Kharisma Ulama Sekaligus Pejuang Nusantara, Syekh Nawawi Al-Bantani

Kharisma Ulama Sekaligus Pejuang Nusantara, Syekh Nawawi Al-Bantani

Ma’had Aly – Dalam kehidupan sosial, besarnya nama seorang tokoh adakalanya hanya sebatas pada golongan tertentu saja, ada pula yang melampaui lintas golongan, karena dilihat dari kiprahnya dalam bidang-bidang tertentu, misalnya, bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, bahkan tak jarang beberapa tokoh mempunyai kharisma yang begitu besar karena perannya dalam banyak bidang sekaligus, satu hal yang pasti mereka dipandang orang besar lantaran jasa-jasanya yang begitu besar pada umat manusia. Bahkan mereka mampu membuktikannya dalam kehidupan praksis, sekalipun hal itu membutuhkan perjuangan yang amat melelahkan, bahkan tak jarang nyawa pun menjadi taruhan.

Demikian juga kiai-kiai Nusantara khususnya Indonesia, mereka adalah orang yang terpandang, pahlawan sekaligus mulia di pandangan orang-orang, mereka terkenal bukan karena pendiri dan pengasuh pondok pesantren saja, namun lebih dari itu, mereka adalah kiai sekaligus pejuang yang gigih berani juga visioner. Pandangan dan cita-citanya tidaklah terbatas pada lingkungan pesantren yang diasuhnya, tapi jauh menembus berbagai bidang kehidupan seperti sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lain-lain.

Oleh sebab itu tidaklah mengherankan semasa hidupnya mereka disegani bahkan dihormati oleh segala masyarakat di zamannya. Layaknya guru kita yang bernama Syekh Nawawi al- Bantani :

Biografi Syekh Nawawi al- Bantani

Nama lengkap beliau adalah Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, seorang ulama yang karya-karyanya sangat dikenal luas oleh dunia dan juga dipelajari di pesantren-pesantren tradisional. Maka pesantren sudah tidak asing lagi dengan kitab syarah safinah yang bernama kasyifa-as saja’.

Beliau lahir pada tahun 1230 H dengan nama Muhammad Nawawi. Ayahnya bernama Umar Arabi, nasab ayah beliau sampai kepada pangeran Hasanuddin, sedangkan ibunya bernama Zubaedah. Beliau lahir di kampung Tanara sebuah desa kecil, kecamata Tirtayasa, Kabupaten Serang Provinsi Banten.

Tradisi keagamaan yang kuat dari keluarga sejak kecil begitu membekas di hati Nawawi kecil, didorong dengan kemauannya dan kecerdasan otaknya yang membuat beliau menjadi orang besar di kemudian hari.[1] Banyak riwayat mengenai kapan tahun kelahirannya, namun tidak ada perbedaan pendapat mengenai tempat dimana beliau dilahirkan.

Guru-Guru Beliau

Guru adalah sesuatu yang sangat penting dan berarti dalam kehidupan seorang murid. Wasilah seseorang untuk mencapai tingkat / derajat di sisi Allah Swt ialah melalui gurunya, layaknya beliau guru kita Syekh Nawawi al-Bantani, seorang tokoh yang begitu patuh dan taat pada gurunya, berikut nama-nama guru beliau :

  1. Kiai Sahal
  2. Kiai Yusuf

Dan berikut juga daftar guru-guru beliau di Timur Tengah :

  1. Syekh Khatib al-Sambasi
  2. Syekh Abdul Ghani al-Bimawi
  3. Syekh Yusuf al-Sumbulaweni
  4. Syekh Abdul Hamid as-Sarwani
  5. Syekh Sayyid Ahmad an-Nahrowi
  6. Syekh Ahmad ad-Dimyati
  7. Syekh Ahmad Zaini Dahlan
  8. Syekh Muhammad Khotib Hambali

Dan masih banyak guru-guru beliau, yang tawadu, pengisi rohani dan pengetahuan beliau sehingga menjadi orang besar sekaligus ulama Nusantara yang banyak dikagumi ulama-ulama luar.

Maka dari sini, timbullah semangat agamis dan patriotisme dari seorang Nawawi muda mengarungi lautan ilmu dan mutiara faedah. Diantara sekian banyak guru-guru beliau ada beberapa guru yang begitu berperan dalam proses pembentukan pribadi beliau diantaranya, Syekh Sayyid Ahmad an-Nahrawi, Syekh Junaid al-Betawi dan Syekh Ahmad ad-Dimyati. Melalui ketiga ini, bakat Nawawi remaja mulai mengkilat dan melangit, dan nanti di bagian kedua perjalanan Nawawi, ada dua ulama yang turut membangun intelektual Nawawi yaitu; Syekh Muhammad Khatib dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan.

