Sejarah pada dasarnya sangat berhubungan dengan biografi yang melewati atau menembus batas waktu. Membicarakan tentang biografi tentunya harus memahami asal usul serta perjuangan dari para tokoh-tokoh sejarah tersebut. Seperti tokoh sejarah berikut yang menjadi pelopor pendidikan bagi kaum pribumi yakni beliau “Ki Hadjar Dewantara”. Namun perlu kita ketahui juga sebenarnya kiprah Ki Hadjar Dewantara selama masa-masa perjuangan kemerdekaan Indonesia cukup besar, jadi bukan hanya di bidang pendidikan saja. Seperti yang telah dijelaskan dalam buku karangan Haidar Musyafa yang berjudul “Ki Hadjar, Sebuah Memoar”. Dalam bukunya itu, Haidar menggambarkan dan mengisahkan biografi Ki Hadjar seolah-olah hidup dan berjuang pada masanya.
Ki Hadjar Dewantara lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta dengan nama asli Raden Mas Soewardi Suryaningrat (SS). Beliau putra kelima dari Soeryaningrat yakni putra dari Raden Paku Alam III. Dari genealoginya beliau termasuk keturunan bangsawan Pakualam. Adapun silsilah nasab atau urutan keluarga beliau yakni:
- Raden Mas Soewardi (Ki Hadjar Dewantara) dari garis Pakualam:
- K.G.P.A. Pakualam ke III
- K.P.A. Suryaningrat
- Raden Mas Soewardi (Ki Hadjar Dewantara)
- Raden Mas Soewardi dari garis Kesultanan:
- Sri Sultan Hamengku Buwono ke II
- G.P.A. Mangkudiningrat
- K.G.P.A.A. Natapraja ke I
- K.R. Tumenggung Natapradja ke II
- R.A. Sandiyah (B.R.Ay. Suryaningrat)
- Raden Mas Soewardi (Ki Hadjar Dewantara)
- Raden Mas Soewardi dari garis Kadilangan:
- Nyi Ageng Serang
- R.A. Kustinah (B.R.Ay. Gusti Mangkudiningrat)
- K.G.P.A.A. Natapraja ke I
- K.R. Tumenggung Natapraja ke II
- R.A. Sandiyah (B.R.Ay. Suryaningrat)
- Raden Mas Soewardi (Ki Hadjar Dewantara)
Sebagai bangsawan Jawa, beliau menuntut ilmu di ELS (Europeesche Lagere School), yakni sekolah rendah untuk anak-anak Eropa. Setelah itu beliau mendapat kesempatan untuk menimba ilmu di STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandshe Artsen) atau biasa disebut Sekolah Dokter Jawa. Akan tetapi beliau tidak tamat dari sekolah ini, dikarenakan kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan.
Raden Mas Soewardi Suryaningrat kemudian berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara pada usia 39 tahun, seperti yang telah dikemukakan dalam buku karangan Ki Hariyadi. Adapun lingkungan hidup pada masa Ki Hadjar Dewantara sangat kecil, namun sangat berpengaruh besar terhadap jiwanya yang sangat peka dan terhadap kesenian dan nilai-nilai kultur maupun religius. Setelah berganti nama beliau dengan leluasa bisa bergaul dengan rakyat biasa. Sehingga dengan demikian perjuangan beliau dengan mudah diterima oleh rakyat pada masa itu.
Semasa hidupnya Ki Hadjar Dewantara berprofesi sebagai seorang jurnalisme yang berkiprah di beberapa surat kabar dan majalah pada masa itu: Sedyotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara yang melontarkan kritik sosial-politik kaum pribumi kepada penjajah. Tulisan beliau sangat komunikatif, halus, mengena, tetapi keras. Salah satu tulisan beliau yang terkenal berjudul “Seandainya Saya Seorang Manusia Belanda”, berikut sekilas isi dari tulisan beliau tersebut:
Dalam surat kabar-surat kabar kini dihimbau secara ramai-ramai supaya disini di Hindia-Belanda diadakan pesta besar, pesta Seratus Tahun Kemerdekaan Negeri Belanda. Segenap penduduk di negeri ini diharuskan mengetahui bahwa dalam bulan November yang akan datang, tepatlah seratus tahun yang lalu negeri Belanda menjadi kerajaan, berkebangsaan, merdeka, dan berdaulat.
