KH. Muhammad Arwani Amin, Sang Penjaga Wahyu Allah

KH. Muhammad Arwani Amin, Sang Penjaga Wahyu Allah

Ma’had Aly – Kudus selain dikenal dengan sebutan kota Kretek, tapi juga dikenal dengan sebutan Kota Santri. Banyak di antara santri yang menuntut ilmu di Kota Kudus karena banyaknya ulama atau kiai karismatik yang menjadi panutan masyarakat sekitar Kudus. Di antara sekian banyak ulama di kota tersebut ialah beliau al-Maghfurlah KH. Arwani Amin atau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Arwani.

Muhammad Arwani lahir pada 5 september 1905 M bertepatan dengan tanggal 5 Rajab 1323 H. Di kampung Madureksan dari pasangan suami istri, H. Amin Sa’id dan Hj. Wanifah. Sejak kecil orang tuanya memberi nama “Arwan”, akan tetapi setelah kepulangannya dari tanah suci, seperti umumnya tradisi Jawa, beliau mengganti namanya dengan Muhammad Arwani (dengan tambahan “i”).

Data menegenai silsilah KH. Muhammad Arwani dari pihak ayah hanya dapat ditelusuri hingga buyut (ayahnya sang kakek), kakeknya merupakan seorang tokoh ulama terkemuka dan disegani di Kudus yaitu KH. Imam Harain. Sedangkan silsilah beliau dari pihak ibu melalui garis keturunan perempuan dapat di telusuri sampai tingkat tujuh yaitu sebagai berikut: Arwani – Wanifah – Rosimah – Sawijah – Habibah – Mursyid – Jongrang – Pangeran Diponegoro. Jadi, selain menjadi cucu seorang ulama besar di Kudus, beliau juga menjadi cucu seorang Pahlawan Nasional Indonesia. KH. Arwani adalah anak kedua dari 12 bersaudara.

Sejak kecil KH. Arwani hidup dalam lingkungan santri yang taat dalam mengamalkan ajaran agama. Hal ini sejalan dengan kondisi sosial masyarakat Kudus yang taat dan mencoba hidup sesuai ajaran-ajaran Islam. Arwani tumbuh sebagai pribadi yang punya kepribadian yang baik. Kepribadian beliau yang baik itulah yang menyebabkan beliau di cintai oleh orang-orang disekitarnya.

Arwani memulai pendidikannya pada usia 7 tahun di Madrasah Mu’awanatul Muslimin Kenepan. Madrasah ini merupakan madrasah tertua di Kudus yang didirikan pada tahun 1912 oleh Sarekat Islam (SI). Pemimpin pertama Madrasah ini adalah KH. Abdullah Sajad (kakek istri KH. Arwani). Sekarang madrasah ini masih berdiri kokoh dan masih berjalan. Madrasah ini sekarang dilanjutkan perjuangannya oleh KH. Ulin Nuha (putra KH. Arwani).

Setelah lulus dari Madrasah di Kudus pada tahun 1919,KH. Arwani melanjutkan belajarnya di Madrasah Mambaul Ulum solo. Madrasah ini didirikan pada tahun 1913, terletak di sebelah selatan masjid besar Surakarta. Madrasah ini selalu dikaitkan dengan pondok pesantren Jamsaren, itu sebabnya santri yang belajar di pondok itu juga belajar di Madrasah Mambaul Ulum, termasuk KH. Arwani. Selama KH. Arwani belajar di Jamsaren, beliau belajar berbagai ilmu yang salah satunya adalah ilmu tajwid dan qira’at. KH. Arwani belajar di Solo selama 7 tahun. Dengan kurun waktu yang lama itu beliau memanfaatkan setiap waktu untuk belajar. Tidak hanya di Madrasah atau di pondok pesantren tetapi juga belajar pada K. Abu Su’ud.

Madrasah yang selanjutnya adalah Tebuireng, yang pada saat itu masih dipimpin KH. Hasyim Asy’ari. Di pondok ini selain belajar kitab-kitab Klasik ia juga mendalami kajian qiraat sab’ah melalui kitab Sirah al-Qori karya Abdul Qosim ‘Ali ibn Ustman ibn Muhammad.

Setelah belajar di Tebuireng selama 4 tahun, KH. Arwani belum puas dengan ilmu yang didapat, kemudian ia melanjutkan perjalanan belajarnya di pondok pesantren Krapyak Yogyakarta. Pada mulanya KH. Arwani berniat langsung belajar Qiraat Sab’ah kepada KH. Munawir, akan tetapi permintaan tersebut ditolak oleh KH. Munawir, karena wasiat guru KH. Munawir di Makkah yang mengatakan untuk tidak mengajarkan Qiraat Sab’ah kecuali kepada mereka yang telah hafal alquran 30 juz dengan baik dan benar. Akhirnya beliau mulai menghafal alquran. Setelah selesai menghafalkan beliau mulai belajar Qiraat Sab’ah. Dan berhasil menjadi orang pertama dan satu-satunya murid KH. Munawir yang menghatamkan Qiraat Sab’ah.