Selama kurang lebih tiga tahun belajar di negeri Arab, pada tahun 1830 M, Syekh Nawawi tidak kembali tanah air. Sesampainya di tanah air, ia menyempatkan diri belajar kepada ulama besar di Karawang, yang bernama Syekh Quro. Setelah berguru kepada beliau, Syekh Nawawi mengembangkan pesantren milik ayahnya. Namun saat itu situasi dan kondisi tidak memungkinkan, penjajahan Belanda ke Nusantara begitu gencar di zamannya, sehingga pergerakan Syekh Nawawi terhalang dalam menyebarkan dakwahnya, bahkan orang baru pulang haji dicurigai dan dikawal Ketat oleh Belanda. Kedatangan Syekh Nawawi ke pesantren ayahnya malah membuat pesantren ayahnya makin berkah, forum-forum diskusi ilmiah makin berkembang, kepandaian Syekh Nawawi dalam menjawab pertanyaan, membuat masyarakat semakin kagum dan berbondong-bondong dalam mengambil manfaat ilmu beliau.[2]

Pakar Islam Dunia

Setelah bergelut dan menyambung tali estafet dakwah dari sang ayah, beliau kembali ke Mekkah daripada harus berdamai dengan Belanda, ia tidak mau menjadi pejabat pemerintahan yang zalim walaupun ayah dan saudaranya pernah menjabat sebagai Penghulu Ulama. Pada masa penjajahan Belanda, anak-anak muslim tidak diizinkan bersekolah, sedangkan anak-anak Kristen mengenyam pendidikan modern. Lalu anak-anak muslim dari orang tua yang berpangkat diizinkan bersekolah di sekolah Belanda dan tinggal di kost, agar mampu berbicara bahasa Belanda. Padahal itu hanya untuk menjadikan anak-anak Nusantara berpikir menggunakan metode Belanda. Maka hal inilah yang paling tidak disukai Syekh Nawawi[3]. Sesampainya di Mekkah beliau belajar dengan ulama-ulama hingga kurang lebih 30 tahun lamanya. Makin banyak ilmu dan faedah-faedah yang didapatnya dari Masjidil Haram Mekkah, maka pada tahun 1860 M Syekh Nawawi mulai aktif mengajar di Masjidil Haram.

Selama mengajar, Syekh Nawawi dikenal sebagai orang yang simpatik dan komunikatif, mudah dipahami penjelasannya dan para murid-murid beliau antusias dalam mendengarkan. Pelajaran yang biasa beliau ajarkan diantaranya, ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu tasawuf, tafsir, hadits dan bahasa Arab.

Dalam catatan Azyumardi Azra, guru-guru yang paling terkenal dan harum namanya di tanah Arab adalah Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, hampir kebanyakan dari rahim keilmuan mereka berdualah lahirnya para cendekiawan atau tokoh ulama-ulama yang memberikan cemerlang di Nusantara Indonesia seperti Kiai Hasyim Asy’ari (pendiri NU), Kiai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Kiai Khalil Bangkalan, Kiai Ilyas (Kragilan, Banten) dan Kiai Asy’ari (Bawean, Jawa Timur) yang kemudian dinikahkan dengan putri Syekh Nawawi yang bernama Maryam.

Pakarnya beliau berasal dari haluan sifat tawadu’ dan patuhnya pada guru-gurunya, buah dari ketenaran dan ketekunan beliau dalam belajar makin masyhur di tanah Arab semenjak beliau menggantikan Syekh Khatib al-Minangkabawi sebagai imam Masjidil Haram, sejak itu juga beliau dikenal dengan nama resmi Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi.

Bukti Sifat Nasionalis Dan Patriotisme Syekh Nawawi al-Bantani

Seorang cendikiawan bernama E.F.E Douwes Dekker Danoedirjo Setiaboedhi dari Indische Partij berkata: jika tidak karena sikap dan kesemangatan para ulama, sudah lama patriotisme di kalangan masyarakat kita musnah.[4] Syekh Nawawi al-Bantani bersama para muridnya sering berkumpul di sebuah perkampungan Arab yang dikenal dengan perkampungan jawa, disanalah beliau menyampaikan perlawanannya lewat pemikiran-pemikirannya yang cemerlang. Dengan itu, bibit perlawanan secara masif dan teroganisir dimulai. Lewat para muridnya dan berkat tirakat beliau, kemerdekaan yang sudah di nanti-nanti berabad lamanya dapat terwujud dan hal ini sungguh membuat Belanda marah.

Pemerintahan Belanda pun mengutus Snouck Hourgronje ke Mekkah untuk berjumpa beliau dengan menyamar menjadi Abdul Ghofur. Ia menanyakan sesuatu lalu mendengar jawaban Syekh Nawawi al-Bantani dia terkejut dan terkagum-kagum. Menurutnya beliau adalah ulama yang tawadu, ilmunya dalam dan tidak congkak, bahkan bersedia berkorban demi bangsa dan agamanya. Itulah kekaguman kepada beliau yang tercatat sejarah.