Dipandang dari sudut yang layak, memang dapat dibenarkan keinginan merayakan peristiwa nasional itu. Sudah selayaknyalah peristiwa itu dirayakan oleh orang-orang Belanda untuk menunjukkan rasa cinta terhadap tanah airnya, untuk memuliakan negerinya sendiri warisan para nenek moyang mereka yang gagah perkasa. Perayaan peringatan itu akan mewujudkan perasaan bangga pada diri mereka, bahwa satu abad yang lalu negeri Belanda berhasil membebaskan diri dari kekuasaan penjajah asing dan membangun bangsa, serta negara sendiri.
Dengan amat mudah saya dapat merasakan gejolak hati seorang patriot Belanda masa sekarang yang berkesempatan turut merayakan peringatan yang demikian itu. Karena saya sendiri pun seorang patriot. Dan, sebagaimana halnya orang Belanda yang nasionalis sejati mencintai tanah airnya, saya pun mencintai tanah air saya sendiri, lebih dari apa yang dapat saya lahirkan dengan kata-kata.
Alangkah gembiranya hati, alangkah nikmatnya dapat turut memperingati hari nasional yang demikian penting artinya.
Demikian itulah isi sekilas dari salah satu tulisan beliau yang terkenal. Selain sebagai seorang jurnalisme Ki Hadjar Dewantara juga sangat berperan sebagai seorang pelopor pendidikan terutama bagi rakyat pribumi. Adapun konsep pendidikan menurut beliau adalah dimulai dari pendidikan keluarga. Dikarenakan keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Seperti yang termaktub dalam ungkapan “rumahku adalah surgaku”. Menurut beliau juga bahwa semua orang tua memiliki kewajiban dalam mendidik anak-anak mereka tanpa menuntut untuk memiliki profesionalitas yang tinggi, karena kewajiban tersebut berjalan dengan sendirinya sebagai adat atau tradisi.
Allah Swt. telah mengajarkan tentang betapa pentingnya pendidikan keluarga, karena kehidupan keluarga merupakan tanda-tanda kebesaran Ilahi. Seperti yang telah dijelaskan dalam firman Allah berikut:
وَمِنْ أَيَتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ج إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لَأَيَتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
Artinya: “Dan diantaranya tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Ar-Rum: 21).
Berdasarkan dari nilai-nilai ayat di atas bahwa pendidikan dan pengajaran dalam keluarga berfungsi sebagai sarana untuk menyelamatkan manusia. Maka dari itu peran pendidikan keluarga harus selalu aktif dalam memberikan teladan yang mulai bagi generasi penerusnya atau anak-anaknya. Karena pertumbuhan dan pendidikan anak itu diwarnai dan diisi oleh pendidikan yang dia alami dalam hidupnya, baik dalam keluarga, masyarakat, dan sekolahnya. Setelah dia mendapatkan pendidikan dalam lingkungan keluarga, barulah dia menimba pendidikan di luar lingkungan keluarga, misalkan di sekolah.
Ki Hadjar Dewantara sangatlah menekankan dan berperan aktif dalam hal pendidikan, karena beliau berpedoman dalam tiga hal yang menjadi dasar jiwanya untuk mendidik bangsa dan mengarahkannya kepada politik pembebasan atau kemerdekaan. Adapun tiga hal tersebut antara lain, pendidikan humanis, kerakyatan, dan juga kebangsaan. Beliau juga berpedoman pada dua sistem pendidikan yang dilakukan oleh Maria Montessori (Italia) dan Rabindranath Tagore (India). Beliau kemudian menciptakan istilah-istilah yang terkenal, yaitu:
- Ing ngarsa sung tulada (di muka memberi contoh).