Setelah pulang dari Krapyak, KH. Arwani masih tetap melakukan perjalanan untuk berguru dan mendalami ilmu. Namun kali ini yang ditekuninya adalah ilmu tarekat. Beliau memasuki pendidikan tarekat kepada K. Syirajuddin di Undaan Kudus. Ketika KH. Arwani sedang bersemangat untuk mendalami ilmu tarekat kepada K. Syirajuddin terpotong karena K. Syirajuddin meninggal dunia. Setelah K. Syirajuddin wafat, KH. Arwani melanjutkan pelajaran tarekatnya di Popongan Solo,yaitu kepada KH. Muhammad Mansyur. Dengan demikian, selama kurang lebih 14 tahun KH. Arwani menekuni ilmu tarekat kepada 2 orang guru yaitu K. Syirajuddin dan KH. Muhammad Mansyur.

Dalam buku Intelektual seri 3 diterangkan bahwa selama masa hidup KH. Arwani tidak pernah aktif dalam organisasi politik atau kemasyarakatan. Semua itu dikarenakan ketika masih muda KH. Arwani menghabiskan waktunya hanya untuk mencari ilmu. Dan ketika usianya matang beliau mengisi waktunya dengan mengabdikan diri dan mengamalkan serta mengajarkan pelajaran yang beliau peroleh, terutama untuk mengajar al-Qur’an dan tarekat serta hal-hal yang berhubungan dengan keduanya.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan KH. Arwani hanya fokus untuk mengajar alquran dan tarekat saja, yang pertamayaitu, pada hadist yang berarti : “Diriwayatkan dari abi Hurairah dari Nabi Muhammad saw., “Hai Abi Hurairah pelajarilah al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain. Tetapkan engkau seperti itu hingga mati. Sesungguhnya jika engkau mati dalam keadaan seperti itu malaikat akan berhaji ke kuburmu sebagaimana orang-orang mukmin pergi haji ke Baitullah.”Kedua, yaitu karna KH. Arwani adalah orang yang taat kepada gurunya. Guru beliau pernah berkata “Orang yang hafal alquran berkewajiban memeliharanya. Ketiga, yaitu KH. Arwani pernah mendapat amanat dari kedua gurunya yaitu untuk meneruskan perjuangan mereka mengajar alquran dan memimpin tarekat.

Kesungguhan KH. Arwani dalam mengajar alquran membuat santri yang belajar semakin hari semakin bertambah banyak, bahkan sampai ada santri yang berasal dari luar Pulau Jawa. Namun pada saat itu KH. Arwani belum memiliki pondok, sehingga menyebabkan banyak murid beliau yang kost di sekitar kediaman KH. Arwani. Keadaan itu membuat KH. Arwani mempunyai inisiatif untuk mendirikan asrama. Dan akhirnya keinginan beliau terwujud, pondok pesantren yang diharapkan berdiri pada tahun 1973, dan diberi nama pondok Hufadh Yanbu’ul Quran. Nama tersebut di ambil dari al-Qur’an surah al-Isra ayat 90.

Selanjutnya untuk ilmu tarekat yang beliau ajarkan dari hasil belajarnya adalah tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah. Dan setelah perjalanan panjang menuntut ilmu keberbagai tempat dan berjuang menjaga wahyu allah seumur hidupnya, pada tanggal 25 Rabi’ul Akhir 1415 atau 01 Oktober 1994 beliau dipanggil kembali kehadirat sang kekasih pada usia 92 tahun menurut perhitungan hijriah.

Mujib bersama teman-temannya menuliskan dalam bukunya Intelektual Pesantren bahwa KH. Arwani dalam bidang ilmu qiraat beliau menyusun kitab yang berjudul “Faidlu al-Barokat fi Sab’i al-Qiraat.”Nama Faidlu al-Barakât fî Sab’i al-Qirâat disusun dari empat kata yaitu faidhun barakât, sab’i, dan Qiraat. Kata faidhun merupakan isim masdar dari fiil madhi fâdha yang artinya penuh, meluap, banyak, dan melimpah-limpah. KH. Arwani juga menulis naskah yang berjudul Risalah Mubarakah. Naskah ini berisi tuntunan praktis bagi para murid Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah, yang penyusunannya didasarkan atas keterangan yang diterima beliau dari KH. Manshur Popongan.

 

Referensi

 Rosehan Anwar. Biografi KH. Muhammad Arwani Amin, Departemen Agama, Jakarta: 1987.

Mujib, dkk., Intelektualisme Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2003.

Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997

M. K Anam, “Biografi KH. Muhammad Arwani,  http://eprints.stainkudus.ac.id/321/, 2016.

Oleh : Alviatun Khoiriyah, Semester V

Leave a Reply