Nasionalis menurut para ulama kita ialah bagaimana agar seorang ulama panutan umat tidak mengarahkan masyarakat untuk memilih pemimpin yang zalim, apalagi mendengar Belanda yang sudah jelas kafirnya dan memberontak wajar saja beliau dan ulama lain marah. Karena siapa yang memilih orang kafir bahkan ridha dengan kekafirannya makan dia ikut dengan kekafiran itu, sebagaimana Allah swt berfirman dalam QS. Hud ayat : 113.[5]

Sifat nasionalis beliau diwariskan kepada murid-murid beliau yang menyambung estafet dakwahnya di bumi Nusantara; seperti KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU) Dan KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) sehingga konon suatu kisah, KH. Hasyim Asy’ari saat mengajar santri-santrinya di Pesantren Tebuireng sering menangis ketika membaca kitab fikih Fath al-Qarib, salah satu kitab yang diberi komentar oleh Syekh Nawawi. Begitulah sikap ulama-ulama kita layaknya sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, selain sifat nasionalis yang mereka tumbuhkan dalam hati para muridnya sifat rohani yang begitu dalam juga mereka warisi sehingga KH. Hasyim Asy’ari tak kuasa menahan haru tangis setiap membaca kitab tersebut.

Keistimewaan Syekh Nawawi al-Bantani

Konon ketika Syekh Nawawi mengarang kitab, beliau memohon pada Allah swt agar jari telunjuk kirinya menjadi cahaya sebagai penerang di malam hari, maka Allah swt mengabulkan doa beliau dan lahirlah kitab Maraqi al-Ubudiyyah, dan sisa karamah di telunjuk kiri beliau masih ada seperti bekas luka.

Karamah beliau yang lain adalah ketika beliau singgah di Pekojan, menurut Syekh Nawawi masjid yang dibangun Sayyid Utsman bin Yahya salah kiblat hingga terjadilah perbantahan, dan akhirnya Syekh Nawawi memperlihatkan Ka’bah dengan telunjuk kepada Sayyid Utsman bin Yahya dan beliaupun terkagum kepada Syekh Nawawi.

Telah menjadi kebijakan pemerintahan Arab Saudi bahwa makam yang sudah berumur satu tahun harus dibongkar, maka tulang belulang mayat tersebut diambil untuk dikuburkan di luar kota. Tibalah saatnya makam Syekh Nawawi al-Bantani digali, para penggali terkejut karena mereka lihat jenazah beliau utuh seakan-akan baru dikuburkan. Maka penggali berhamburan lari dan mengadu kepada atasan mereka, dan mereka menyadari ini bukan kuburan biasa dan mereka membatalkan membongkar makam tersebut, dan tetap membiarkannya hingga akhirnya makam beliau tetap di Ma’la Makkah.[6]

Wafat

Syekh Nawawi al-Bantani wafat di Mekkah bertepatan pada 25 Syawal 1314 H/ 29 Maret 1897 M. Sumber lain mencatat beliau wafat 1316 H/ 1899 M. Makam beliau berada di Mekkah bersebelahan dengan makam anak sahabat Abu Bakar As Shiddiq yaitu Asma’ binti Abu Bakar as-Shiddiq.

Istri beliau, Nyai Nasimah meninggal dunia lebih dulu dan meninggalkan 3 orang anak yaitu: Nafisah, Maryam, dan Rubi’ah.

Demikianlah sejarah singkat kehidupan seorang ulama berwibawa dan kharismatik, mudah-mudahan kita dapat mengambil pelajaran dari kehidupan beliau, karena fakta sejarah membuktikan besarnya perjuangan para ulama dan santri dalam perjuangan menegakkan kedaulatan bangsa dan negara. Perjuangan mereka dalam membangun negara Kesatuan Republik Indonesia, harumnya nama bangsa dan negara berbarengan dengan harumnya nama tokoh pejuang sekaligus ulama-ulamanya.

 

 

Daftar Pustaka

Maftuhin Adhi, 2018, Sanad Ulama Nusantara Bogor cv Arya Duta.

Masyhuri Aziz, 2018,  Ahmad 99 kiayi kharismatik Indonesia Bogor cv Arya Duta

Riwayat Hidup Para Wali Dan Solihin, 2015, Malang-Jawa Timur Majlis Khoir Murottal Quran Watahfidh

Suryanegara Mansur Ahmad, 2018  Api sejarah Bandung, Surya Dinasti.

 Somad Abdul, 2018, Ustadz Abdul Somad Menjawab, Yogyakarta, MUTIARA MEDIA.


[1]Maftuhin Adhi Sanad Ulama Nusantara (Bogor: CV Arya Duta, 2018) Hal. 67-68

[2] Masyhuri Aziz Ahmad, 99 Kiai Kharismatik Indonesia (Bogor CV Arya Duta 2017), hal.57.

[3] Riwayat Hidup Para Wali Dan Solihin (Malang-Jawa Timur Majlis Khoir Murottal Quran Watahfidh 2015) hal.8

[4] Suryanegara Mansur Ahmad Api Sejarah (Bandung, Surya Dinasti, 2018)

[5] Somad Abdul  Ustadz Abdul Somad Menjawab (Yogyakarta, MUTIARA MEDIA, 2018) hal. 423

[6] Maftuhin Adhi Sanad Ulama Nusantara (Bogor: cv Arya Duta, 2018) hal.75-77

Oleh : Alpian, Semester IV

Leave a Reply