- Ing madya mangun karsa (di tengah membangun cita-cita).
- Tut wuri handayani (mengikuti dan mendukungnya).
Tiga istilah inilah yang kemudian dijadikan motto oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Ki Hadjar Dewantara juga pernah mengajar di sekolah yang didirikan oleh Raden Mas Soerjopranoto, kakaknya. Sekolah tersebut bernama “Adhi Dharma”.
Ki Hadjar Dewantara menikah dengan Raden Ajeng Soetartimah atau yang lebih dikenal dengan nama Nyi Hajar Dewantara. Kemudian beliau mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta pada tanggal 3 Juli 1922. Pada awalnya Taman Siswa tersebut bernama “National Onderwijs Institut Taman Siswa”. Adapun tujuan pendirian Taman Siswa ini adalah untuk mengganti sistem pendidikan dan pengajaran yang dipakai oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda dengan sistem pengajaran dan pendidikan yang sesuai dengan kebudayaan yang ada di Indonesia. Pendirian Taman Siswa ini merupakan perintis pendidikan nasional karena menjadi lembaga pendidikan pertama kali yang menggunakan sistem pendidikan sesuai dengan budaya yang ada di Indonesia. Sistem pendidikan yang diterapkan disebut among. Adapun semboyan yang selalu diterapkan beliau adalah “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”. Maksud dari semboyan beliau adalah sebagai seorang guru/pemimpin kita harus bisa memberi teladan apabila berada di depan, harus bisa menciptakan ide apabila berada di tengah, dan harus bisa memberi dorongan semangat apabila berada di belakang. Kemudian dalam perkembangannya Perguruan Taman Siswa ini berkembang menjadi dua bagian, yaitu: 1.Taman Muda (sekolah dasar yang ditempuh selama 6 tahun). 2.Taman Dewasa atau biasa disebut “Mulo Kweekschool” yang merangkap taman guru.
Ki Hadjar Dewantara kemudian diangkat sebagai Menteri Pengajaran pada kabinet I, setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945. Setelah itu pada tahun 1946, beliau diangkat menjadi ketua Panitia Penyelidik Pengajaran yang merumuskan pokok-pokok pendidikan dan pengajaran sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Ki Hadjar Dewantara juga pernah dianugerahi bintang Mahaputra dan gelar “Doktor Honoris Causa” dalam bidang kebudayaan dari “Universitas Gajah Mada Yogyakarta”.
Ki Hadjar Dewantara atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Bapak Pendidikan” ini beliau meninggal dunia pada tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di Wijayabrata, Yogyakarta. Untuk mengingat peran serta perjuangan beliau dalam merintis pers nasional. Beliau diangkat sebagai ketua kehormatan PWI secara anumerta tahun 1959. Kemudian hari kelahiran beliau yakni tanggal 2 Mei ditetapkan oleh pemerintah sebagai “Hari Pendidikan Nasional”. Maka dari itu, kita sebagai pelajar penerus bangsa harus bisa meneladani kisah perjuangan beliau dalam dunia pendidikan.
Referensi:
Nazarudin, Mgs. Pendidikan Keluarga Menurut Ki Hajar Dewantara dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam. Palembang: CV Amanah.
Wiryopranoto, Suhartono. 2017. Pemikiran dan Perjuangannya. Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional.
Sukasih, Enny. 2008. Mengenal Tokoh-tokoh Pergerakan Nasional. Surakarta: Gradien Mediatama.
Dewantara, Bambang. 1989. 100 Tahun Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Pustaka Kartini.
Musyaffa, Haidar. 2017. Sebuah Memoar. Tangerang Selatan: Imania Mizan Media Utama (MMU).
Kontributor: Shifatul Aula Firinda Nur Azizah, Semester IV