berbagai wilayah Afrika Selatan, nama Tuan Guru diabadikan sebagai nama jalan, sekolah, dan bahkan dalam kurikulum pendidikan sejarah nasional.
Lebih dari itu, nilai keteladanan yang diwariskan Tuan Guru sangat relevan dengan situasi modern, seperti semangat belajar dalam kondisi sulit, keberanian menghadapi ketidakadilan, serta komitmen terhadap penyebaran ilmu sebagai bentuk ibadah.
Tuan Guru merupakan contoh nyata bagaimana perlawanan terhadap kolonialisme tidak selalu dilakukan dengan kekerasan fisik, tetapi bisa ditempuh melalui jalur pendidikan, pembentukan karakter, dan penguatan spiritualitas. Selama masa penjajahan Belanda, ia menggunakan ilmu pengetahuan agama dan nilai-nilai moral Islam sebagai alat perlawanan terhadap penindasan kolonial. Melalui aktivitas mengajar, mendirikan masjid, menulis kitab-kitab keislaman, dan membangun solidaritas sosial di antara komunitas Muslim, Tuan Guru menciptakan basis kekuatan baru, yakni kekuatan pengetahuan dan iman.
Perjuangan Tuan Guru menjadi pondasi penting bagi komunitas Muslim Cape Malay, terutama saat Afrika Selatan kemudian memasuki era apartheid, di mana diskriminasi rasial dan ketidakadilan sistemik semakin parah. Figur Tuan Guru, dengan semangat keilmuan, ketabahan, dan kesalahannya, menjadi sumber inspirasi bagi komunitas tersebut dalam mempertahankan identitas keagamaan, budaya, dan sosial mereka. Ia menciptakan sebuah warisan yang banyak oleh sejarawan disebut sebagai “tradisi keberanian spiritual” suatu bentuk keteguhan hati yang bertumpu pada keyakinan moral, bukan kekerasan, untuk melawan ketidakadilan. Tradisi ini terus hidup dalam memori kolektif Muslim Afrika Selatan, menjadi bagian integral dari perjalanan panjang mereka menuju pengakuan dan keadilan.
Bisa disimpulkan bahwa Imam Abdullah bin Kadi Abdus Salam (Tuan Guru) adalah figur penting dalam sejarah Islam global yang lahir dari persinggungan antara kolonialisme, diaspora, dan dakwah. Sebagai ulama asal Nusantara yang dibuang ke Afrika Selatan, ia menjelma menjadi simbol perjuangan, pendidik masyarakat terpinggirkan, dan perintis peradaban Islam di ujung selatan Benua Afrika.
Warisan Tuan Guru tidak hanya terdapat pada karya-karya tulisnya, tetapi juga dalam institusi-institusi yang ia dirikan, struktur komunitas yang ia bentuk, serta nilai-nilai yang ia tanamkan. Dalam konteks kontemporer, biografi Tuan Guru mengingatkan kita bahwa kekuatan ilmu dan keimanan dapat menjadi alat perlawanan yang efektif terhadap dominasi dan penindasan, bahkan dalam situasi yang paling genting.
Referensi:
Davids, Achmat. 1980. The Mosques of Bo-Kaap. Cape Town: South African Institute of Arabic and Islamic Research.
Haron, Muhammed. 2006. Tuan Guru’s Legacy and the Historiography of Islam in South Africa. Islamic Studies, vol. 45, No. 2.
Shell, Robert C. H. 1994. From Diaspora to Diaspora: The Cape Muslim Community. Cape Town: Creda Press.
Tayob, Abdulkader. 1999. Islam in South Africa: Mosques, Imams and Sermons. Gainesville: University Press of Florida.
Bang, Anne K. 2003. Sufis and Scholars of the Sea: Family Networks in East Africa, 1860–1925. London: Routledge.
Omar, M. A. 1981. The Cape Malays. Cape Town: Maskew Miller Longman.
Abrahams, E. 1989. The Making of the Cape Muslim Community. South African Historical Journal, Vol. 21.
Lubbe, G. 1986. Tuan Guru: Prince, Prisoner, Pioneer. Religion in Southem Africa.
Marasabessy, B. 2004. Tuan Guru: The Cape Muslim Philosophy Education System. Makara Human Behavior Studies in Asia, 8 (3),
Kurniawan, R. 2024. Kabata Tarasula (Seeking Tuan Guru): Konstelasi Artistik Indonesia (Pertunjukan Musik) terhadap Diseminasi Geopolitik dan Geokultural.” Selonding, 20 (1), 1-12.
Marzuenda, M. 2021. Sejarah Perkembangan Peradaban Islam. Kretivitas: Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam, 10 (1).
Kontributor: Danial M
Editor: Kurniawati Musoffa